Setiap mendengar narasi mengenai majapahit, sense knowledge kita tentu akan merujuk pada sebuah kerajaan hindu besar yang menjadi cikal bakal nusantara. Budha menjadi agama kedua yang melintas di benak selain hindu. Lalu apa yang terjadi jika sebuah fakta menyebutkan bahwa islam juga menjadi sebuah agama yang berkembang di majapahit? Keberadaan komunitas masyarakat yang beragama islam di ibukota kerajaan majapahit (Trowulan) dapat diketahui dari catatan yang ditulis Ma Huan yang berjudul Ying-Yai-Sheng-Lan pada tahun 1916. Paling tidak terdapat dua komunitas masyarakat muslim di majapahit, kelompok pertama bernama huihui ren atau penduduk yang berasal dari kawasan Cina bagian barat. Mereka berpakaian dan tinggal dengan layak. Kedua adalah komunitas Tang ren yang berasal dari Cina diantaranya dari Guangdong, Zhangzhou dan Quanzhou yang mayoritas beragama islam. Ma Huan menyebutkan bahwa kehidupan mereka sangat baik dan menjalankan syariat islam dengan taat. Dari catatan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pada masa tersebut terdapat komunitas masyarakat beragama islam yang hidup layak dan mapan.
Selain Catatan Ma Huan, Kidung Sunda juga menyebutkan keberadaan komunitas muslim di Majapahit. Kidung sunda merupakan salah satu jenis sastra Jawa Kuno yang bersifat Historis. Menurut P.J. Soetmulder, Kidung Sunda bersumber dari tradisi historis yang berkembang di Majapahit. Kidung Sunda menceritakan mengenai runtuhnya kerajaan Singosari hingga dibangunnya sebuah kerajaan baru oleh raden wijaya, secara khusus pula kidung sunda menulis mengenai rencana pernikahan Hayam Wuruk dengan putri kerajaan sunda yang berakhir dengan tragis.Adrian Perkasa menganalisis dalam bukunya Orang-Orang tionghoa dan Islam di majapahit bahwa telah terdapat bangunan masjid yang merupakan tempat ibadah umat muslim di kawasan ibukota kerajaan, Trowulan. Berikut petikan dari Kidung Sunda (I.29a) yang telah diterjemahkan.
...Patang wiji kang ingutus, danta ning sunda apatih, anepaken lawan demung tumenggung, (ng)aran pangulu boring, mwang pitar apatih, wong sinaring umiringa wonten tigang atus, lampah ikangdul ndantan asari, pada agagancangan jumog eng Masigit Agung...
Terjemahannya :
Empat dari mereka yang dikirim, Patih Sunda, Anepaken para demung, tumenggung yang berjuluk penghulu boring, dan patih pitar yang menemaninya, para prajurit terpilih berjumlah tiga ratus orang, berjalan kea rah selatan, mereka melaju terus tanpa berhenti hingga ke Masjid Agung.
Pada bagian lain Kidung Sunda juga menyebutkan hal tersebut :
...Kancit prapta eng tegal Wilajenggala, sanjateng Majapahit, aneng Pablantikan, Ampel Gading Kalawan, Masigit Agung wus enti, tan paligaran, ebek punang kikiwi...
Terjemahannya :
...dan sebelum musuh mengetahui, mereka telah bersiap di lapangan Wilajenggala, dan para tentara Majapahit berada di sekitar Pablantikan, Ampel Gading dan Masjid Agung, kesemuanya disiapkan dalam kelompok yang tak terhitung jumlahnya, sehingga perkemahan menjadi penuh... (II.63)
....Tan palarapan tekamarek eng harsa, prakaca wetu ning ling, e sang natheng Sunda, kamu kinen mareka, de bhattareng majapahit, sira wus prapta, mangke aneng masigit... (II.68)
Terjemahannya :