Konsep koperasi yang digagas oleh Moh. Hatta merupakan konsep ekonomi kerakyatan yang dibutuhkan oleh Indonesia. Konsep ini lahir dari budaya kerukunan yang tumbuh di masyarakat. Hal tersebut termaktub dalam pancasila sabagai dasar negara. Namun seiring perkembangan zaman, konsep koperasi tatap muka tidak efisien lagi.Â
Menurut data Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Mikro sedikitnya 3000 koperasi terbentuk pada tahun 2018. Hal tersebut dibarengi dengan lebih dari 1000 koperasi yang tidak dapat bertahan lebih dari 2 tahun sejak pendirian disebabkan berbagai kendala finansial maupun human resources.
Berangkat dari permasalahan maraknya koperasi yang terpaksa tutup, penulis ingin menghadirkan konsep koperasi yang lebih efisien dan komprehensif yakni Electronic Koperasi (E-Kop). E-kop akan menarik anggota melalui barang yang ingin dipasarkan. Sebagai studi kasus penulis mengambil Kabupaten Trenggalek, Provinsi Jawa Timur.
Lapisan Mediteran bercampur granosol dan andosol di Trenggalek menjadi pemicu utama ketidaksuburan tanah di wilayah tersebut. Wilayah Trenggalek memiliki sumber daya ketela melimpah sebagai produk lokal, namun secara pengelolaan masih kurang. Penjualan hanya dilakukan di pasar-pasar tradisional di Trenggalek sebagai bahan mentah. Harga jual ketela di pasaran tergolong rendah dengan 2000/ kilogram. Keuntungan yang didapat petani menurut data pemerintah kabupaten Trenggalek masih berkisar 300 rupiah perkilogram.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan penulis dengan 10 petani ketela di Trenggalek sebagai sample responden ditemukan data bahwa ketidakadaan modal untuk pengolahan menjadi faktor penghambat utama ketela dijual sebagai bahan mentah.
Hal ini selaras dengan data Badan Pusat Statistik Jawa Timur yang menobatkan Trenggalek pada tahun 2017 menjadi wilayah termiskin nomor 3 di Jawa Timur. Pengembangan e-Kop sangat potensial dilakukan di wilayah Trenggalek untuk membantu pengentasan kemiskinan.
Tahapan pertama akan dibuat sebuah sistem aplikasi yang dapat menghimpun data berupa : data anggota yang meliputi besaran simpanan wajib, pokok, sisa hasil usaha, status sebagai anggota wajib atau anggota pasif ( untuk mengetahui besaran Sisa hasil usaha yang dimiliki selama satu tahun), neraca jual, neraca beli sebagai bentuk transparasi antar anggota.
Hal pertama yang harus dilakukan setelah sistem terbentuk untuk studi kasus Trenggalek adalah mendaftarkan petani yang bersedia bergabung menjadi anggota aktif lalu mengumpulkan data mengenai sumber daya alam yang dimiliki dari setiap petani, langkah selanjutnya adalah menulis besaran uang yang dibutuhkan untuk mengolah sumber daya alam secara rinci.
Ijin pendaftaran koperasi di E-Kop diwajibkan menggunakan rekening atas nama koperasi. Tahapan selanjutnya adalah pemasangan iklan sebagai anggota untuk menanamkan modal di koperasi ini, dalam beberapa konteks sistem ini serupa dengan model iklan crowd funding namun sistem bekerja sesuai dengan kaidah koperasi. Jika seseorang memutuskan untuk bergabung menjadi anggota koperasi dia diwajibkan membuat akun E-Kop.
Anggota E-Kop baru wajib untuk membayar simpanan wajib yang besarannya sama setiap anggota dan simpanan pokok dengan besaran semampunya namun memiliki batas minimal Rp. 50.000,00. Uang-uang simpanan ini di transfer ke rekening koperasi. Selama satu tahun, anggota aktif koperasi (petani ketela) akan melakukan pengolahan ketela menjadi bahan makanan siap jual menggunakan modal-modal dari anggota pasif yang tersebar di berbagai wilayah.
Hasil dari keuntungan maupun kerugian koperasi dilaporkan dalam bentuk neraca bulanan sebagai transparansi bagi anggota yang tidak tinggal di lokasi. Sesuai dengan azaz koperasi setiap Sisa Hasil Usaha akan dibagikan sepadan dengan pengeluaran yang telah dilakukan oleh masing-masing anggota.