Pengaruh media sosial sangat luar biasa dalam kehidupan masyarakat. Tidak dapat dipungkiri media sosial menjadi tempat yang memiliki kekuatan diskursif dalam masyarakat. Pengaruhnya hingga pada tingkat pergeseran nilai-nilai dan tradisi.
Melalui media sosial seseorang bisa dengan cepat dan mudah populer. Untuk itulah masyarakat harus lebih selektif dalam memilih dan memilah, khususnya memilih seorang da'i atau penceramah Agama.
Kita tentu masih ingat beberapa tahun lalu bertebaran para da'i yang viral di media sosial yang kemudian diketahui statement-statementnya dalam menyampaikan ilmu Agama dianggap kurang benar. Bahkan menimbulkan kegaduhan.
Disinilah sebenarnya pergeseran nilai terjadi, dimana masyarakat masih banyak melihat figur sebagai panutan dari tampilanya saja.
Bagi seorang da'i merupakan kewajiban untuk memiliki ilmu Agama yang mumpuni Dan jika tidak maka dirinya wajib terus belajar. Mungkin tidak hanya belajar bahasa Arab namun juga belajar disiplin ilmu lainya, seperti ilmu fiqih, ilmu akidah, ilmu akhlak, ilmu tasawuf dan sebagainya.
Dikalangan pondok pesantren banyak disiplin ilmu yang harus dikuasai jika ingin memahami Al-quran yang disebut "ilmu alat" seperti ilmu nahwu, shorof, balaghah, dan seterusnya.
Selain tentang penguasaan ilmu Agama maka seorang da'i apalagi yang sudah terkenal biasanya juga memasang tarif bagi masyarakat yang ingin menghadirkanya, meskipun banyak juga da'i yang tidak mematok tarif.
Kita bisa melihat diberbagai tempat, dimana panitia kegiatan harus menyiapkan sejumlah uang hingga jutaan rupiah untuk menghadirkan seorang da'i atau penceramah. Belum lagi biaya akomodasi lainya selama kegiatan tersebut.
Biasanya seorang da'i akan diberi amplop yang berisi uang dengan jumlah tertentu. Ada da'i yang menolaknya namun rata-rata mereka menerimanya tanpa mengetahui berapa jumlah yang ada di dalam amplop. Ada juga da'i yang tidak diberi, ini biasanya karena sudah ketetapanya di majlis tertentu.
Lantas bagaimana sebenarnya pendapat para ulama' terkait pasang tarif bagi da'i atau mubalig ini ?
PENDAPAT MADZAHIB AL-ARBA'AH
Para ulama' berbeda pendapat mengenai hal ini. Dikalangan ulama' madzab hanafi menyatakan bahwa menerima upah dari murid atas pengajaran Al-quran Dan ilmu lainya tidak perbolehkan. Sebagai dasar mereka menggunakan dalil Al qur an Surat Hud ayat 9 yang artinya " Dan (dia berkata), ‘Wahai kaumku, aku tiada meminta harta benda kepada kamu (sebagai upah) bagi seruanku".
Sedangkan menurut imam Maliki boleh memgambil upah dari pengajaran Al qur an namun untuk ilmu lain memgambil upah hukumnya makruh. Dasar yang digunakan adalah sebuah Hadits Abdulloh bin Abbas r.a yang menceritakan bahwa salah seorang sahabat pernah me-ruqyah seseorang yang terkena sengatan binatang dengan surat Al-Fatihah dengan memberi imbalan seekor kambing. Kemudian sahabat lainya mengadukan kepada Rasululloh Saw. Lalu Rasululloh bersabda:“ Sungguh, sesuatu yang lebih berhak kalian ambil sebagai upah adalah Kitabullah (Al-Qur’an).” (HR. Bukhari).
Sedangkan madzab Syafi'i membolehkan mengambil upah dari pengajaran Al qur an namun untuk ilmu lain tidak diperbolehkan kecuali si pengajar sudah ditentukan Dan materi sudah ditetapkan sebelumnya.
Madzab hambali berpendapat boleh memgambil upah dari pengajaran Al qur an Dan ilmu lainya. lainnya. Dasarnya adalah : Al-Wadhi’ bin ‘Atha` berkata, “Ada tiga orang guru yang mengajarkan Al-Qur’an kepada anak-anak Madinah. Umar pun memberikan gaji kepada mereka sebesar 15 (dirham) setiap bulan.”
Dari uraian diatas sebenarnya baik yang membolehkan maupun yang tidak membolehkan mengambil upah masing-masing memiliki tujuan mulia.
Yang tidak membolehkan karena upah dinilai sama saja dengan menahan ilmu dan menyembunyikan dari orang lain. Sedangkan yang membolehkan tentu dengan pertimbangan kesehjatraan para da'i. Ini karena tidak jarang para da'i tidak lagi berdakwah akibat masalah ekonomi atau kesehjatraan.
Terlepas dari itu semua seorang da'i diharuskan professional. Ini meliputi kemampuan keilmuan Agama, Akhlak, dan keahlian ( Public speaking). Seorang da'i juga harus sadar bahwa tugasnya hanya sekedar menyampaikan kebenaran.
Seorang da'i tidak diperbolehkan memaksa orang lain untuk mengikuti apa yang ia sampaikan. Juga hendaknya ia tidak kecewa apabila orang lain tidak mengikuti kehendaknya dalam dakwahnya itu.
Seorang da'i juga diharapkan benar-benar memiliki niat untuk berdakwah bukan untuk mencari penghidupan. Ibarat seorang petani yang pergi ke sawah membawa cangkul untuk menggarap sawahnya. Saat mencangkul sawahnya, jika ada belut baik belut kecil maupun besar maka petani dapat mengambilnya dengan rasa syukur tanpa mengabaikan niat utama yaitu menggarap sawahnya.
Namun apabila petani tersebut pergi kesawah membawa cangkul, lalu berubah bertujuan untuk mencari belut, maka selain sawah terbengkalai, belut yang ia dapatkan juga belum tentu besar.
Lantas bagi masyarakat sendiri hendaknya bisa lebih selektif dalam memilih dan memilah jika ingin memgundang seorang da'i. Sebaiknya da'i atau mubalig yang menerapkan tarif tertentu bisa dipertimbangkan kembali. Selain berpotensi memberatkan masyarakat secara financial, juga dikhawatirkan apa yang da'i tersebut sampaikan tidak membawa hikmah Dan barokah untuk kemaslahatan masyarakat apabila niat dan motif si da'i bukan karena mencari Ridha Allah Swt.
Wallohu a'lam
Baca juga :
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H