Mohon tunggu...
Trie Yas
Trie Yas Mohon Tunggu... Jurnalis - Sehari-hari bekerja sebagai Graphic design, editing foto, editing video (motion graphic). Namun tetap menulis buat menyeimbangkan hidup.

Sehari-hari bekerja sebagai Graphic design, editing foto, editing video (motion graphic). Namun tetap menulis buat menyeimbangkan hidup.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

3 Cermin dalam Bingkai Pernikahan

14 Maret 2017   00:10 Diperbarui: 20 Maret 2017   10:00 599
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Trie yas

Tiba tiba saja lelaki berbadan tegap tinggi berkulit bersih itu menghampiri perempuan yang berdiri sendiri di pojok sambil membaca buku. Tanpa pikir panjang lelaki itu menyeretnya ke pojok jauh dari kerumpulan orang orang. Ia langsung melakukan sesuatu yang ia inginkan sejak pertama bertemu dengannya.

Ia mencium bibir perempuan itu, ciuman panjang sampai tak memberi kesempatan bagi perempuan itu untuk bernafas. Sebuah ciuman yang terus menerus sampai menancap ke jantung hati, membuyarkan  gumpalan es yang terlalu lama dibiarkan membeku.

Perlahan tapi pasti perempuan itu menyerahan, hatinya yang dibiarkan sedingin es kini meleleh dan membentuk dunia, memberinya kesempatan hidup untuk kedua kali.

***

jangan pernah pergi jauh, meski hanya untuk sehari
 jangan pernah pergi jauh, meski hanya untuk sehari
 karena, karena aku tak tahu bagaimana mengucapkannya:
 sehari adalah waktu yang begitu lama
 dan aku akan menunggumu di stasiun yang melompong ini
 ketika kereta-kereta tak lagi singgah disini, tertidur

………………………………………………..

ah, barangkali siluetmu tak pernah larut di pantai
 barangkali kelopak matamu tidak pernah berdenyar
 di bentang jarak yang hampa
 jangan pernah tinggalkan aku sedetikpun sayang
 karena jika terjadi, kau akan terlanjur begitu jauh

aku akan mengembara, melantur di seluruh penjuru bumi
 bertanya-tanya apakah kau akan kembali?
 apakah kau akan meninggalkanku disini meregang mati?

Andara tersenyum membaca kartu dari Lanang yang di selipkan di seikat seruni. Sering ia berpikir Lanang adalah hal terbaik dalam hidupnya.

Puisi Pablo Nerunda. KUCANDUI MULUTMU, SUARAMU, RAMBUTMU.”

Dia selalu tahu kata… kata… kata… sesuatu yang membuat Andara diam merenung, tenggelam mengarungi setiap kata. Sering kali kata … kata… kata… membuatnya lupa dengan air mata. Lanang paham hal itu, dia harus senantiasa menjelmaan kata. Kata yang setiap kali Andara harus punggut untuk menjadi hidup.

*

Hatiku masih saja tak menentu ketika kaki memasuki menit-menit sakral dalam hidupku. PERNIKAHANKU. Angan-angan, khayalan itu tetap tak ada putusnya menyelip masuk. Semakin aku tutup semakin liar menembus.

Antara perempuan dan laki-laki yang berciuman menghapus duka. Antara Andara dan Lanang dalam buaian puisi-puisi Pablo Nerunda. Mereka sesesungguhnya menyembunyikan luka.

Begitu juga ketika aku berjalan pelan dan duduk disampingmu, kau menatapku lembut. Namun aku menemukan luka. Tiba tiba aku merasa iba.akan bahagia yang pura-pura kita suguhan pada penghulu dan tamu undangan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun