Mohon tunggu...
Lany Hardila
Lany Hardila Mohon Tunggu... Guru - Seorang anak perempuan, istri, guru dan akan menjadi ibu.

Semangat menjadi penulis! Semangat menjadi guru inspiratif! Semangat menjadi orang yang bermanfaat!

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Peran Sastra dalam Membentuk Karakter Siswa

25 November 2018   21:03 Diperbarui: 26 November 2018   02:12 1508
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gideapkprimary.org.uk

"Ajarkan sastra pada anak-anakmu, agar yang pengecut menjadi pemberani" --Umar Bin Khattab.

Ungkapan dari salah satu khalifah pada zaman nabi Muhammad SAW tersebut sangat menarik. Umar Bin Khattab sangat mengapresiasi sastra pada zamannya, karena pada bangsa Arab sastra sangat berhubungan pada semangat dan kepahlawanan. 

Sastrawan dikatakan memiliki keberanian yaitu dalam penggunaan kata-kata. Meramu kata-kata dengan berani tanpa harus ditakut-takuti oleh ancaman pembaca yang mesti diminta pertanggung jawabannya.

Hal tersebut juga tercermin pada sastrawan Indonesia, sebut saja Pramoedya Ananta Toer, dengan gaya sastra perkasanya yang digoreskan pada novel postkolonialnya yang menceritakan kejatuhan dan keterpencilan manusia yang dihadapkan dengan kenyataan penjajahan kala itu telah mampu membuatnya menulis dan menceritakan secara jujur sehingga ia dimasukkan ke dalam penjara.

Kembali mengulang sejarah. Sitor Situmorang yang dijebloskan ke dalam penjara dengan begitu saja dikarenakan tuduhan pemberontakan. Esai sastranya yang dinilai pihak pemerintahan yang diktator kala itu dinilai sarat akan kritikan tajam. 

Bahkan, keberanian yang dimiliki Sitor tidak menghentikan langkah sitor yang mendekam di penjara saat itu. Dua karya sastra Sitor dapat ditulis di dalam penjara yaitu dinding waktu dan peta perjalanan.

Mestinya dalam dunia pendidikan, sastra berperan penting dalam membentuk karakter siswa agar kembali memilik semangat perjuangan yang dirasa sudah mulai berkurang. Bukan untuk melawan penjajahan fisik yang dilakukan oleh bangsa lain, melainkan oleh bangsa sendiri. Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tetapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri (Soekarno dalam Hering.2012:87)

Perjuangan yang dimaksudkan oleh Soekarno ialah dalam menghadapi carut-marut karakter bangsa yang dari waktu ke waktu semakin menurun. Hal tersebut terbukti pada kondisi masyarakat yang sangat memprihatinkan. 

Perkelahian, pembunuhan, kesenjangan sosial, ketidakadilan, perampokan, korupsi, pelecehan seksual, penipuan, fitnah di mana-mana terjadi. Hal itu dapat diketahui lewat berbagai media cetak atau elektronik, seperti surat kabar, televisi atau internet. Bahkan, tidak jarang kondisi seperti itu dapat disaksikan secara langsung di tengah masyarakat.

Menghadapi hal demikian, sesungguhnya pendidikan dapat berperan memperbaiki karakter bangsa yang tengah di ambang keterpurukan moral. Pendidikan karakter yang marak digalakkan oleh pemerintahan untuk mencoba mengubah dan membentuk kembali karakter bangsa yang tengah bobrok ini. Namun, respon masyarakat terhadap pendidikan karakter berbeda-beda. 

Di kalangan kelompok pendidik muncul pendapat mengenai perlunya penguatan pendidikan budi pekerti. Sedangkan agamawan memandang perlunya penguatan pendidikan agama. Mereka yang berkecimpung di bidang politik mengusulkan revitalisasi pendidikan pancasila.

Namun, menelitik dari sejarah, mengenai sastrawan yang tanpa ada perlakuan dan peraturan khusus menyumbangkan pemikirannya melalui perbaikan karakter bangsa melalui pembelajaran sastra yang akan langsung berpengaruh pada bidang pendidik yaitu guru bahasa Indonesia dan siswa sebagai cikal bakal agen perubahan serta pembelajaran mengenai sastra itu sendiri yang di ungkapkan dengan cerita fiksi yang mengandung amanat dan puisi yang mempunyai pesan moral tersendiri.

Berbicara mengenai karakter sebagai akhlak dapat bersifat positif dan negatif. Dalam pandangan agama terdapat akhlakul karimah (akhlak mulia) dan akhlakul madmumah (akhlak tercela. 

Dalam akhlakul karimah tercakup 22 sifat terpuji yaitu, sederhana, rendah hati, giat bekerja, jujur, memenuhi janji, terpercaya, konsisten atau istiqomah, kemauan keras, bersaudara, belas kasih, satria, tabah, lemah lembut, ramag, simpatik, malu, bersaudara, suka menolong, menjaga kehormatan, menjauhi syubhat ; pasrah kepada Allah, berkorban untuk orang lain dan penyayang. Sementara lawan dari sifat-sifat terpuji itu termasuk akhlakul madmumah, seperti boros, seombong dan malas. Menurut Koesoema.A (2010: 79) Karakter dapat didefinisikan sebagai unsur psikososial yang dikaitkan dengan pendidikan dan konteks lingkungan.

Sastra sebagai hasil karaya seni manuisa yang berupa lisan maupun tulisam yang mempunyai makna atau keindahan tertentu. Dalam sastra terkandung eksplorasi mengenai kebenaran kemanusiaan, adat istiadat, agama, kebudayaan dan sebagainya. Sastra menawarkan berbagai bentuk kisah yang merangsang pembaca untuk berbuat sesuatu. 

Menurut Luxemburg dkk (1989:76) sastra juga bermanfaat secara rohaniah. Dengan membaca sastra, kita memperoleh wawasan yang dalam tentang masalah manusiawi, sosial, maupun intelektual dengan cara yang khusus.

Sastra adalah taman yang indah dan penuh perenungan filsafati. Jika diapresiasi secara baik dan memadai, sastra memiliki segala aspek yang dibutuhkan oleh manusia yang beradab dan berbudaya untuk menjadi lebih humani. Dengan bahasa yang cermat seorang sastrawan mencoba mengkonstruksi konteks penciptaan sastra ke dalam sebuah dunia baru.

Berbicara mengenai sastra dan pendidikan karakter merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Sastra membicarakan berbagai nilai yang terkait dengan hidup dan kehidupan manusia di bumi yang sekarang dipijak. Menurut Mangunwijaya (1992:7) menyatakan di samping penelitian yang bersifat ilmiah untuk memahami dan menolong manusia serta masyarakat. 

Dunia sastra masih tetap memegang peran vital dalam bidang yang sama. Khususnya dalam dimensi-dimensi yang begitu dalam seperti religiositas manusia, yang menentukan sikap kita terhadap diri sendiri, buah-buah sastra mengisi apa yang tidak mungkin diisi ilmu pengetahuan dan ikhtiar-ikhtiar kemanusiaan lain. Khususnya dalam pengolahan religius manusia yang lazimnya hanya dapat dikomunikasikan melalui bahasa lambang dan persentuhan cita rasa, sarana sastra sangat bermanfaat.

Pengalaman-pengalaman yang diperoleh melalui membaca karya sastra dapat memotivasi serta menunjang perkembangan kognitif atau penalaran peserta didik (anak). Dengan begitu kepribadian anak akan jelas pada saat mereka mencoba memperoleh kemampuan untuk mengekspresikan emosi, empatinya terhadap orang lain dan mengembangkan perasaannya mengenai harga diri dan jati dirinya. Dengan demikian anak dapat hidup bermasyarakat dengan baik dan memiliki budi pekerti yang baik pula.

Karya sastra yang dapat dipilih sebagai bahan ajar adalah karya sastra berkualitas, yakni karya sastra yang baik dalam konstruksi struktur dan mengandung nilai-nilai yang dapat membimbing peserta didik menjadi manusia yang baik. 

Dalam pengelolaan proses pembelajaran, guru harus mengarahkan siswa dalam proses karya sastra. Guru harus mengarahkan siswa untuk dapat menemukan nilai-nilai positif dari karya sastra yang mereka baca. Guru jangan membebaskna siswa untuk menemukan dan menyimpulkan sendiri nilai-nilai yang ada dalam karya sastra. Selanjutnya, guru membimbing siswa untuk dapat mengaplikasikan nilai-nilai positif yang telah diperolah dari karya sastra dalam kehidupan sehari-hari.

