Seorang tokoh Islam yang juga seorang penceramah, Gus Miftah, menyarankan, demi syiar Ramadhan, penggunaan pengeras suara harus tetap dilakukan demi mengembalikan suasana Ramadhan pada zaman orang tua dahulu. Namun, dia tetap mendorong adanya batasan-batasan dalam penggunaan pengeras suara setidaknya digunakan sampai pukul 22.00. Bahkan, beliau membandingkannya dengan penggunaan pengeras suara pada hajatan dangdutan.Â
Pendapat ini patut disesalkan sebab tidak mempertimbangkan aspek keberagaman masyarakat Indonesia secara menyeluruh. Beliau tidak melihat bahwa, di tengah keberagaman, penting sekali untuk menjaga kerukunan dan tidak memaksakan pengajaran dari keyakinannya untuk menjadi konsumsi semua kalangan yang notabene mungkin saja memiliki perbedaan pandangan dan keyakinan. Begitu juga membandingkannya dengan hajatan dangdutan adalah pandangan yang kurang bijak. Sebagai tokoh agama, beliau seharusnya memberi pandangan menyeluruh, bukannya membandingkan secara sempit.
Oleh karena itu, pengaturan penggunaan pengeras suara sebagaimana yang diimbau oleh pemerintah melalui Kementerian Agama, merupakan langkah yang tepat dan bijak, di tengah menjaga dan merawat kebinekaan bangsa Indonesia. Dengan demikian, akan tercipta suasana masyarakat yang akan semakin menjaga nilai-nilai toleransi dan keberagaman.Â
Begitu pula, dengan adanya imbauan ini, pemerintah sebenarnya sedang menunjukkan bahwa pemerintah hadir untuk semua kalangan bukan bagi segelintir saja. Seluruh lapisan masyarakat khususnya dari kalangan umat Islam yang ada di Indonesia, dapat melaksanakan imbauan pemerintah ini dengan baik, untuk menciptakan tatanan kehidupan sosial masyarakat Indonesia yang hamoni.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H