Mohon tunggu...
Laras Setya
Laras Setya Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Satu Hari di Pulau Makian

3 November 2018   21:32 Diperbarui: 3 November 2018   21:47 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada pertemuan itu pula kami dibagi dalam tiap-tiap ibu dan bapak piara yang akan menjadi orang tua kami selama masa ekspedisi berlangsung. Aku tinggal di rumah Pak Hilman bersama seorang rekan bernama Zata, ia perwakilan Aceh. Di kecamatan pulau Makian sendiri kami terbagi di dua desa, yakni desa Rabutdaiyo dan Gitang.

Pasar Seminggu Sekali dan Sagu Gratisan

Ini  adalah hari tim ekspeditor berada di lapangan. Bapak piara bilang hari ini  ada pasar yang hanya buka sekali selama seminggu. Bergegaslah aku dan Zata meminjam motor bapak piara untuk ke pasar yang letaknya di Gitang. Sekitar 10 menit dengan sepeda motor perjalanan kami tempuh. Sesampainya di lokasi kami bertemu dengan pembina kami yang juga berasal dari Rabutdaiyo dan beberapa teman kami yang berjalan kaki dari desa yang sama (Memo dan Udin).

Aku terkesima melihat suasana yang orang Makian sebut sebagai pasar. Mengingat disana hanya ada sekitar 8 pedagang, berbeda sekali dengan pasar yang biasa kutemui di Jawa. Di pasar pagi itu kami membeli beberapa makanan seperti wedang berwarna hitam yang terbuat dari Jahe dan kenari dan ikan bakar. Saat kami bergegas pulang, Udin membawa bentuk kue berbentuk lembaran dari sagu katanya. Aku tertarik untuk membelinya.

Saat aku bergegas membelinya, ibu penjual menolak untuk dibayar. Aku memaksa membayarnya karena jujur aku iba melihat si ibu yang sudah cukup usia. Namun ia tetap bersikukuh tidak mau dibayar, aku tidak mengetahui adat yang berlaku di wilayah ini maka aku mengalah untuk tidak membayar.

Dari peristiwa itu aku tau kalau ibu penjual sagu melihatku sebagai seorang pendatang yang ia tidak tertarik untuk mengambil keuntungan dariku. Hal yang sangat berbeda dengan kenyataan yang biasa aku hadapi di rumah. Jika di rumah biasanya pedagang atau penyedia jasa akan menaikan harga selangit untuk pendatang atau wisatawan. Sebuah pelajaran berharga pertama bagiku yang sangat acuh terhadap orang lain.

Mampir lalu Makan

Yang paling menarik dari kecamatan kepulauan Makian adalah tradisi untuk menerima tamu dan menjamu makanan besar jika ada tamu. Hari kedua aku bermain ke rumah salah satu teman ekspedisi Jalur rempah, Rian namanya. Sampai disana aku dipaksa makan oleh ibu asuh Rian. Aku menolak dengan alasan sudah makan, namun teman-teman bilang jangan menolak pemberian orang asli, pamali katanya. 

Akhirnya aku memutuskan untuk makan. Kejadian sama juga terjadi di rumah Mita dan Irra, aku sering main di waktu mereka akan makan siang sehingga aku dipaksa untuk makan sekalian. Jika aku tidak datang di waktu makan, aku akan tetap diberi minum dan makanan ringan.

Hal ini membuktikan bahwa masyarakat makian memberi akses yang luas kepada tamu. Mereka memberikan penghargaan yang tinggi terhadap tamu. Aku berfikir bahwa hukum islam sangat diterapkan dalam kehidupan mereka. Penduduk makian secara keseluruhan beragama islam, hal ini memliki korelasi dengn fakta bahwa pulau Makian adalah cikal bakal kerajaan Bacan berdiri.

Pulau yang bersih

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun