Tiba tiba saja lelaki berbadan tegap tinggi berkulit bersih itu menghampiri perempuan yang berdiri sendiri di pojok sambil membaca buku. Tanpa pikir panjang lelaki itu menyeretnya ke pojok jauh dari kerumpulan orang orang. Ia langsung melakukan sesuatu yang ia inginkan sejak pertama bertemu dengannya.
Ia mencium bibir perempuan itu, ciuman panjang sampai tak memberi kesempatan bagi perempuan itu untuk bernafas. Sebuah ciuman yang terus menerus sampai menancap ke jantung hati, membuyarkan gumpalan es yang terlalu lama dibiarkan membeku.
Perlahan tapi pasti perempuan itu menyerahan, hatinya yang dibiarkan sedingin es kini meleleh dan membentuk dunia, memberinya kesempatan hidup untuk kedua kali.
***
jangan pernah pergi jauh, meski hanya untuk sehari
jangan pernah pergi jauh, meski hanya untuk sehari
karena, karena aku tak tahu bagaimana mengucapkannya:
sehari adalah waktu yang begitu lama
dan aku akan menunggumu di stasiun yang melompong ini
ketika kereta-kereta tak lagi singgah disini, tertidur
………………………………………………..
ah, barangkali siluetmu tak pernah larut di pantai
barangkali kelopak matamu tidak pernah berdenyar
di bentang jarak yang hampa
jangan pernah tinggalkan aku sedetikpun sayang
karena jika terjadi, kau akan terlanjur begitu jauh
aku akan mengembara, melantur di seluruh penjuru bumi
bertanya-tanya apakah kau akan kembali?
apakah kau akan meninggalkanku disini meregang mati?
Andara tersenyum membaca kartu dari Lanang yang di selipkan di seikat seruni. Sering ia berpikir Lanang adalah hal terbaik dalam hidupnya.
“Puisi Pablo Nerunda. KUCANDUI MULUTMU, SUARAMU, RAMBUTMU.”
Dia selalu tahu kata… kata… kata… sesuatu yang membuat Andara diam merenung, tenggelam mengarungi setiap kata. Sering kali kata … kata… kata… membuatnya lupa dengan air mata. Lanang paham hal itu, dia harus senantiasa menjelmaan kata. Kata yang setiap kali Andara harus punggut untuk menjadi hidup.