Mohon tunggu...
Mayangthika
Mayangthika Mohon Tunggu... Guru - Guru

Mengajar adalah menyentuh kehidupan dengan cara yang tidak terduga, dan menulis adalah cara untuk membagikan cerita dari hati ke hati

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

4 Solusi Seni Mendidik Remaja

10 Maret 2021   23:40 Diperbarui: 10 Maret 2021   23:43 495
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Remaja, kata yang tidak asing lagi di telinga kita. Bahkan beberapa di antar kita sepertinya sudah lama melewati masa itu. Tahukah kamu? Bahwa mendidik anak usia remaja ini  menjadi hal yang gampang -- gampang susah. Karena bila kita terlalu keras, maka yang terjadi adalah anak akan membangkang bahkan tidak akan betah berada di rumah. Jangankan untuk mengobrol, sekedar tinggal diam di rumah pun sepertinya tidak betah.

Namun, bila kita terlalu lunak pun juga tidak akan membawa dampak positif pada anak. Karena anak akan tumbuh menjadi sosok yang keras kepala, semau gue. Tidak ada stimulus untuk mereka belajar dewasa. 

Lalu bagaimana agar anak -- khususnya usia remaja -- menjadi pribadi yang kita harapkan?

Dari tahun 2011 sampai sekarang, saya sudah menjadi guru sekolah menengah kejuruan. Setiap tahun saya menemukan beberapa kasus yang sama. Dan itu berulang di setiap angkatan. Rasa penasaran dan keingintahuan saya mendorong saya untuk melakukan beberapa penelitian kecil dan meraka menjadi objeknya. Sehingga saya menemukan solusi yang bisa di terapkan oleh beberapa orang tua di rumah.

Anak sulung saya baru akan memasuki usia remaja. Namun dari siswa dan siswi yang saya ajar,  saya menjadi lebih banyak belajar dan memahami karakter dan serba -- serbi tentang mereka. Sebelum kita diskusi lebih jauh tentang remaja. Kita lihat dulu definisi remaja itu seperti apa.

Definisi remaja dari berbagai sumber

Menurut WHO, yang disebut remaja adalah mereka yang berada pada tahap transisi antara masa kanak-kanak dan dewasa. Batasan usia remaja menurut WHO adalah 12 sampai 24 tahun.

Remaja menurut UU Perlindungan Anak adalah seseorang yang berusia antara 10-18 tahun, dan merupakan kelompok penduduk Indonesia dengan jumlah yang cukup besar (hampir 20% dari jumlah penduduk).

Dari kedua definisi di atas bisa kita tarik kesimpulan bahwa remaja merupakan seseorang yang berusia sekitar paling muda 10 tahun dan paling tua berusia 24 tahun. Pada usia tersebut merupakan usia yang labil karena masih mencari jati diri. Bahkan kita sering mendengar istilah ababil atau ABG labil. Istilah ini pun saya dapat dari mereka. Saat pertama kali mendengarnya, saya hanya senyum -- senyum sendiri sambil bergumam, "Ah ada-ada saja kalian."

Kalau kita setarakan dengan usia sekolah maka menurut UU perlindungan anak, usia remaja diatas setara dengan anak kelas 6 sekolah dasar (SD) sampai lulus SMA. Nah, sekarang sudah ada gambaran tentang remaja bukan?

Pada saat pembagian rapot sekolah diadakan, ada banyak "pesan sponsor" dari orangtua siswa yang merasa kewalahan atas tingkah laku putra putri mereka. Mereka bilang, "Bu,tolong kasih tau dan arahkan anak saya biar lebih baik." Dan saya hanya menjawab singkat, "Baik bu, insyaallah saya akan memberi masukan ke putra/putri ibu." Sebenarnya bila mereka tahu,mereka bisa lebih mudah untuk melakukannya sendiri.

 Berikut beberapa solusi yang bisa kita dicoba:

1. Selalu ingat bahwa waktu di rumah lebih banyak daripada di sekolah. 

Kebanyakan dari orangtua itu beranggapan bahwa kewajiban mendidik dan belajar itu tuntas di sekolah saja padahal kenyataannya dari 24 jam waktu yang kita punya, hanya sekitar 7 -- 8 jam berada di sekolah. Sisanya sudah otomatis bukan menjadi tanggungjawab pihak sekolah terutama guru lagi. Maka pengaruh pendidikan di rumah itu lebih besar daripada disekolah.


2. Selalu ikuti perkembangan jaman.

Ada kalimat bijak yang saya temukan yaitu "Didiklah anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup bukan di zamanmu (Ali bin Abi Thalib)". Sederhana namun begitu penuh makna. Dari kalimat itu kita bisa mencerna bahwa zaman kita waktu remaja itu berbeda dengan anak-anak kita sekarang.

Dahulu karena internet belum berkembang secara cepat bahkan belum ada, sepertinya dunia ini aman-aman saja. Televisi bahkan radio pun masih jarang. Jadi kita masih belum begitu terkontaminasi oleh hal-hal yang bersifat negatif. Di marahi oleh ibu atau bapak kita pun hanya bisa menundukkan kepala sambil menangis.

Sekarang internet sudah berkembang pesat, bahkan telepon genggam pun sudah menjadi hal yang wajib ada belajar pun sudah wajib memakai jaringan internet. Semua informasi sangat mudah di dapat. Mau tidak mau, kita juga di tuntut harus bisa menguasai teknologi ini untuk mengontrol anak-anak kita yang sedang asik berselancar di dunia maya agar tidak terjebak dan terjerumus ke dalam hal-hal yang negatif.

3. Biasakan untuk selalu bertanya pada anak tentang bagaimana menjalani hari ini.

Sepertinya hal ini remeh tapi dari hal kecil ini bisa memberikan dampak yang luar biasa bila kita terbiasa melakukannya di rumah di sela-sela waktu bersama keluarga. Mulai dari, "Nak, bagaimana sekolahmu hari ini? Bagaimana teman-temanmu? Apa saja yang dilakukan olehmu dan teman-temanmu? Bagaimana belajarmu disekolah?" Dengarkan jawaban anak dengan sepenuh hati. Bila sudah terbiasa maka anak akan nyaman untuk berbagi cerita ke keluarga terutama orangtua daripada ke orang asing.

4. Ikuti rumus "benar, benar, tapi".

Bila mereka sudah nyaman bercerita, mereka akan dengan senang hati menceritakan hal apa saja yang sudah melakukan sesuatu. Namun, apabila ada yang salah dari mereka sebaiknya jangan langsung di vonis salah dengan tegas karena akan membuat mereka menjadi trauma dan kemungkinan akan menutup diri kedepannya.


Contoh kasus :

"Bunda, hari ini aku sudah balas dendam aku. Kemarin kan dia jahilin aku, sekarang aku balas jahil ke dia. Aku balas sampai dia nangis. Biar dia tahu rasa."


Lalu yang kita lakukan adalah mendengarkan cerita mereka kemudian katakan dengan nada sedang bahwa benar kalau kita sakit hati itu kalau belum di balas belum puas, benar kalau jahil itu adalah perbuatan yang tidak menyenangkan tapi kita juga tidak boleh membalasnya karena bila kita membalas dengan perbuatan yang sama maka kita dan dia itu sama saja, sama-sama jeleknya. Kalau ada yang melakukan perbuatan tidak menyenangkan, beritahu temanmu bahwa kamu tidak menyukai ini namun bila temanmu masih melakukannya, laporkan kepada guru biarkan dewan guru yang memberikan sanksi.


Dengan begitu mereka akan menerima masukan kita karena mereka tidak merasa di salahkan sepenuhnya atas apa yang mereka lakukan walaupun sebenarnya hal itu juga tidak baik di lakukan. Mereka kita giring untuk merubah opini secara baik sehingga mereka bisa menerimanya dengan positif.

Usia remaja kebanyakan mereka ingin mencari teman curhat yang nyaman bila tidak mereka temukan di rumah maka mereka akan mencari kenyaman di luar rumah. Sehingga mereka kerap menjadi korban oleh beberapa orang yang memanfaatkan keadaan mereka untuk kepentingan pribadi dan tentunya akan berdampak negatif untuk mereka dan orangtuanya kelak.

Dari beberapa kasus yang saya temui, mereka yang bermasalah di sekolah adalah mereka yang tidak mendapatkan kenyamanan di rumah. Karena orangtuanya yang cuek, yang kaku atau bahkan yang otoriter.

 Semoga tulisan ini bisa menginspirasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun