Mohon tunggu...
Laras Setya
Laras Setya Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Satu Hari di Pulau Makian

3 November 2018   21:32 Diperbarui: 3 November 2018   21:47 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Pak, sebenarnya sampah di pulau Makian ini dibuang kemana? Mengapa pulau ini bersih sekali?" Tanya mario dalam sebuah pertemuan dengan Bapak Camat Kecamatan pulau Makian.  Dalam hati aku mengamini pertanyaan tersebut. Pak Camat menjelaskan bahwa warga Makian menggunakan bahan-bahan organik untuk hidup, penggunaan plastik sangat jarang ditemui di Makian, sehingga pengelolaan sampah jauh lebih mudah dilakukan. Saat pertama kali kami datang di Pulau ini kesan pertama yang kutemui adalah sebuah pulau yang bersih. Aku tidak melihat tempat sampah di rumah bapak piara kami.

Sama juga aku tidak menemukan sampah di tempat bapak piara kami. Sehingga untuk membuang sampah biasanya aku dan Zata akan menampung sampah-sampah di Kamar dan setiap 3 hari baru kami beritahu ibu piara kami. Kesan bahwa pulau Makian mengggunakan standar islam dalam hidup mereka sangat terlihat melalui cara hidup mereka menjaga kebersihan.

Pulau ini memiliki nama lain Al-Makian atau Mekkah kedua menurut para tetua adat yang ada di wilayah ini. Maka, sebuah petuah bahwa kebersihan adalah sebagiain dari iman sudah tuntas dilaksanakan di Makian hari ini. Pantai yang ada di dermagapun sangat bening airnya dan tidak terlihat sampah plastik berserakan seperti dermaga-dermaga pada umumnya. Sebuah pelajaran yang sangat berharga mengenai penjagaan lingkungan khususnya lingkungan pantai.

Lolongan Anjing menjawab mitos setempat

Cerita ini berasal dari dua malam terakhirku di Makian. Aku dan Zata ingin bersilaturahmi ke rumah seorang kenalan yang kami sapa ibu Aceh. Malam itu Zata menawariku untuk ikut menemaninya, aku memutuskan menerima tawaran itu karena memang sedang kosong jadwal kegiatan. Kami keluar dari rumah bapak piara pukul 19.45.  Setiap hari pada jam-jam tersebut kami terbiasa keluar entah mencari wifi atau sekedar rapat bersama teman-teman maka pada malam itu kami merasa se-aman hari biasanya.

Keluar dari rumah bapak piara kami merasakan keanehan terjadi, malam itu sangat senyap jauh lebih senyap daripada hari-hari biasanya. Berjalan jarak 4 rumah kami mendengar lolongan anjing yang sangat keras. Jika aku bisa menggambarkan suasananya aku melihat sama persis seperti setting film-film horor. Lolongan anjing tersebut terasa seperti di hutan, sangat keras dan bersahut-sahutan.

Di desa ini anjing digunakan untuk menangkap buruan ke hutan dan ke pantai, sehingga banyak anjing yang dipelihara oleh nelayan maupun petani. Namun anjing-anjing disini berbeda sekali dengan anjing penjaga di kompleks-kompleks rumah di Jawa. Anjing Makian tidak melihat  manusia sebagai musuh, mereka sangat acuh dengan kedatangan manusia sehingga kemungkinan untuk menjilat apalagi menggigit sangat tidak mungkin terjadi.

Kembali ke topik utama, semakin kami berjalan ke arah pantai (kebetulan rumah ibu aceh atau tante Eka ini berada di wilayah pesisir pantai)  semakin keras lolongan anjing terdengar seperti lolongan serigala. Saat sampai di rumah tante Eka kami menanyakan mengenai perihal anjing-anjing tersebut melolong tidak seperti biasanya. Mendengar pertanyaan kami tante Eka melirik putrinya yang juga ikut menemami kami sebelum akhirnya tersenyum misterius.

Aku dan Zata semakin bertanya-tanya mengenai kejadian hari itu sampai keesokan harinya Mario becerita mengenai mitos daerah yang diceritakan oleh Bang Ribut, salah satu warga desa. Bang Ribut mengatakan jika ada lolongan anjing yang tidak wajar berarti ada suku adat Makian yang turun dari gunung. Suku adat ini dipercaya masyarakat setempat sebagai suku pertama yang mendiami Makian namun hilang saat gunung Kie Besi meletus.

Suku ini dipercaya masih ada namun tidak kasat mata biasanya mereka keluar gunung untuk mencari ikan. Lolongan anjing itu untuk menyambut kedatangan suku makian ini. Menurut mereka suku ini turun gunung dengan membawa obor namun yang terlihat hanya obornya sehingga hanya hewan-hewan yang mampu melihat bentuk mereka. Melihat peristiwa ini aku berfikir bahwa sejarah lisan dan tradisi lisan di wilayah Makian masih berkembang kuat. Hal ini sesuai dengan teori mengenai masyarakat pesisir atau orang laut yang sangat dekat dengan tradisi lisan.                                                                            

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun