Hening setelah itu. Aku menoleh ke wajahmu yang masih mengguratkan sisa-sisa senyum sementara matamu kau pejamkan. Ya, aku paham apa maksudmu, Perempuan. Perihal hati yang kau bicarakan. Perihal petaka yang kau maksud yang berhubungan denganku pula.
Tapi biarlah, toh seperti katamu, kemarau akan berlangsung teramat lama tahun ini.
Kau melepas lenganku, tersenyum lebar kepadaku, lantas berkata dengan pelan, "Aku ingin menari saat ini," senyummu semakin lebar.
Sebelum aku mengangguk, kau beranjak berdiri, melompat-lompat sampai gaun musim panas warna cokelatmu melambai-lambai. Kau menari, bersenandung lagu lama tentang kota beserta langitnya, berputar-putar sambil sesekali tersenyum ke arahku, lalu membiarkan embusan angin menyibak rambut beraroma lavendermu.
Kau sungguh menikmati aktivitas menari di puncak bukit kita, di musim kemarau yang terik, di bawah pohon jati yang kokoh, pun di antara desiran angin kering nan panas.
"Aku ingin hidup selamanya!" Kau melompat riang.
Ya, perempuan. Kau akan hidup selamanya.Â
Musim berganti setelahnya.
*****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H