Aksiologi, membahas tentang nilai-nilai kehidupan. Aksiologi disebut juga filsafat nilai, yang meliputi meliputi: etika, estetika, dan religi. Etika adalah bagian filsafat aksiologi yang menilai perbuatan seseorang dari segi baik atau buruk. Estetika adalah bagian filsafat yang menilai sesuatu dari segi indah atau tidak indah. Sedangkan religi merupakan sumber nilai yang berasal dari agama atau kepercayaan tertentu. Dengan demikian, sumber nilai bisa dari manusia (individu dan masyarakat) dan bisa dari agama atau 13 kepercayaan.
Jadi, kalau ontologi adalah filsafat mengenai yang ada, maka epistemologi adalah filsafat mengenai cara mengenal yang ada, dan aksiologi adalah bagian filsafat mengenai cara menilai yang ada itu. Ontologi disebut juga filsafat spekulatif, epistemologi disebut filsafat analitis, dan aksiologi disebut filsafat preskriptif.
EKSISTENSI FILSAFAT DALAM DUNIA KAMPUS
Pada eksistensinya, filsafat di dalam instansi kampus dipandang sebagai suatu ilmu yang menjadi dasar atau landasan berpikir khususnya bagi mahasiswa. Bagi mahasiswa, filsafat itu penting karena bukan hanya untuk tujuan membangun kesadaran mahasiswa tentang posisi dan cara kerja ilmu pengetahuan tapi juga membangkitkan daya kritis mahasiswa, memupuk rasa ingin tahu dan menjadikan mereka berpikiran fleksibel dan terbuka.
Namun hal tersebut belum sepenuhnya terlihat di kalangan mahasiswa pada umunya. Hal ini dikarenakan faktanya di dunia akademisi khususnya dalam dunia kampus, metode pengajaran filsafat yang diajarkan para dosen filsafat hanya bersifat historiografi filsafat semata, seperti mengetahui sejarah para filsuf Yunani seperti Socrates, Descartes, Platon, Aristoteles dan lain-lain. Sangat jarang bahkan tidak sama sekali kita dapati suatu metodik yang mempelajari alur pemikiran para tokoh secara sistematis dan kritis untuk menggali makna filsafat lebih dalam lagi, tetapi malah sebaliknya.
Sehingga jati diri filsafat menjadi terasing dalam metode pembelajarannya. Filsafat hanya dapat diterima secara instan dan kontekstual oleh para mahasiswa-mahasiswi. Tepat di situlah filsafat terjadi pergeseran identitas dan makna. Filsafat tidak menjadi suatu ilmu yang di poles dengan perenungan (tafakkur) untuk meningkatkan potensi pikir bagi setiap orang dan khusunya para mahasiswa-mahasiswi.
Filsafat yang pada dasarnya adalah suatu disiplin ilmu yang sangat metafisika (non indrawi) menjadi seakan-akan adalah sebuah disiplin ilmu yang hanya menyentuh hal-hal fisika (indrawi) semata. Padahal tujuan mempelajari filsafat adalah untuk menggali dan mengetahui hakikat kehidupan itu dan untuk menciptakan manusia yang mampu mencintai kebijaksanaan. Filsafat, ketika ditinjau secara etimologi berasal dari bahasa Yunani yaitu Philo yang berarti cinta dan Sophi yang berarti kebijaksanaan. Ketika filsafat hanya menjadi suatu ilmu yang hanya menyentuh hal-hal yang yang bersifat historiografi semata, maka mustahil filsafat dapat melahirkan sosok manusia yang mencintai kebijaksanaan.
Filsafat tidak hanya sebagai ilmu dasar dalam berpikir dan mencari kebenaran tentang makna kehidupan, tetapi juga ilmu yang mempelajari bagaimana menjadi manusia yang mencintai kebijaksanaan atau manusia yang mempunyai sikap bijaksana. Oleh karena itu, maka perlu pengkajian lebih dalam tentang makna filsafat di dunia kampus agar hal tersebut tidak hanya dipahami secara kontekstual tapi mampu berpikir fleksibel, terbuka, kreatif serta kritis sehingga dalam penerapannya dapat memberikan manfaat bagi dirinya maupun oranglain.
Sehingga dalam hal ini, di dunia pendidikan khususnya di dunia kampus diperlukannya dosen yang mampu berpikir fleksibel, terbuka, kreatif dan mampu berpikir kritis. Hanya dosen seperti ini yang akan mampu membekali Mahasiswanya untuk menghadapi tantangan kehidupan baru di masa depan.
Penulis: La Ode Saleh Fahrun R, S.PÂ
(Mahasiswa Magister Agribisnis Departemen Program Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Malang)