Komunikasi adalah salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia yang berfungsi sebagai sarana untuk menympaikan informasi, membangun hubungan, dan menciptakan pemahaman antara individu. Dalam komunikasi verbal, tidak hanya kemampuan interpersonal namun kemampuan memahami perasaan dan emosi lawan bicara. Kemampuan ini melibatkan dua konsep psikologis yang sering dianggap serupa yaitu empati dan simpati. Meski sekilas dan tampak mirip namun empati dan simpati memiliki makna yang berbeda serta berkontribusi secara unik dalam membentuk kualitas interaksi manusia.
Empati dapat diartikan sebagai kemampuan untuk memahami dan merasakan emosi yang dirasakan oleh orang lain seolah-olah individu tersebut berada dalam situasi yang sama. Empati juga melibatkan keterhubungan emosional yang mendalam dimana seseorang tidak hanya memahami secara kognitif tetapi juga dapat merasakan apa yang dialami oleh orang lain. Sebaliknya, simpati memiliki sifat lebih emosional namun tidak mendalam. Simpati merujuk pada perasaan prihatin, belas kasihan atau dukungan terhadap orang lain tanpa benar-benar merasakan pengalaman emosional yang sama.
Dalam konteks komunikasi, simpati sering kali ditunjukan melalui ungkapan, dukungan atau hiburan sementara empati melibatkan usaha untuk benar-benar memahami perspektif dan emosi dari orang lain. Perbedaan mendasar antara empati dan simpati ini memiliki implikasi yang sangat signifikan dalam berbagai konteks kehidupan termasuk dalam hubungan personal, lingkungan kerja, pendidikan dan bidang layanan seperti kesehatan atau konseling. Individu yang mampu untuk menunjukan empati sering kali dianggap lebih efektif dalam menciptakan hubungan yang mendalam karena empati dapat mendorong komunikasi dengan saling terbuka meskipun bersikap positif dapat memberikan kesan jarak emosional Karen tidak melibatkan pemahaman yang sepenuhnya terhadap pengalam orang lain.Â
Baron dan Byrne (Asih dan Pratiwi, 2010) menyatakan bahwa dalam empati juga terdapat aspek aspek yaitu:
a) Kognitif yaitu; Individu yang memiliki kemampuan empati dapat memahami apa yang orang lain rasakan dan mengapa hal tersebut dapat terjadi pada orang tersebut.
b) Afektif yaitu Individu yang berempati merasakan apa yang orang lain rasakan. Batson dan Coke (Asih dan Pratiwi, 2010) menyatakan bahwa di dalam empati juga terdapat aspek-aspek:
1.)Kehangatan merupakan suatu perasaan yang dimiliki seseorang untuk bersikap hangat terhadap orang lain.
2.) Kelembutan merupakan suatu perasaan yang dimiliki seseorang untuk bersikap maupun bertutur kata lemah lembut terhadap orang lain.
3.) Peduli merupakan suatu sikap yang dimiliki seseorang untuk memberikan perhatian terhadap sesama maupun lingkungan sekitar
Empati dalam konseling merupakan hal yang sangat penting jika kita mengingat proses konseling merupakan sebuah bantuan melalui interaksi.. Salah satu masalah yang sering muncul adalah kurangnya rasa empati dalam berkomunikasi yang bisa menyebabkan kesalahpahaman interaksi komunikasi antara konselor dan konseli sehingga konseli frustasi dan tidak ada manfaat yang dihasilkan dari proses konseling tersebut. Empati merupakan dasar hubungan interpersonal. Hal yang juga penting diungkap dalam konteks peningkatan mutu empati seseorang adalah berlatih menampakkan ekspresi-ekspresi atau isyarat non-verbal yang membuat orang lain merasa dimengerti dan diterima karena kemampuan empati terutama melibatkan kemampuan seseorang untuk membaca perasaan lewat pemahaman terhadap isyarat-isyarat non-verbal orang lain. Pemahaman seperti ini membuat hubungan antar individu terjalin dengan baik.
Dalam kepustakaan konseling ditegaskan tentang keefektifan konseling (counseling effectiveness) lebih ditentukan dari kecakapan konselor. Oleh karena itu, peran empati cukup esensial yang diakui dalam teori-teori konseling sehingga empati yang diwujud-nyatakan dalam praktik konseling selama ini merupakan suatu keniscayaan untuk ditumbuh kembangkan secara sistematis. Empati diartikan sebagai perasaan simpati dan perhatian terhadap orang lain, khususnya untuk berbagi pengalaman atau secara tidak langsung merasakan penderitaan orang lain Sears (Asih dan Pratiwi, 2010). Hurlock ( Asih dan Pratiwi, 2010) menyatakan bahwa empati sebagai kemampuan untuk  menempatkan diri pada posisi orang lain sehingga orang lain seakan-akan menjadi bagian dalam diri.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Simpati adalah suatu proses kejiwaan dimana seorang individu merasa tertarik pada seseorang atau sekelompok orang karena sikap, penampilan, wibawa atau perbuatannya sedemikian rupa. Jadi bisa dikatakan sebagai kemampuan  seorang konselor untuk merasakan dan memahami emosi atau pengalaman yang dirasakan oleh klien namun tetap menjaga jarak emosional. Adapun dalam pelaksanaan simpati ini dapat diukur melalui 3 aspek yaitu:
1. Aspek Reflektif yaitu pengaruh yang datang dari dalam diri sendiri
2. Aspek Intelektual yaitu pengaruh yang datang dari orang lain
3. Aspek Penghayatan yang datang dalam menjalankan tugas yaitu bersungguh-sungguh dalam melaksanakan tugas
Pendekatan dalam interaksi menurut Goleman, 1995 mengatakan bahwa empati menggunakan pendekatan aktif. kita berusaha menempatkan diri di posisi lawan bicara, mendengarkan secara aktif, dan memberikan dukungan berdasarkan kebutuhan mereka sedangkan untuk simpati menggunakan pendekatan pasif yang dimana perasaan hanya ditunjukkan secara sepintas tanpa melibatkan diri secara emosional atau kognitif dalam situasi tersebut.
Seringkali simpati dianggap salah satu bentuk perasaan sederhana sebagai contoh seperti peka terhadap orang lain ketika berelasi dengan orang lain. Namun sebenarnya bahwa simpati ini tidak sesederhana itu. Simpati sangat bergantung pada beberapa kemampuan seseorang menangkap ekspresi dan merasakan perasaan orang lain. Simpati merupakan hasil dari serangkaian tahapan. Untuk dapat sampai pada simpati, seseorang harus melalui yang namanya identifikasi dan perasaan imajinatif (vicarious feeling). Setelah seseorang mampu melalui tahapan identifikasi dan perasaan imajinatif, barulah ia mampu untuk bersimpati.
Simpati melibatkan kesadaran terhadap perasaan klien tanpa terlalu larut didalamnya sehingga konselor dapat memberikan dukungan secara objektif dan professional. Simpati lebih focus terhadap rasa peduli dan perhatiaan terhadap keadaan emosional klien. Hal ini penting karena simpati membantu menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi klien untuk berbagi perasaan mereka. Simpati dalam konseling juga memainkan peran penting dalam membangun hubungan yang baik (rapport )antara  konselor dan klien.
Kesimpulannya adalah dalam komunikasi empati dan simpati merupakan dua konsep yang memiliki peran penting namun dengan karakteristik yang berbeda. Empati merujuk pada kemampuan untuk memahami dan merasakan emosi orang lain sedangkan simpati mengacu pada rasa belas kasihan atau kepedulian terhadap orang lain tanpa keterlibatan emosi atau rasa yang mendalam. Secara garis besar, perbedaan mendasar antara empati dan simpati terletak pada tingkat kedalaman emosional yang terlibat.
Dalam praktik komunikasi, empati dikatakan lebih unggul dalam menciptakan dialog yang produktif dan konstruktif terutama dalam situasi yang membutuhkan pengertian mendalam serta lebih banyak disarankan karena dapat membangun hubungan yang lebih baik. Namun, simpati tetap relevan karena dapat memberikan dukungan emosional yang cepat dan umum. Meskipun empati dan simpati memiliki peran masing-masing dalam komunikasi namun penerapan empati cenderung meghasilkan dampak yang lebih signifikan terhadap kualitas hubungan interpersonal. Jika empati dan simpati disatukan dapat memperkaya interaksi sosial dan dapat mendukung keberhasilan komunikasi yang efektif. Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H