Pada unsur-unsur sastra seperti tokoh dan penokohan, teknik cerita dan sudut pandang. Seorang guru mesti mesti mempunyai kreativitas dan memiliki informasi menarik dalam menyajikannya. 

Salah satu teknik pengajaran yaitu permodelan. Sanjaya (2011:267) menjelaskan asa modeling adalah proses pembelajaran dengan memperagakan sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh setiap siswa.

Namun, dalam memberikan model dalam hal karya sastra guru mesti dapat memilah karya sastra yang notabene memiliki begitu banyak genre. Hal-hal yang banyak mengandung unsur erotis dapat dihindari guru karena dirasa bahasa yang vulgar sedikit juga bertolak belakang dengan pendidikan karakter sendiri. Meski dalam amanat dan pesan moral tetap saja memiliki pesan yang merupakan bagian dari pendidikan moral.

Secara psikologis kepekaan peserta didik terjadi pada usia dini sebagai akibat struktur biologis yang masih kosong sehingga mudah diisi di satu pihak, kemampuan struktur organisme itu sendiri dalam menerima berbagai rangsangan dari luar di pihak lain. 

Secara praktis anak-anak usia dini sangat mudah untuk meniru tingkah laku apa saja, yang menurutnya sesuai dengan kehidupannya dan sesuai dengan angan-angannya mengenai kehidupan. Oleh karna itu, guru berperan dalam mengarahkan bacaan siswa yang mesti mendukung atas berlangsungnya pendidikan karakter di dalamnya.

Dalam proses belajar mengajar seolah-olah yang dipentingkan adalah karya-karya yang berkaitan dengan masalah-maslah kejiwaan, seperti novel-novel psikologis, termasuk arus kesadaran. 

Tetapi karakter dalam hubungan ini lebih banyak berkaitan dengan pendidikan, bukan genre, bukan teknik, sehingga yang dianggap lebih tepat adalah karya-karya yang mengandung pendidikan moral. Oleh karena pendidikan moral terkandung dalam semua karya sastra, maka keseluruhan karya sastra dapat dimanfaatkan dalam pendidikan karakter. Di samping itu, seperti sudah disinggung dalamnya hampir tidak dikenal perbedaan antara genre psikologis dan nonpsikologis.

Dalam hal inilah proses pemilihan dikembalikan pada kompetensi para pendidik. Sesuai dengan hakikatnya, sebagai sistem simbol, nilai-nilai yang diperoleh tergantung bagaimana menjelaskannya, mendiskusikannya, baik dalam rangka menyusun SAP maupun secara langsung melalui proses belajar mengajar di dalam kelas. 

Narasi-narasi yang mengandung ciri-cir negatif, seperti: malas, bodoh, porno, jahat dan sebagainya diberikan penjelasan bahwa perilaku tersebut bukan untuk ditiru, melainkan dihindarkan.

Ratna (2014: 265) menjelaskan pemilihan terhadap jenis karya dilakukan sesuai dengan usia, tingkat pendidilkan, khususnya relevansi terhadap topik-topik penyusunan bahan ajar. Cerita rakyat, dongeng sesuai disajikan untuk anak-anak usia dini termasuk SD. Cerita-cerita kepahlawanan sesuai untuk anak-anak SMP termasuk SMA. 

Novel kontemporer seperti karya Ayu Utami (Saman dan Larung), Djenar Maesa Ayu (jangan main-main dengan kelaminmu) tidak sesuai diberikan pada anak SD, SMP bahkan SMA, tetapi sudah dapat diterima oleh peserta didik yang duduk di Perguruan tinggi.

Oleh karena itu, dalam hal peran sastra dalam pembentukan karakter siswa guru mempunyai andil besar dalam hal mengawasi, mengarahkan dan memfasilitasi karya sastra yang baik dalam mendukung berlangsungnya pendidikan karakter yang otomatis sedikit demi sedikit akan membangun karakter bangsa Indonesia yang sudah sangat bobrok dan besar harapan pendidik, masyarakat dan berbagai kalangan pendidikan di sekolah yang dilakukan oleh guru-guru dan pihak-pihak yang ada disekolah mampu menggiring siswa pada siswa yang berkarakter dan tentunya mempunyai jiwa sastra yang kuat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun