Mohon tunggu...
Puisi

Ibu Guru Risa

24 Maret 2016   02:13 Diperbarui: 24 Maret 2016   15:07 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Aku memandangi pohon Mahoni yang tumbuh di ujung lapangan. Ah…. memandangi pohon mahoni yang kini telah tumbuh menjulang itu mengingatkanku pada satu nama : Risa. Ya pohon itu di tanam ibu guru Risa 10 tahun yang lalu ketika dia pertama kali datang ke perkampungan ini untuk mengajar. Ibu guru Risa datang ke sekolah ini di awal semester ganjil. Dia mengenakan kemeja putih bertangan tiga per empat dan rok sepan berwarna hitam dipadukan dengan sepatu berhak tinggi.

Aku begitu mengingatnya karena untuk pertama kalinya ada guru yang berpenampilan menarik. Guru-guru disini sudah tua dan mereka berpakaian sesukanya. Tetapi tidak dengan ibu guru Risa, dia menyapu wajahnya dengan bedak  dan memoles gincu merah muda di bibirnya. Dia juga menata rambut ikalnya yang terkadang dikuncir ekor kuda atau digerai lalu dihiasi jepitan kecil. Kaum lelaki seperti kami begitu bersemangat kala itu. Dia wanita paling cantik yang pernah ku lihat seumur hidupku. Ya.. seumur hidupku bahkan hingga kini. Aku masih siswa baru , saat itu ku putuskan akan menjadi guru, seperti ibu guru Risa.

Ibu guru Risa mengajarkan bahasa Inggris dan menariknya lagi dia pernah tinggal di luar negeri. Luar negeri bagi kami adalah kata yang tidak bisa dimengerti. Kami bahkan tidak pernah meninggalkan perkampungan ini. Kami tahu bahwa kami diasuh oleh satu negara bernama Indonesia, tetapi itu hanya kami simpan di kepala atau tuliskan di buku, dunia kami adalah perkampungan ini. Ibu guru Risa saat itu membawa  peta dunia. Dia menunjukkan dimana luar negeri itu.

“Ibu pernah tinggal disini “ dia menunjukkan sebuah pulau kecil bernama Britania Raya. Pulau itu lebih kecil dari wilayah Indonesia. Berada di Benua Eropa, sebuah benua yang keseluruhan wilayahnya berada di kutub utara. Ibu guru Risa lalu bercerita bahwa negara itu mempunyai empat musim, musim panas, musim gugur, musim dingin dan musim semi. Keempat musim itu datang bergantian membawa suasana yang berbeda. Musim dingin yang menawarkan keindahan salju namun membuatmu menggigil kedinginan dan hidungmu yang terkadang kesulitan bernafas, musim semi yang menawarkan keindahan bunga-bunga yang mulai menunjukkan dirinya, musim panas yang baiknya dinikmati dengan bermain sepuasnya di pantai dan musim gugur yang akan menawarkan indahnya dedaunan berjatuhan bak di film romantis. Tetapi lagi-lagi kami hanya membayangkanya dalam kepala, sambil takjub bagaimana musim bisa berganti sedangkan di perkampungan ini hanya ada musim kemarau dan musim hujan kalaupun bertambah ya hanya musim paceklik.

“Nama negara ini Inggris, kalian mengenal Isaac Newton ? “ dia bertanya kepada kami , wajah kami gelagapan bahkan beberapa diantara kami belum mahir membaca bagaimana mungkin kami tahu itu.

Inggris kala itu adalah negeri dongeng untuk kami. Inggris hanya kami kenal lewat penjelasan guru sejarah dan guru geografi.

“Dia adalah seorang ilmuwan yang mencetuskan teori gravitasi, kalian harus banyak membaca. Banyak hal menarik yang akan kalian temui kalau kalian membaca. “ dia tersenyum sambil menyemangati kami, matanya berbinar penuh energi.

Ibu guru Risa lalu membagi kami ke dalam 3 kelompok, dia akan menemani kami membaca sehingga kami bisa bertanya kalau kalau kami tidak mengerti. Ibu guru Risa juga mengajari kami bercocok tanam memelihara ternak dan mengembangbiakkan ikan air tawar. Dan ajaibnya lagi dia menyerahkan seluruh uang hasil penjualan kepada kami. Semua orang menyukai ibu guru Risa, kepala sekolah, guru-guru, siswa bahkan orangtua kami.

“Tidak ada gunanya ibu mengajari kalian mengenai teori gravitasi atau bagaimana hujan turun kalau perut kalian tidak terisi “ begitu dia dengan lembut menyemangati kami untuk belajar sambil bekerja.

“lagipula kita belajar banyak hal ketika beternak kan ? “ tanyanya lagi

“Iya bu “ riuh kami menjawabnya dengan semangat empat lima.

Ibu guru Risa selalu memanggil kami dengan nama, ya seluruh siswa di sekolah yang mulai dari kelas satu sampai kelas tiga yang keseluruhannya berjumlah sekitar 100, dia mengingat semua namanya.

“Kalau kamu ingin menjadi guru maka hal pertama yang harus kamu lakukan adalah mengenal murid-muridmu. Kamu harus memanggil dengan nama mereka “ dia menasihatiku ketika aku mengutarakan keinginanku menjadi guru. Dia berpendapat bahwa dengan memanggil murid-muridnya dengan nama maka akan terjalin ikatan yang sangat kuat antara dirinya dengan murid-muridnya.

Ibu guru Risa selalu memuji apapun yang kami lakukan, entah itu benar atau salah maka hal pertama yang dilakukannya adalah memuji bahwa kami sudah berani bertindak. Jika kami melakukan kesalahan maka dia tidak akan menghukum sampai kami mengakui sendiri bahwa kami melakukan kesalahan.

“Tidak ada gunanya menghukum seseorang tetapi mereka tidak tahu kesalahan mereka. Suatu hari nanti mereka akan melakukan kesalahan yang sama lagi “

Kelas kami adalah kelas demokrasi. Ibu guru Risa selalu membebaskan kami duduk dimanapun kami merasa nyaman. Kelas bahasa Inggris Ibu Risa bukanlah kelas menghafal, dia membiarkan kami berbicara bahasa Inggris. Dia menyuruh kami belajar melalui lagu yang diputar melalui tape usang yang dibeli ibu guru Risa dari penjual barang bekas. Dia mengajari kami menulis pengalaman menggunakan bahasa Inggris lalu membacakannya di depan kelas. Lain hari dia mengajak kami memainkan drama. Begitulah dia membuat kami berbicara bahasa Inggris.

“Kalian harus berhasil dan membangun pulau ini “ begitu dia selalu menyemangati kami.

Suatu pagi bu guru Risa datang dengan sebuah bibit pohon.

“Ini mahoni, saya akan menanamnya di ujung lapangan. Kenang-kenangan dari saya kalau-kalau saya pergi dari pulau ini “ kata bu guru Risa membuatku tertegun.

“Saya tidak akan pergi besok, saya juga berharap bisa tinggal selamanya disini “ dia mengembalikan senyumanku. Dengan sigap aku mengambil alih bibit mahoni itu dan membantu ibu guru Risa menanamnya.  

***

Tahun – tahun berlalu dan ibu guru Risa sudah berhasil memberangkatkan satu per satu anak-anak dari kampung ini untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi lagi di kota. Para orang tua yang tadinya pesimis akan anak-anak mereka yang mungkin berakhir menjadi sama seperti mereka perlahan sirna. Penduduk mengelu-elukan ibu guru Risa. Aku juga berhasil menjadi mahasiswa salah satu perguruan tinggi di kota. Berkat ibu guru Risa aku bisa mendapatkan beasiswa dari pemerintah daerah sedangkan untuk menambah uang saku aku bekerja serabutan.

“Jangan sampai kuliahmu terbengkalai karena pekerjaan “ begitu pesan ibu guru Risa kepadaku. Aku tetap memelihara janjiku kepada ibu guru Risa, aku menimba ilmu untuk menjadi guru. Bahkan sambil kuliah aku sudah mendapat pekerjaan di tempat les bahasa Inggris. Aku memberitahu ibu guru Risa dan dia amat senang dengan apa yang kulakukan.

Aku begitu sibuk dengan kuliah dan pekerjaanku, walaupun sesekali aku kembali ke Pulau dan bertemu dengan ibu guru Risa namun aku tidak terlalu tahu perkembangan kampung halamanku secara detail. Yang ku tahu ibu guru Risa masih melakukan hal yang sama seperti yang dia lakukan sejak pertama kali menginjakkan kaki di pulau itu.

***

Lama tak kembali ke kampung halaman karena aku sedang sibuk mengerjakan tugas akhir, aku mendengar kabar yang kurang menyenangkan dari kampung halamanku. Ibu guru Risa sudah meninggalkan pulau.

“ mengapa ? “ aku menyelidik

“ anak-anak ada yang tidak lulus ujian nasional “

“ Apa hubungannya dengan ibu guru Risa ?”

“ Katanya, ini katanya ya, ibu guru Risa tidak mau membantu “

“ membantu apa? “

“ Aku tidak tahu, kepala sekolah saja mau dimutasi, penduduk di Pulau ini tidak lagi menyukai ibu guru Risa. Ibu guru Risa tidak mau membantu anak-anak agar mereka lulus “

Ya, aku mengetahui cerita lengapnya. Sejak diberlakukan sistem ujian nasional ibu guru Risa keukeh tidak akan membantu siswa pada hari ujian. Penduduk mengetahuinya dan mereka tidak suka. Ibu guru Risa tidak diinginkan lagi ditempat ini. Ibu guru Risa pergi, tidak ada yang tahu dia kemana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun