Inggris digoncang krisis ekonomi yang diprediksi akan mempercepat kejatuhan negara Big Bang tersebut ke dalam jurang resesi. Imbas dari pandemi, perlambatan pemulihan ekonomi pasca pandemi, tingginya inflasi, hingga Brexit disebut sebagai penyebab krisis ekonomi menghantam Inggris. Akan tetapi, apa yang sebenarnya terjadi di Inggris?
Imbas Brexit
Pasca keluarnya Inggris dari Uni Eropa melalui Brexit, perekonomian Inggis menjadi tidak stabil. Brexit membuat perbatasan kepabean antara Inggris dan Uni Eropa berlaku kembali yang berarti akan ada dokumen resmi yang menyatakan barang-barang tersebut sesuai dengan standar UE dan pengecekan untuk setiap ribuan barang expor-impor Inggris karena Inggris secara resmi diposisikan sebagai "negara ketiga", seperti Australia dan US yang ingin melakukan perdagangan dengan UE sebagai pasar tunggal. Di samping itu, Inggris juga kehilangan kebebasannya dalam perdagangan barang, jasa, modal, dan tenaga kerja.Â
Tingginya Inflasi
Inggris mengalami inflasi tertinggi mencapai 10% pada tahun 2022. Â Brexit memainkan peran besar mengingat saat kepabean berlaku antara Inggris dan UE, maka tarif impor menjadi lebih mahal. Padahal, dapat dikatakan Inggris sangat bergantung terhadap impor untuk memenuhi kebutuhan negaranya. Harga makanan dan bahan bakar melonjak drastis akibat tingginya tekanan permintaan rumah tangga yang tidak sebanding dengan ketersediaan.
Data ONS tersebut menunjukan bahwa harga bahan bakar naik hingga 45% disusul dengan naiknya harga sejumlah bahan makanan. Harga-harga semakin naik, tetapi pendapatan tetap sangat berpotensi membawa Inggris pada krisis yang lebih parah. Sejumlah artikel pemberitaan menceritakan bagaimana sejumlah anak di sekolah kelaparan akibat orang tuanya tidak mampu untuk membawakan bekal, bahkan di antara mereka ada yang sampai memakan penghapus untuk menghilangkan lapar.
Berdasarkan grafik di atas, selain brexit, perang Rusia-Ukraina juga menjadi penyebab mengapa inflasi melonjak tajam. Perang keduanya membuat kelangkaan bahan bakar terjadi dan banyak negara di Eropa termasuk Inggris mengalami krisis energi. Pasar minyak semakin ketat dan harga semakin mahal. Berdasarkan laporan Bloomberg, diperkirakan Inggris hanya memiliki seperenam pasokan energi dari total kebutuhan domestik pada musim dingin nanti.
Pertentangan Kebijakan BoE dan Pemerintah
Bank of England (BoE) mengeluarkan kebijakan moneter berupa menaikan suku bunga 50 basis poin (bps) ke 2.25% menjadi yang tertinggi sejak krisis 2008. Kenaikan suku bunga ini dilakukan untuk menekan laju inflasi. Di sisi lain, Perdana Menteri Lis Truss, melalui kebijakan fiskalnya berencana memangkas pajak sebanyak 45 miliar poundsterling tanpa mengurangi belanja negara. Artinya, di saat BoE berusaha untuk menekan permintaan, pemerintah justru ingin menaikan permintaan karena saat pajak dipangkas, akan ada relaksasi di sektor keuangan yang mendorong masyarakat untuk lebih aktif dalam perekonomian. Menurut IMF, pemerintah Inggris seharusnya menggunakan anggarannya untuk alternatif lain karena pada dasarnya, tidak benar jika kebijakan moneter dan fiskal bertentangan.
Jatuhnya Poundsterling
Pada 26 September, poundsterling anjlok sebanyak 4,37% berimbas pada nilai tukarnya terhadap dollar menjadi US$ 1.003/GBP. Angka ini menjadi posisi terlemah poundsterling setelah sebelumnya collapse pada angka US$ 1,0520/GBP di tahun 1985.Â
Brexit memiliki implikasi yang cukup besar bagi perekonomian Inggris. Selain itu, situasi dunia internasional yang sedang tidak stabil akibat konflik geopolitik membuat Inggris juga terkena dampaknya. Penting bagi Pemerintah Inggris untuk lebih hati-hati dalam memberlakukan kebijakan dan bersinergi dengan baik untuk mengatasi krisis ini.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI