Keesokan harinya, pada 15 Januari 2025, tepat pukul 13.00 WITA, saya berangkat menuju pengadilan. Setibanya di sana, saya memarkir mobil di halaman depan, lalu segera menghubungi Jampidsus.
“Assalamu’alaikum, Pak. Saya sudah tiba di pengadilan.”
Beliau langsung mengarahkan saya menuju ruang tunggu di bagian belakang. Di sana, beberapa saksi lain sudah duduk menunggu. Kami berbincang ringan sambil menghabiskan waktu. Dua batang rokok sudah saya habiskan, tetapi belum ada tanda-tanda sidang akan segera dimulai.
Perut saya mulai keroncongan. Waktu sudah hampir setengah dua siang, dan saya belum makan siang. Akhirnya, saya memutuskan pergi ke kantin kecil di dekat ruang sidang.
“Bu, saya pesan mi goreng telur, bisa?” tanya saya kepada pemilik warung.
“Bisa, Mas. Ditunggu sebentar ya,” jawabnya ramah.
Saya duduk menunggu sambil melihat sekeliling. Bau harum mi goreng mulai tercium ketika tiba-tiba terdengar suara panggilan dari dalam pengadilan.
“Para saksi dimohon memasuki ruang sidang.”
Saya terkejut. Mi goreng saya baru saja matang, dan perut saya masih lapar. Dengan terburu-buru, saya mengambil dua suap, membayar makanan itu, lalu bergegas menuju ruang sidang.
Di dalam ruang sidang, saya dan saksi lainnya duduk berhadapan dengan hakim. Ruangan itu terasa begitu formal, dengan suasana yang sedikit menegangkan. Hakim mulai berbicara.
“Apakah Anda semua dalam keadaan sehat?”