“Saya memilih keluar dari kantor dan ikut gabung jadi pengemudi ojek online. Kata teman saya yang gabung duluan bisa dapat 10 juta per bulan.,” ujar Mamat pada pertengahan Agustus tahun 2015 lalu.
Mamat dan ribuan orang memadati pelataran parkir barat kompleks Stadion Utama Gelora Bung Karno. Ketika itu bulan Agustus PT Grab Taxi dan Go jek, salah satu angkutan berbasis online sedang melakukan perekrutan massal Grab Bike Kingdom. Mamat bukan satu-satunya yang meninggalkan pekerjaan demi menjadi mitra sebagai driver Grab Bike. Banyak orang dari berbagai profesi dari mulai office boy kantoran, mahasiswa, hingga karyawan bank pun ikut mendaftar.
Awal angkutan berbasis online masuk ke Indonesia, menawarkan standar keamanan, cepat, dijemput dari tempat pemesanan sampai ke tempat tujuan dengan biaya murah meriah. Waktu itu, Grab Bike menawarkan promo lima ribu ke seluruh Jabotabek.
Awalnya, banyak ojek pangkalan keberatan hingga memicu pertengkaran, ada beberapa tempat yang tidak boleh dilalui ojek online. “Perusahaan trsnsportasi online itu sengaja memanfaatkan kami untuk memperkaya dirinya sendiri. Sistem promo yang mereka tawarkan itu sengaja buat bunuh kami para ojek pangkalan,” ujar Rojak yang pertengahan tahun lalu bersama tiga temannya masih tetap bertahan di pangkalan di dekat halte busway Al Alzhar.
Transportasi berbasis online berkembang pesat di Indonesia. Hampir di setiap sudut jalan kita akan menemukan. Keberadaan mereka juga menjadi angin segar buat masyarakat di tengah permasalahan transportasi di Jakarta yang tak kunjung terselesaikan.
Namun masalah satu persatu muncul, trotoar dijadikan tempat berhenti/pakir seraya menunggu customer. Karena banyaknya pengemudi harus bersaing untuk mendapatkan penumpang, sistem aplikasi yang mengutamkan ‘siapa dekat dan cepat dia dapat’. Membuat para pengemudi berkerumpul di tempat bersamaan.
Di sekitar kawasan mal, apartemen atau kampus menjadi targen para pengemudi menunggu pesanan. Sehingga kawasan yang biasanya sudah macet menjadi tambah semakin macet dan semrawut.
Siang kemarin (5/1) pesan Grab tidak seperti biasanya yang tidak perlu menunggu 10 sampai 30 menit. Lamanya ini disebabkan banyaknya pengemudi Grab yang demo. Mereka yang tidak ikut demo mengantar penumpang tanpa seragam atau helm hjau identitas mereka. “Saya tidak ikut teman-teman demo, jadi saya ngga pakai seragam. Karena kalau ketahuan tak enak,” ujar Agus ketika ditanya kenapa tidak seperti standar biasanya.
Lebih lanjut Agus bercerita teman-teman Grab berdemo karena merasa sebagai mitra tidak didengar. Dengan adanya penurunan tarif per kilometer di bawah dari tetangga/pesaing sebelah membuat penghasilan mereka menurut, terlebih uang ganti promo sudah jauh menurun dibandingkan dulu waktu awal-awal gabung. “Dulu dari Blok M ke GBK tarif sepuluh ribu, kami dapat lima puluh ribu. Sekarang sudah ngga segitu”.
Perubahan bonus juga menjadi faktor menurunnya penghasilan para pengemudi sekaligus memberatkan. JIka ingin mendapat bonus harus bisa memenuhi sejumlah perjalanan pada pagi dan sore hari, serta pada jam sibuk di tengah padatnya persaingan antar pengemudi.
Sekarang tidak hanya yang dulunya berprofesi sebagai ojek saja yang ikut berpindah menjadi pengemudi transportasi online. Sebagian orang sampai rela meninggalkan pekerjaan di ruang ber ac.Bahkan ada yang tak segan mengambil kridit motor dan mobil atau sebagian rela menyewa mobil dengan sistem bagi untung.
Dengan adanya banyak protes dan keluhan para pengemudi. Kata-kata Bang Rojak terniang kembali. ‘Perusahaan transportasi online itu sengaja memanfaatkan ‘istilahnya memperbudak’ kami untuk memperkaya dirinya sendiri. Sistem promo yang mereka tawarkan itu sengaja buat bunuh kami yang bertahun-tahun jadi ojek pangkalan.’
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H