14 Januari lalu, saya masih duduk santai di sebuah warung kopi di Kendari. Secangkir kopi hitam mengepul di meja, dan sebatang rokok di tangan saya sesekali mengepulkan asap tipis ke udara. Warung itu tidak terlalu ramai, hanya beberapa pelanggan yang sibuk dengan obrolan masing-masing.
Tiba-tiba, ponsel saya bergetar. Nada pesan WhatsApp berbunyi, membuat saya mengalihkan perhatian dari kopi yang baru saja saya seruput. Dengan santai, saya membuka pesan dari nomor yang tidak saya kenal.
“Assalamu’alaikum, ini dengan Pak Junaim?”
Saya membaca pesan itu dengan dahi sedikit berkerut. Saya membalas, “Wa’alaikumsalam, iya betul. Dengan siapa, Pak?”
Pesan balasan datang dengan cepat.
“Saya dari Kejaksaan Muna, ingin mengonfirmasi terkait kasus korupsi desa di salah satu desa di Muna Barat.”
Saya tersentak. Nama kasus itu langsung membangkitkan kenangan yang sudah hampir saya lupakan. Lima tahun lalu, saya pernah menjadi pendamping kabupaten dalam dugaan penyalahgunaan dana desa tahun 2019 di Desa Bero, Kecamatan Tiworo Utara. Saya pikir kasus itu sudah selesai. Tapi ternyata, prosesnya masih berjalan.
Saya melanjutkan membaca pesan.
“Kasus ini sudah masuk tahap persidangan, dan Anda diundang sebagai saksi pada tanggal 15 Januari 2025 di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Kendari.”
Saya menarik napas dalam. Kasus ini memang menyita perhatian banyak pihak saat itu. Saya tahu, kehadiran saya sebagai saksi bisa menjadi bagian penting dalam proses hukum yang sedang berlangsung.