....... Dicegah tanpa memberi tahunya dan berkata kepada mereka dengan penekanan :
Hai Raja Sunda, Kami mendapat perintah langsung yang dibuat oleh penguasa tertinggi Majapahit yang telah berkunjung kesini agar anda segera pergi saat ini juga dari kawasan sekitar Masjid........
...Mantuk punang utusan asumbar-sumbar, angremeka ring enjing ndan sang mantring Sunda, pada anghret brahmatya, lepas eng Bubat annuli, punang utusan, cighra prapteng Masigit... (III.74)
Terjemahannya :
......... kemudian para utusan datang kembali, sembari terus sesumbar, mereka akan menyerang keesokan paginya namun mantri sunda menahan amarahnya. Selanjutnya para utusan itu meninggalkan Bubat dan bersegera ke masjid.......
Dari berbagai penggalan Kidung Sunda diatas dapat diketahui bahwa masjid memiliki lokasi yang berdekatan dengan lapangan bubat, tempat dimana upacara Sraddha  maupun Caitra. Penempatan lokasi masjid yang berada di tengah-tengah ibukota Trowulan ini dapat memberikan gambaran bahwa islam memiliki bargaining position yang tinggi di kerajaan majapahit.
Meskipun belum terdapat temuan arkeologis kebendaan bangunan masjid agung sendiri, namun S.O. Robson memberikan penjelasan bahwa dalam catatan Kidung Sunda tidak ada arti lain dari Masigit-Agung selain masjid agung atau Grand Mosque. Pendapat ini dikuatkan oleh catatan Tome Pires ketika berkunjung ke nusantara khususnya Jawa.
Pires menyebutkan bahwa komunitas Muslim di Jwa pada abad XV telah membangun rumah ibadahnya sendiri yakni masjid. Islam sudah berkembang jauh di nusantara, bahkan saat majapahit mencapai puncak kejayaannya di tangan hayam wuruk, islam memiliki posisi di Majapahit. Hal inilah yang selama ini hilang atau dipaksa hilang dari narasi sejarah Indonesia, pengetahuan mengenai posisi penting islam dalam sejarah nusantara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H