Mohon tunggu...
Laskar Hidzib
Laskar Hidzib Mohon Tunggu... Jurnalis - Hanya Orang Biasa. Panggil Saja Manusia Tanpa Nama

Bukan siapa-siapa. Hanya anak pasangan petani sederhana yang tidak ingin hidupnya berlalu saja tanpa makna. Terobsesi pada kata-kata yang cerah-gerakkan manusia. Senang mendengar dan berbagi cerita, namun tak pernah mau berbagi suaranya dengan yang lain. Sebab, menulis merupakan sarana yang digunakannya untuk berbagi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Aktivis Setengah Hati, Membaca Kembali Arah Perjuangan HMI

5 Februari 2019   14:20 Diperbarui: 5 Februari 2019   14:50 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"Tak ada yang lebih puitis selain bicara tentang kebenaran," kata Soe Hok Gie.

Adalah benar bahwa kebenaran senantiasa harus menjadi prioritas utama dalam perjuangan hidup tiap manusia. Sebagaimana pernah diungkap Soe Hok Gie, meski pada akhirnya ia sendiri pesimis dengan memandang kebenaran itu hanya ada di langit dan di bumi hanyalah palsu. Pesimisme yang coba Soe Hok Gie bangun tidaklah berarti bahwa Gie pesimis pada hidup dan perjuangan. Ungkapan di atas justru mempertegas bahwa kebenaran harus manusia perjuangkan. Terutama bagi yang terpelajar, ini bukan berarti kita harus tertidur lelap, menjadi aktivis setengah hati, tanpa berusaha mendobrak mitos-mitos konyol yang demikian.

Hal paling menarik yang melekat pada diri manusia adalah mampu mengukir sejarah, mengukir dengan sebebas-bebasnya. Sehingga bicara soal sejarah (sejarah Indonesia), kita akan berjumpa dengan sejarah pemuda. Sebab, dalam dinamika perjalanannya, pemuda selalu terlibat-serta, baik sebagai pelopor atau pun sekadar simpatisan semata. Benar, secara historis, dinamika sejarah Indonesia dari masa ke masa selalu dimotori oleh pemuda. Sejarah lahirnya Sumpah Pemuda 1928 yang diprakarsai oleh Budi Utomo. Terlihat membawa-serta semangat persatuan Nusantara, keberagamaan suku dan bahasa, hingga bersatu dan bersumpah dalam bingkai Satu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa.

Setelah Bangsa Indonesia berhasil memproklamirkan kemerdekaannya, tampaknya penjajahan tak kunjung usai. Bahkan semakin menggeliat kepermukaan. Selain harus berperang melawan penjajah untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia, bangsa Indonesia juga dipaksa untuk menahan gempuran dari pemberontakan PKI. akhirnya, diberbagai daerah muncul oraganisasi masyarakat dan kepemudaan yang memiliki cita-cita untuk menjaga kemerdekaan dan keutuhan negara Indonesia. Salah satunya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) adalah organisasi mahasiswa yang didirikan di Yogyakarta pada tanggal 14 Rabiul awal 1366 H bertepatan dengan tanggal 5 Februari 1947 atas prakarsa Lafran Pane dan 14 orang mahasiswa sekolah tinggi Islam (sekarang Universitas Islam Indonesia (UII). Akhirnya pada hari Rabu Pon 1878 (tahun jepang), tanggal 14 Rabiul Awal 1366 H, bertepatan pada tanggal 5 Februari 1947 M secara resmi didirikan dan dideklarasikan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) oleh Lafran Pane bersama 14 mahasiswa lainnya, yaitu :Karnoto Zarkasy, Dahlan Husein, Siti Zainah (isteri Dahlan Husein), Maisaroh Hilal (cucunya KH. Ahmad Dahlan), Soewali, Yusdi Gozali (pendiri PII), M. Anwar. Hasan Basri, Marwan, Tayeb Razak, Toha Mashudi, Bidron Hadi, Zulkarnaen dan Mansyur.

Tanggung Jawab HMI

Belajar dari sejarah mahasiswa, kader HMI juga memiliki tiga tanggung jawab; meliputi agent of change, agent of social control, dan sebagai kaum intelektual. Sebagai agen perubahan, label ini melekat pada setiap kader HMI. Sebab, secara historis, ide dan gagasan pembaharu selalu dibawa oleh kader HMI. Kader HMI dianggap sebagai generasi yang memiliki semangat dan jiwa-jiwa yang progresif. Sebut saja Nurcholis Majid, AM Fatwa, Amien Rais, Anies Baswedan, dan lain-lain.

Sebagai pengontrol kehidupan sosial, sangatlah jelas bahwa sebagai bagian dari masyarakat, tentu peran kader HMI sangat diharapkan. Setidaknya, kader HMI harus mampu memberi solusi atas beragam persoalan sosial yang terjadi di lingkungan masyarakatnya. Semua persoalan harus mampu diretas. Baik yang disebabkan oleh faktor internal, terlebih datangnya dari kebijakan-kebijakan penguasa yang tidak berpihak pada masyarakat. Padahal masyarakat notabene sebagai pemegang kedaulatan negara dalam konsep demokrasi.

Terakhir, sebagai kaum intelektual, kader HMI tidak hanya menguasai bidang studi yang sedang ditempuhnya. Tetapi, dengan aktivitas rutin, seperti membaca dan diskusi, kader HMI juga perlu memahami cabang ilmu lainnya. Logika sederhana pun mengharuskan hal tersebut. Demi mengkritisi segala bentuk problematika dalam bernegara. Hal ini yang kemudian meniscayakan bahwa kader HMI butuh piranti ilmu pengetahuan yang mumpuni lagi komprehensif.

Re-Injeksi Gerakan HMI

Tidak bermaksud untuk merendahkan kader HMI, apalagi untuk menyombongkan diri. Memasuki usia ke-72 tahun, HMI tidak lagi memiliki taringnya sebagai singa gerakan mahasiswa di Indonesia. HMI (kini) tak ubahnya seperti singa ompong yang dipelihara dalam kandang. Kader HMI sekarang sudah kehilangan nilai kehanifannya, bahkan banyak diantaranya yang menggadaikan kemerdekaan dan independensinya.

Idealisme kader HMI tak lagi menjadi sebuah kemewahan yang mahal harganya. Oleh (sebagian) kader HMI, idealisme dijadikan sebagai sebuah barang komoditas yang patut untuk diperdagangkan. Siapa yang punya uang (bahkan penguasa sekaligus), akan "dituruti" oleh kader HMI sekarang, bahkan jika harus "menjilat pantatnya" sekalipun. Tak percaya? Tengoklah, lihatlah sekarang para pemangku struktural HMI, mulai dari Komisariat, Korkom, Cabang, Badko, dan PB HMI. Masih yakin jika sekarang mereka masih menjunjung tinggi idealisme dan semangat pendiri HMI?

Kader HMI hari ini masih terjebak dalam romantisme sejarah. Seolah tanpa berbuat, kader HMI tetap menjadi mahasiswa yang dipandang sebagai kaum intelektual dan kaum terpelajar. Padahal, kondisi sepuluh tahun ke depan hanya akan ditentukan oleh bagaimana kondisi pemuda yang hidup saat ini.Tak ayal jika organisasi kini jadi latah, aktivisnya aktivis setengah hati.

Tulisan ini lebih sebagai introspeksi diri (self-critic) dalam membaca kembali peran dan pengaruh HMI yang hari ini nyaris mengalami "mati suri". Kader HMI tampak hanya menjadi aktivis setengah hati belaka. Disebut demikian sebab harapan itu masih selalu ada. Dan perlawanan oleh kader muda HMI akan bangkit kembali dengan berbagai caranya sendiri. Selamat mendewasa dan semoga lekas bangun dari tidur siangmu. Aaaaammmiiinnnn. Wallahu A'lamu bi al-Shawab.

Oleh : M. Arif Rohman Hakim
Ketua Umum HMI Komisariat Dakwah Walisongo Semarang 2016-2017, Mahasiswa Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun