Sebagai Orang yang lahir dan besar di tanah Jawa, tepatnya Jawa Tengah, saya tidak asing lagi dengan mitos pulung gantung, yang dalam bahasa Jawa pulung bermakna takdir. Pulung gantung berarti takdir orang mati dengan cara gantung diri. Mitos itu menjalar dari mulut ke mulut, dari generasi satu ke generasi berikutnya.
Dulu waktu masih kecil, sebelum merantau ke kota, saya sering mendengar obrolan orang-orang tua, jika melihat penampakan bola api yang terbang di langit, berarti cepat atau lambat akan ada yang kena musibah atau ada kematian.
Saya sebagai bocah kecil sempat mikir, apa hanya gara-gara melihat "Pulung" seseorang langsung memutuskan mati, atau itu hanya sebauh pertanda akan adanya marabahaya dan kesedihan saja? Karena saya masih kecil saya tak mencari tahu lebih jauh dan seiring dewasa dan kesibukkan rutinitas cerita mitos tentang pulung gantung pelan-pelan hilang dalam ingatan.
Namun, ingatan itu samar-samar datang kembali ketika saya mengerjakan tugas tentang fenomena Kasus bunuh diri di Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta. Rata-rata terjadi 30 kasus bunuh diri. Angka itu ternyata cukup tinggi dibanding angka bunuh diri wilayah lain Indonesia. Sebagian besar korban mati memakai metode gantung diri dan fenomena sosial ini diselimuti mitos Pulung gantung.
Saya juga melihat hubungan bunuh diri dan pulung gantung ini dari film Ziarah. Di mana salah satu scene ada yang ditemukan gantung diri dan para tokoh yang saling bercakap jika penyebab gantung diri ini karena melihat pulung gantung.
Jadi Apa sebanarnya Pulung Gantung itu? Pernyataan waktu masih bocah itu kembali perputar di otak ini....
Pulung gantung menjadi isyarat genting: akan ada orang yang bunuh diri di desa tempat jatuhnya clorot tersebut. Banyak masyarakat Gunungkidul menyakini bola bercahaya yang jatuh melintasi rumah penduduk desa membuat penghuninya kehilangan pijakan, tak tahu arah, dan kebingungan.
Konon menurut cerita, warga yang kebetulan melihat pulung gantung sontak akan membunyikan kentongan keras-keras untuk mengusir makhluk gaib itu pergi sehingga tak ada warga yang terkena efek buruknya.
Lantas jika ada korban, biasanya masyarakat akan membakar atau meratakan dengan tanah tempat korban bunuh diri. Selain itu mereka juga melakukan bersih desa dengan menggelar pagelaran wayang dan doa bersama supaya tidak ada korban selanjutnya.
Kendati begitu, masih banyak juga pelaku yang nekat mengakhiri hidupnya dengan gantung diri setelah rumah mereka dijatuhi pulung gantung.
Ada juga cerita lain, jika ketiban pulung sebenarnya memiliki arti; mendapat kebahagian. Jadi momen itu disalah artikan dengan menggantung diri dianggap sebagai jalan pintas untuk mendapat kebahagiaan. Sebab kematian berarti terbebas dari segala macam kesulitan seperti orang yang sedang sakit berkepanjangan, terhimpit persoalan ekonomi, atau malu karena telah melakukan perbuatan tercela.
Padahal di zaman telah banyak berubah jauh lebih moderni ini harusnya mitos tersebut harusnya bisa dikaburkan atau hilangkan dalam peradaban. Sebab secara penjelasan ilmiah, daerah Gunungkidul terletak di atas pegunungan kapur dan pijaran yang sering disebut Pulung Gantung itu adalah pijaran yang berasal dari perpaduan zat fosfor dan zat kapur.
Jadi saya lebih setuju jika utama tingginya kasus bunuh diri setelah melihat Pulung Gantung lebih disebabkan karena kesalahpahaman dan rendahnya pemahaman. Dan saya percaya seiring berjalannya waktu serta berubahan zaman, mitos itu akan luntur dan menghilang.
Berpikir positif dan Optimis, Hidup akan indah.
*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H