Mohon tunggu...
JONATHAN.WS
JONATHAN.WS Mohon Tunggu... Administrasi - LAKI-LAKI

PERUM PDK LAMBANGSARI BLOK.G NO.6 TAMBUN SELATAN BEKASI

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Komisi Pemilihan Umum Vs Mahkamah Konstitusi

28 Februari 2022   23:48 Diperbarui: 1 Maret 2022   00:10 608
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mahkamah Konstitusi Lahir di Bumi Republik ini  dalam Kandungan Alam Demokrasi baru Indonesia di era Reformasi Hukum dalam tatanan Negara bingkai Kesatuan Republik Indonesia dia lahir dalam menjawab Kebutuhan Hukum alam reformasi kita yang dimana menunju arah menjadikan Hukum sebagai panglima dalam terciptanya Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.

Mahkamah Konstitusi sebagai Lambang Kekuasaan Rakyat dalam Peradilan Modern yang dimana rakyat Indonesia di beri hak dan Kekuasaan Untuk menguji mengontrol Prodak Hukum atau undang --undang yang dihasilkan oleh Negara.

Dan selama ini Mahkamah Konstitusi dapat menjawab Kekosongan Hukum dalam sendi-sendi bernegara yang pada dasarnya telah merugikan sendi-sendi kehidupan rakyat yang mencari keadilan Sosial .

keberadaan MK diperlukan guna mengimbangi kekuasaan pembuat  undang-undang yang dimiliki Negara . Hal itu diperlukan agar undang-undang tidak menjadi legitimasi bagi tirani mayoritas wakil rakyat di DPR dan maupun Presiden yang dipilih langsung oleh mayoritas rakyat.

Sejarah berdirinya lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) diawali dengan diadopsinya ide MK (Constitutional Court) dalam amandemen konstitusi yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 2001 sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B Undang-Undang Dasar 1945 hasil Perubahan Ketiga yang disahkan pada 9 Nopember 2001. Ide pembentukan MK merupakan salah satu perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul di abad ke-20. Setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945 maka dalam rangka menunggu pembentukan MK, MPR menetapkan Mahkamah Agung (MA) menjalankan fungsi MK untuk sementara sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 hasil Perubahan Keempat selanjutnya DPR dan Pemerintah kemudian membuat Rancangan Undang-Undang mengenai Mahkamah Konstitusi. 

Setelah melalui pembahasan mendalam, DPR dan Pemerintah menyetujui secara bersama UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003 dan disahkan oleh Presiden pada hari itu (Lembaran Negara Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316).Dua hari kemudian, pada tanggal 15 Agustus 2003, Presiden melalui Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun 2003 hakim konstitusi untuk pertama kalinya yang dilanjutkan dengan pengucapan sumpah jabatan para hakim konstitusi di Istana Negara pada tanggal 16 Agustus 2003.Lembaran perjalanan MK selanjutnya adalah pelimpahan perkara dari MA ke MK, pada tanggal 15 Oktober 2003 yang menandai mulai beroperasinya kegiatan MK sebagai salah satu cabang kekuasaan kehakiman menurut ketentuan UUD 1945

Harapan rakyat dan bangsa Indonesia  telah tercederai dan memilukan Setelah KETUA  Mahkamah Konstitusi DR.H.M AKIL MOCHTAR tertangkap tangan pada tanggal 2 Oktober 2013 Pukul 22.00 WIB dengan bukti uang 3 Milyar rupiah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi  dalam kasus-kasus Pilkada

Sungguh menjadi masa-masa kelam yang mencederai  harapan baru rakyat ditangan mahkamah konstitusi jadi redup seiring dengan tertangkap tangannya  dalam kasus Korupsi Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar, dia mencoreng nama institusi yang dipimpinnya  dengan terlibat kasus suap sengketa pemilu Kabupaten Lebak dengan terdakwa Tubagus Chairi Wardana, dan melibatkan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, Akil Mochtar menjadi terdakwa dan diberhentikan pada tanggal 5 Oktober 2013, dan jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi diserahkan kepada Hamdan Zoelva pada tanggal 1 November 2013, Hamdan saat itu menjabat sebagai wakil ketua MK.

Namun seiring perjalanan Waktu Mahkamah Konstitusi kembali menjadi primadona dan Kepercayaan di tengah-tengah sendi kehidupan hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta ini.

Yang paling mengangetkan semua masyarakat adalah Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang Cipta Kerja Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja  (Omnibus Law ) inkonstitusional secara bersyarat. Putusan itu dibacakan oleh Ketua MK Anwar Usman dalam sidang uji formil UU Cipta Kerja (Omnibus Law ) yang disiarkan secara daring, Kamis 25 November 2021 "Menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, sepanjang tidak dimaknai tidak dilakukan perbaikan dalam waktu dua tahun sejak putusan ini diucapkan," kata Anwar. 

Baca juga: Kamis Ini, dalam pembahasan UU Cipta Kerja Nahkamah Konstitusi telah menggerlar 12 kali Sidang dan dalam Putusan Uji Materi dan Formil UU Cipta Kerja dalam pertimbangannya, Mahkamah menilai, metode penggabungan atau omnibus law dalam UU Cipta Kerja tidak jelas apakah metode tersebut merupakan pembuataan UU baru atau melakukan revisi. Mahkamah juga menilai, dalam pembentukannya, UU Cipta Kerja tidak memegang asas keterbukaan pada publik meski sudah melakukan beberapa pertemuan dengan beberapa pihak. Namun, pertemuan itu dinilai belum sampai pada tahap substansi UU. Begitu pula dengan draf UU Cipta Kerja juga dinilai Mahkamah tidak mudah diakses oleh publik. Oleh karena itu, Mahkamah menyatakan, UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat selama tidak dilakukan perbaikan dalam jangka waktu dua tahun setelah putusan dibacakan. Apabila dalam jangka waktu dua tahun tidak dilakukan perbaikan, UU Cipta Kerja tersebut akan otomatis dinyatakan inkonstitusional bersyarat secara permanen.

Dalam Undang-Undang dasar 1945 Pasal 24 C ayat satu Bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat Final selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor.24 Tahun 2003 dan dalam perubahannya dalam Undang-Undang Nomor.8 Tahun 2011  Perubahan tentang Penjelasan Pasal 10  ayat 1 di jelaskan bahwa " PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI  BERSIFAT FINAL YAKNI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI LANGSUNG MEMPUNYAI KEKUTAN HUKUM TETAP SEJAK DIUCAPKAN DAN TIDAK ADA UPAYA HUKUM YANG DITEMPUH . SIFAT FINAL DALAM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM UNDANG-UNDANG INI MENCAKUP PULA LELUATAN HUKUM MENGIKAT ( FINAL AND BINDING )

Oleh karena itu dalam Pelaksanaan Putusan undang-undang Cipta kerja di tengah-tengah masyarakat maka akan tergantung pada masing adressad tentang ketaatan mereka terhadap Putusan mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan binding itu.

Dalam penjelasan dan pernyataan Mahfud MD Mantan Hakim dan Ketua Mahkamah Konstitusi menegaskan tentang asas Final dan binding Putusan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 30 Juli 2017 dalam "Menabrak Rambu-Rambu atau memperluas kewenagangnya Demi Keadilan Substantif "  bahwa keluarnya Mahkamah Konstitusi dari batasan-batasan normatifnya didasari  oleh alasan yang salah satunya yaitu, karena undang-undang yang tidak  memberikan jalan hukum, sehingga dalam keadaan tersebut, maka kemanfaatan akan sulit tercapai. Padahal di saat yang bersamaan, Undang-Undang Dasar di manapun selalu bertumpu pada 3 (tiga) hal, yaitu keadilan, kepastian dan  kemanfaatan.

Sedangkan, pada saat yang bersamaan, putusan yang telah dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi dan telah mempunyai kekuatan hukum harus dianggap benar sehingga tidak ada pilihan lain untuk tidak melaksanakannya, mengingat putusan Mahkamah Konstitusi juga bersifat final dan mengikat Hal ini terkait erat dengan asas res judicata proveritate habetur. Mahfud MD bahkan menegaskan, terlepas benar atau salah, putusan hakim yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap itu mengikat dan karenanya harus diikuti atau dilaksanakan. Hal ini berlandaskan pada dalil hukmul haakim yarfa'ul khilaaf,putusan pemerintah, termasuk di dalamnya adalah putusan hakim, mengakhiri semua perbedaan,

MENYIKAPI PERPANJANGAN PUTUSAN KPU KABUPATEN YALIMO DAN MENJAWAB KEKOSONGAN HUKUM

Dalam Pilkada kabupaten yalimo Tahun 2020 telah mengalami dua kali pemilihan ulang yang pada dasarnya masalah dan Permasaham dilakukan bukan letak kesalahan para calon pilkada atau kesalahan bukan pada pasangan calon pilkada hal ini sudah disampaikan dalam persidangan oleh Bawaslu Kabupaten Yalimo.

Bahwa dua kali terjadi Pemilihan sejak Pilakada tanggal 9 Desember 2020 dengan dibatalkan hasil Rekapitulasi oleh Mahkamah Konstitusi yang pada dasarnya semuanya terjadi atas kesalahan dari KPU Kabupaten  Yalimo dan Pihak keamanan dimana hasil Penetapan Rekapitulasi Suara Nomor.55/PL.026-Kpt/9122/KPU.Kab/2020 tanggal  18 Desember 2020 digugat di batalkan oleh Mahkamah Konstitusi dengan Perkara Nomor.97/PHP.BUP-XIX/2021 antara lain :

  • PSU Distrik Welarek disebabkan KPU Yalimo membuat surat pernyataan pengalihan suara Nomor.255/PL.02.04-SD.9122/KPU.Kab/XII/2020  sebesar 3,716 Suara dari paslon suara Nomor Urut 2 Lakius Peyon dan Nahum Mabel yang tidak punya dasar hukumnya.
  • Selanjunya Pemilihan Suara Ulang di Distrik Apalapsili dalam pertimbangan Mahkamah {3.12.4 } setelah mendengarkan Saksi IPDA Sudirman anggota Kepolisian Polres Yalimo mahkamah berkesimpulan bahwa Aparat Kepolisian    pada tanggal 11 Desember 2020   melakukan pengamanan pendistribusian kotak suara dikantor /Sekretaris PPD apalapsili namun tidak melakukan pengawasan terhadap kotak suara yang dibawah petugas PPS/KPPS menuju TPS Masing-masing mengakibatkan 29 TPS di Distrik Apalapsili dilakukan dalam Pemilihan Suara Ulang.

Bahwa dari hasil Pemilihan tersebut  ternyata terdapat kesalahan yang dilakukan KPU Yalimo dalam pelaksanaannya sehingga Mahkamah memerintahkan Pemungutan Suara Ulang di Dua Distrik yaitu Distrik Welarek dan Distrik Apalapsili.

Namun dalam Pelaksanaan PSU jilid 1 perkara nomor :.97/PHP.BUP-XIX/2021 terjadi lagi hal yang tidak diduga (force Majeure) ternyata calon Bupati Nomor Urut 1 Erdi Dabi mengalami musibah sehingga mengakibatkan  meninggal Dunia  seorang Anggota Polwan Polrestabes Jayapura , Erdi Dabi dikenakan Pasal tindak pidana Kecelakaan lalulintas   Pasal 311 ayat (1), ayat (2), dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan Raya (UU LLAJ) dengan ancaman 12 Tahun Penjara dan terjadi pelanggaran Pemilihan Sura Ulang di distrik Welarek.

Akhirnya Pasangan Calon Lakius Peyon.SST.Par dan Nahum Mabel.SH mengajukan kembali Permohonan ke Mahkamah Konstitusi dengan Perkara Nomor.145/PHP.BUP-XIX/2021 bahkan dalam persidangan Yang Mulia Majelis Hakim Dr.Suhartoyo.SH.,MH. Menyampaikan kepada Ketua KPU RI bagaimana menjawab kekosongan Hukum terhadap Kasus Erdi Dabi tersebut namun tidak mampu dijawab dan beralibi hal yang tidak pernah terjadi.

Dalam Pertimbangan Mahkamah Kontitusi  dalam  Perkara Nomor.145/PHP.BUP-XIX/2021 setelah mendengarkan hasil pengawasan Bawaslu Yalimo Bawaslu Yalimo Menerangkan di Persidangan "adanya pelanggaran administrasi yang dilakukan oleh Pasangan Calon Bupati Nomor Urut 1 Erdi Dabi S.Sos dan John W. Willi A.M.D.Par terkait dengan syarat calon sebagaimana ketentuan yang diatur dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016", 

Mahkamah mempertimbangkan  pada Halaman 122 Pertimbangan Mahkamah {3.13} Menimbang bahwa berdasarkan fakta hukum yang secara kronologis diuraikan tersebut di atas, menurut Mahkamah permasalahan utama dalam perkara ini yang harus dipertimbangkan terlebih dahulu adalah adanya putusan pidana penjara yang dijatuhkan Pengadilan Negeri Jayapura kepada Erdi Dabi selaku calon Bupati dari Pihak Terkait yang didalilkan dan dimohonkan Pemohon agar dijadikan alasan atau dasar untuk mendiskualifikasi Pihak Terkait yang merupakan pasangan calon peserta Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Yalimo Tahun 2020;

[3.15.2] Bahwa dalam dalam perkara a quo Mahkamah menemukan fakta hukum yaitu putusan pidana atas Erdi Dabi baru mempunyai kekuatan hukum tetap setelah selesainya pemungutan suara pertama tanggal 9 Desember 2020, dan sebelum pemungutan suara ulang tanggal 5 Mei 2021. Terkait dengan adanya dua pemungutan suara tersebut Mahkamah berpendapat bahwa pemungutan suara yang pertama maupun pemungutan suara selanjutnya, baik berupa pemungutan suara susulan maupun pemungutan suara ulang, pada hakikatnya adalah sama- sama merupakan wujud dari tahapan pemungutan suara yang hasilnya belum diketahui dan belum ditetapkan siapa sesungguhnya pemenang pemilihan kepala daerah, apalagi sebagai pasangan calon terpilih, sehingga semua kontestan pemilihan kepala daerah masih berstatus sebagai calon kepala daerah karena belum ada tindakan hukum yang menetapkannya sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Konsekuensinya, status calon tersebut dapat saja batal jika memang terdapat kondisi yang menyebabkan ketidakterpenuhan syarat sebagai calon kepala daerah atau calon wakil kepala daerah sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.13] di atas;

[3.15.3] Bahwa terkait dengan pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah menilai ketentuan Pasal 90 ayat (1) huruf b PKPU 1/2020 perlu ditafsirkan ulang terutama sepanjang frasa "sebelum hari pemungutan suara" yang seharusnya tidak membeda-bedakan pemungutan suara dimaksud apakah merupakan pemungutan suara awal (yang diperintahkan oleh KPU) ataukah pemungutan suara susulan dan/atau pemungutan suara ulang baik yang ditetapkan oleh KPU atau berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi. Sekali lagi karena baik dalam pemungutan suara awal, pemungutan suara susulan, maupun pemungutan suara ulang, status kontestan pemilihan kepala daerah masih sebagai calon kepala daerah yang terikat pada persyaratan sebagai calon kepala daerah. Adapun ketentuan Pasal 90 ayat (1) huruf b PKPU 1/2020 selengkapnya mengatur bahwa, "Pasangan Calon dikenakan sanksi pembatalan sebagai peserta Pemilihan oleh KPU Provinsi/KIP Aceh atau KPU/KIP Kabupaten/Kota, apabila: ... b. Pasangan Calon terbukti melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, sebelum hari pemungutan suara;"

[3.15.4] Bahwa di samping uraian fakta hukum dan pertimbangan hukum tersebut di atas, calon kepala daerah juga harus tetap mempertahankan kelengkapan syarat lain sebagai calon kepala daerah, termasuk dalam hal ini tidak boleh melakukan perbuatan tercela sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016. Terhadap ketentuan tersebut apabila dihubungkan dengan fakta hukum yang diperoleh Mahkamah dari alat bukti yang diajukan di persidangan, di mana dalam pertimbangan hukum putusan perkara kecelakaan lalu lintas yang dialami Erdi Dabi, berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Jayapura Nomor 500/Pid.Sus/2020/PN. Jap, bertanggal 18 Februari 2021 (vide bukti P-88 dan bukti T-10), dinyatakan secara tegas Erdi Dabi telah melakukan perbuatan yang secara sah dan meyakinkan telah terbukti dengan sengaja melanggar Pasal 311 ayat (1), ayat (2), dan ayat (5) UU LLAJ, yang disebabkan karena pada saat mengendarai mobil yang bersangkutan menabrak korban bernama Christin Meisye Batfeny dalam keadaan dipengaruhi minuman keras. Dengan kata lain, menurut Mahkamah Erdi Dabih pada saat mengalami kecelakaan tersebut adalah dalam keadaan mabuk. Fakta hukum tersebut apabila dikaitkan dengan ketentuan Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016, di mana salah satu yang dimaksud melakukan perbuatan tercela adalah mabuk, maka fakta hukum tersebut juga membuktikan bahwa Erdi Dabi sebagai calon kepala daerah telah melanggar ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016;

[3.16] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.13] sampai dengan Paragraf [3.15] di atas, Mahkamah berpendapat Erdi Dabi sebagai calon Bupati Kabupaten Yalimo dari Pasangan Calon Nomor Urut 1 tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon Bupati karena telah terbukti melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lebih dari 5 (lima) tahun dan belum memenuhi ketentuan masa jeda 5 (lima) tahun setelah selesai menjalani masa pidana, serta yang bersangkutan telah melakukan perbuatan tercela. Oleh karena itu, terhadap Erdi Dabi harus dinyatakan tidak lagi memenuhi syarat sebagai pasangan calon sehingga kepadanya harus didiskualifikasi dari kontestasi Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Yalimo Tahun 2020, dan terhadap pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Yalimo Tahun 2020 harus dilakukan pemungutan suara ulang. Dengan demikian, permohonan Pemohon mengenai tidak terpenuhinya syarat pencalonan Pihak Terkait adalah beralasan menurut hukum;

Bahwa Selanjunya KPU Kabupaten Yalimo dalam menyikapi Pelaksanaan pemilihan PSU Jilid 2 yang diperintahkan oleh Mahkamah Konstitusi Nomor 145/PHP,BUP-XIX/2021 terutama amar putusan angka 6 Memerintahkan pemungutan suara ulang dimaksud harus sudah dilakukan dalam tenggang waktu 120 (seratus dua puluh) hari kerja sejak putusan ini diucapkan, dan menetapkan serta mengumumkan hasil pemungutan suara ulang, dan melaporkan hasilnya kepada Mahkamah Konstitusi dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah penetapan hasil rekapitulasi hasil pemungutan suara ulang;

Dan amar angka 9 Memerintahkan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia beserta jajarannya, khususnya Kepolisian Daerah Provinsi Papua dan Kepolisian Resor Kabupaten Yalimo untuk melakukan pengamanan proses pemungutan suara ulang Bupati dan Wakil Bupati Yalimo sesuai kewenangannya namun Ternyata tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya oleh para adressat putusan .

Bahwa KPU Kabupate Yalimo dalam memperpanjang 120 Hari Tahapan Pemilihan telah  melanggar Amar Putusan Nomor 6 dengan berdalil antara lain :

Menerbitkan Surat Keputusan Nomor.143/PL.02./9122/2021 surat perpanjang Tahapan dengan beralasan bahwa ini merupakan LANGKAH KEBIJAKAN KPU RI sebagaimana  dimaksud Ketentuan PKPU Pasal 7 Nomor.15 Tahun 2019 yang telah dirubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan KPU RI Nomor. 2 Tahun 2020.

Mengambil  yurisprudensi Putusan Sela Mahkamah Konstitusi Nomor. 63/PHPU.D-IX/2021 dibacakan Pada 24 Juni  2011 adalah Perintah Mahkamah Konstitusi pada  KPU Kota Pakan Baru.

Namun sayangnya KPU Yalimo telah mengambil langkah yang salah dalam Putusan tersebut, Padahal Mahkamah telah menjelaskan dengan sejelas-jelasnya dalam surat balasan Mahkamah Konstitusi baik itu kepada KPU Pusat maupun KPU Provinsi Papua dan KPU Yalimo bahwa " MAHKAMAH TIDAK BERWENAGANG MEMBERI TANGGAPAN DIKARENAKAN MAHKAMAH HANYA MENYAMPAIKAN PUTUSAN HUKUM DI DALAM PUTUSAN MAHKAMAH "

Bahwa jika KPU Yalimo menganbil langkah perpanjangan dengan kebijakan sebagaimana disampaikan dalam dasar surat Keputusan Nomor.143/PL.02./9122/2021 dan mengutip  Ketentuan PKPU Pasal 7 Nomor.15 Tahun 2019 yang telah dirubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan KPU RI Nomor. 2 Tahun 2020 maka akan mencederai Undangpundang dasar 1945 Pasal 24C ayat 1  dimana Mahkamah Konstitusi berwenag mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final kemudian di implementasikan dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 dan Perubahannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Penjelasan Pasal 10 Ayat 1 Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat Final yakni putusan mahkamah konstitusi langsung memperoleh kekuatan Hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat di tempuh . sifat final dalam putusan mahkamah konstitusi dalam undang-undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat ( Final and Binding )

Jadi dalam arti kata bahwa Peraturan Komisi Pemilihan Umum telah mencederai Undang-undang Mahkamah Konstitusi dan Undang-Undang dasar 1945, karena Peraturan Komisi Pemilihan Umum dapat mengatur Keputusan Mahkmah Konstitusi yang bersifat Final and Binnding tersebu, jadi menurut penulis untuk apa lagi sengketa pilkada di bawa kerana Peradilan Mahkamah Konstitusi jika Peraturan Komisi Pemilihan Umum dapat mengatur dan ini jelas telah mencederai Demokrasi dalam pilkada yang mana di amanatkan oleh Keptusan Mahkamah Konstitusi Nomor 145/PHP.BUP-XIX/2021 dibacakan pada tanggal 29 Juni 2021 dalam pertimbangan [3.19] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, dan dengan pertimbangan kepala daerah terpilih melalui pemilihan kepala daerah idealnya adalah pasangan calon yang memeroleh dukungan suara mayoritas sehingga mempunyai legitimasi kepemerintahan yang kuat, maka Mahkamah berpendapat dalam perkara a quo harus dilakukan pemungutan suara ulang di seluruh wilayah Kabupaten Yalimo, dengan menggunakan Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang telah ditetapkan/dipergunakan dalam pemungutan suara tanggal 9 Desember 2020 dan pemungutan suara ulang tanggal 5 Mei 2021 pada Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Yalimo Tahun 2020;

Selanjunya Yurisprudensi Putusan Putusan Mahkama Konstitusi dalam Putusan Sela Nomor. 63/PHPU.D-IX/2021 dibacakan Pada 24 Juni  2011 seharusnya KPU Yalimo mempelajari secara detail dan tidak sertamerta mencontohkannya .

Oleh  karena KPU Kota Pakan Baru telah mengajukan Permohonan Penetapan Perpanjangan waktu  dengan Kronolis sebagai berikut :

-Mahkamah telah memutuskan Sengketa Kota Pakan Baru dengan Perkara Nomor 63/PHPU.D-IX/2011 dibacakan tanggal 24 Juni 2022 dengan amar putusan " Sebelum menjatuhkan putusan Akhir " MELAPORKAN KEPADA MAHKAMAH KONSTITUSI HASIL PEMUNGUTAN SUARA ULANG TERSEBUT SELAMBAT-LAMBATNYA  90 ( SEMBILAN PULUH HARI ) yang masa berakhir melaporkan jatuh pada tanggal 21 September 2011.

-Selanjunya KPU Kota Pakan Baru Menyampaikan Laporan dan sekali Gus Permohonan Permintaan KETETAPAN Perpanjangan Waktu PSU pada Tanggak 7 September 2011 sebelum masa berakhir Putusan Mahkamah Konstitusi tentang waktu pemungutan suara Ulang dan Selanjutnya Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Amar Putusan Perpanjangan waktu yaitu masa 90 (sembilan puluh hari ) Pada Tanggal 7 Oktober 2011.

- Dan pada Akhirnya Tanggal 13 Januari 2012 Mahkamah Konstitusi " MENJATUHKAN PUTUSAN AKHIR " Perkara Nomor 63/PHPU.G-IX/2011.

Tetapi sangat berbeda yang dilakukan oleh KPU Yalimo dalam hal Perpanjangan PSU Pilkada Kabupaten Yalimo Tahun 2020 dimana KPU Yalimo telah memperpanjang Pemilihan Suara Ulang dengan serta merta dengan mengabaikan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 145.PHP.BUP-XIX/2021 dengan berdalil petunjuk  surat KPU RI,  dan merupakan Kebijakan dari KPU RI.

Bahwa Surat KPU Pusat Nomor. 1158/PL.02/05/2021 Tanggal 5 Desember 2021  yang ditujukan kepada Ketua KPU Provinsi Papua Poin angka 3 (tiga )hurup (e) berkenang dengan jadwal dan tahapanPemungutan suara ulang Pasca putusan mahkamah konstitusi , KPU Yalimo telah menetapkan Putusan KPU Nomor.127/PL.02/9122/2021 yang melebih tenggang waktu 120 hari kerja sejak putusan mahkamah konstitusi dibacakan MERUPAKAN LANGKAH KEBIJAKAN YANG DITEMPUH KPU SEBAGAIMANA DIMAKSUD KETENTUAN PASAL 7 PERATURAN KPU NOMOR 15 TAHUN 2019 SEBAGAIMANA TELAH DIRUBAH BEBERAPAKALI TERAKHIR DENGAN PERATURAN KPU NOMOR 2 TAHUN 2020.

Oleh karena itu sangat disesalkan dimana  seharusnya KPU sebagai lembaga besar yang menata Pemimpin masa mendatang di Republik ini dan menjaring suara Rakyat lewat pemilihan maka sewajarnya KPU RI dan jajarannya harus lebih mengerti tetang Putusan Mahkamah Konstitusi dan aturan-aturan Hukum lainnya.

Masa Sebuah undang-undang dapat dikalahkan oleh sebuah Peraturan KPU dan dilaksanakan sendiri oleh KPU.

Oleh karena itu Pilkada Kabupaten Yalimo disamping terjadi Pertarungan antara Nahor Newwek berpasangan dengan Jhon W Willil juga terjadi pertarungan yang tidak disengaja antara Putusan Mahkamah Konstitusi dengan PUTUSAN KEBIJAKAN KOMISI PEMILIHAN UMUM .

Oleh karena itu masa depan Institusi Era Revormasi yang di bentuk berdasarkan Undang-undang dasar 1945 kini di pertaruhkan dan jika majelis Mahkamah konstitusi salah memutusakan dan mahkamah konstitusi MENTOLELIR perbuatan KPU Kabupaten Yalimo dalam melaksanakan perpanjangan Pilkada Kabupaten Yalimo tahun 2020 yang dilakukan dengan serta merta akhirnya akan menjadi preseden buruk dikemudian hari dan dimasa mendatang dalam pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi baik Pemilihan Suara Ulang ataupun keputusan lainnya bahkan Hal ini dapat dijadikan sekaligus senjata baru untuk disalahgunakan bagi Jajaran Komisi Pemilihan Umum di masa mendatang dan untuk tidak independen lagi dalam melaksanakan Pemilu maupun Pilkada  dan dengan gampang tidak mentaati Putusan Mahkamah Konstitusi dimasa-masa mendatang dengan berbagai macam alasan Oleh karena itu Penulis melihat bahwa dimana Putusan Mahkamah Konstitusi  yang implementatif akan tercederai oleh keputusan Komisi Pemilihan Umum ini adalah karena pelaksanaan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi sangat tergantung pada kesadaran dan ketaatan pihak-pihak terkait yang tidak arogansi dari masing-masing lembaga yang menjadi addressat putusan untuk mentaati jangan sampai oleh karena kelemahan kekuatan eksekutorial Mahkamah Konstitusi tersebut justru pada akhirnya akan merugikan pencari keadilan, atau akan menghambat agenda ketatanegaraan termasuk pemilu dan pilkada dalam proses demokrasi lainnya dimasa -- masa mendatang dan jika hal ini yang terjadi maka Mahkamah Konstitusi sudah kehilangan Rohnya bahkan pada akhirnya menjadi lembaga yang mandul dan menjadi Lembaga tak berarti lagi dimata Hukum Negara Kesatua Republik Ind

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun