Mohon tunggu...
Larasati Dewinta
Larasati Dewinta Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Negeri Malang

Seorang mahasiswi dari Universitas Negeri Malang yang berorientasi pada bidang ekonomi dan administrasi data yang diperoleh melalui pengalaman praktis sebagai pemagang di Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Malang. Keahlian dalam berorganisasi yang dipadukan dengan komitmen untuk selalu belajar dan bertanggung jawab. Komunikator yang baik dengan fokus pada membangun hubungan dan lingkungan kerja yang positif.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Artikel Utama

Tantangan Pemenuhan Gizi Petani Marjinal Dusun Duwet dalam Konteks Pencapaian SDGs

1 Agustus 2024   10:40 Diperbarui: 7 Agustus 2024   20:37 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kabupaten Malang, 1 Agustus 2024 – Petani marjinal merupakan petani yang mengolah lahan pertanian milik orang lain dengan skala terbatas kurang dari satu hektar dan cenderung memiliki pendapatan yang rendah. 

Mereka seringkali berada pada posisi kondisi ekonomi yang tidak stabil dan hanya bergantung pada hasil panen disetiap harinya. 

Kabupaten Malang yang memilki kurang lebih 45.851 hektar sawah serta 108.209 hektar kebun dan ladang menjadi tempat bagi para petani marjinal bergantung. 

Tidak sedikit para petani dengan usia lebih dari 60 tahun yang bekerja untuk bisa menghidupi keluarganya. Penghasilan kurang dari 50 ribu perhari tidak sedikit kami jumpai dari para petani ini.

Ibu Mistin merupakan salah satu petani marjinal yang kami tim surveyor dari Universitas Negeri Malang dalam kegiatan Riset Kolaborasi Indonesia (RKI) temui di Dusun Duwet, Tumpang, Kabupaten Malang. 

Wanita yang hampir mencapai umur 60 tahun ini setiap harinya bekerja menjadi petani di ladang jagung. Ibu Mistin menjadi tulang punggung keluarganya sejak 15 tahun yang lalu sebab kepala keluarga dalam kondisi sakit parah. 

Karena penghasilan yang kurang untuk menghidupi seluruh anggota keluarga, kami menanyakan terkait kerawanan pangan keluarga Ibu Mistin. 

Beliau mengatakan bahwa “kalau untuk makan itu pasti diusahakan, dikatakan kerawanan pangan juga tidak karena setiap hari masih bisa memberi makan seluruh keluarga”

Beliau juga menyampaikan kalau sedang tidak ada beras masih tetap bisa makan, yaitu dengan memakan hasil pertanian dari ladang jagungnya. 

Tidak sedikit dari para petani marjinal yang kami temui memberikan pernyataan seperti itu, hal ini dapat kami simpulkan bahwa menurut para petani marjinal kebutuhan makan yang tercukupi setiap harinya menjadi hal yang tidak perlu dikhawatirkan di luar keseimbangan gizi yang mereka peroleh. 

Konsumsi sehari-hari petani marjinal yang kami temui mengatakan bahwa yang penting ada nasi, bahkan untuk mengkonsumsi buah para petani mengandalkan tanaman yang ada di lingkungan sekitar saja.

Selain harga bahan bahan makanan yang terbilang mahal banyak dari petani yang mengatakan tidak suka mencoba makanan yang tidak terbiasa di makan. 

Contohnya tidak suka memakan ikan karena tidak pernah mencoba ikan, tidak pernah mengkonsumsi susu karena tidak suka dengan rasa susu. 

Sedangkan pada umur diatas 60 tahun baik untuk mengkonsumsi gizi dari makanan secara seimbang untuk menjaga metabolism tubuh dan mencegah gejala kesehatan seperti osteoporosis atau kekebalan tubuh.

Hal ini juga berdampak pada keluarga di rumah yang juga makan makanan dengan gizi yang kurang seimbang, sedangkan masih banyak petani yang memiliki anak ataupun cucu di usia pertumbuhan yang mana membutuhkan asupan gizi seimbang untuk membantu peningkatan perkembangan fisik dan kognitif mereka. Karena jika hal ini dibiarkan selama bertahun-tahun akan memunculkan banyak kondisi stunting pada anak anak sekolah.

Menjadi tantangan bagi nasional dan generasi muda untuk dapat mengatasi hal ini, selain memberikan pengarahan terkait pentingnya keseimbangan gizi juga menjaga nilai harga pangan tetap stabil agar masyarakat kalangan menengah kebawah dapat mengkonsumsi gizi secara seimbang dan lengkap. Hal ini juga termasuk pada SDGs nomor 1 yaitu tanpa kemiskinan, dimana pemenuhan gizi yang baik dapat mengurangi biaya kesehatan jangka panjang yaitu terkait penyakit kronis ataupun stunting. Selain itu juga termasuk pada SDGs nomor 2 yakni tanpa kelaparan seperti menyediakan akses pada makanan yang cukup dan bergizi serta dapat didapatkan dengan harga terjangkau agar lebih merata pada semua kalangan.

Karena memberikan pengarahan tentang gizi tanpa memberikan contoh secara nyata maka tidak akan berdampak pada perubahan konsumsi masyarakat. Sesuai pada SDGs nomor 17 yaitu tentang kemitraan untuk mencapai tujuan, dimana kerja sama dari seluruh pemangku kepentingan dengan menyampaikan secara langsung kepada masyarakat akan lebih cepat membantu untuk mencapai tujuan dan masyarakat juga akan lebih percaya jika seluruh stakeholder secara serentak memberikan pengarahan yang sama dan sesuai.

Konsumsi daging, ikan, susu menjadi hal yang langka bagi petani karena itu penyaluran bantuan berupa bahan makanan tersebut secara teratur dapat membantu perbaikan gizi keluarga petani marjinal. Hal ini juga dapat didorong oleh SDGs nomor 12 yaitu terkait konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab, yakni mendorong pola makan sehat dan berkelanjutan bagi semua usia, termasuk juga dengan membantu mengurangi limbah makanan dan mendukung praktik konsumsi yang berkelanjutan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun