Mohon tunggu...
Trie Yas
Trie Yas Mohon Tunggu... Jurnalis - Sehari-hari bekerja sebagai Graphic design, editing foto, editing video (motion graphic). Namun tetap menulis buat menyeimbangkan hidup.

Sehari-hari bekerja sebagai Graphic design, editing foto, editing video (motion graphic). Namun tetap menulis buat menyeimbangkan hidup.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Mengenang Lahirnya Seorang Demonstran; Soe Hok-Gie

17 Desember 2016   14:30 Diperbarui: 19 Desember 2016   17:44 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemarin saya menulis Sosok Soe Hok-Gie tentang pandangan politiknya, bagaimana dia bersikap tentang paham komunis, peristiwa G30S, dan korban yang dituduh sebagai PKI melalui informasi yang didapat dari film Riri Riza dan Mira Lesmana  berjudul Gie yang rilis tahun 2005. Sekarang pertepatan dengan tanggal lahirnya saya ingin mengenang sosok Soe Hok-Gie dari buku catatan seorang demonstran. Catatan harian, gejolak-gejolak yang ia rasakan semasa hidupnya.

17 Desember 1942, ketika perang tengah berkecamuk di Pasifik, tiga tahun sebelum kemerdekaan Republik Indonesia, lahir seorang anak laki-laki yang nantinya setelah ia pergi pada usia yang sangat muda, yakni 27 tahun kurang sehari. Ia akan tetap dikenang dan hidup lewat catatan harian seorang demonstran: Soe Hok-Gie.

Lewat catatan hariannya'Catatan Seorang Demonstran' yang dibukukan oleh LP3ES pada Mei 1983, empat belas tahun setelah ia wafat di Gunung Mahameru karena menghirup gas beracun, kita mengenal sosok Gie. Di mana sejak usia muda, ia sudah sangat kritis, saat dia merasa benar, ia tak segan berdebat dengan guru tentang karya sastra. Seperti yang dia tulis pada usia yang masih relatif sangat muda 14 tahun, ia berpendapat bahwa guru bukan dewa dan selalu benar. Dan murid bukan kerbau. Di usianya saat itu, dia sudah bersikap kritis menilai gurunya yang dia anggap kurang menguasai materi pengajaran.

Begitu juga pada usia yang masih sangat muda, ia terpanggil untuk berjuang demi bangsa yang rakyatnya menjadi begitu miskin, seperti yang ia tulis tentang pengalaman ketika melihat seseorang mengais-gais kulit mangga karena kelaparan. Usia Gie waktu itu masih duduk di bangku SMA.

“Aku besertamu, orang-orang malang.”

Pengalaman tersebut membuat semangatnya bergejolak. Suatu kesadaran baru bangkit. Dan tulisan itu sebagai bentuk proklamasi pertama dalam menyikapi keadaan bangsanya. Sampai akhirnya 6 tahun kemudian dia benar-benar turun ke jalan . Gie menjadi salah satu dari mereka yang menjadi arsitek gerakan-gerakan mahasiswa pada awal tahun 1966.

Masa peralihan setelah penggulingan Soekarno dan masa dimulai sebagai zaman baru, ternyata membut Gie merasa terasing, pada akhirnya dia harus mengakui bahwa daripada revolusi ini juga memperlihatkan kemampuan mereka (generasi muda) sebagai generasi yang pada akhirnya menjadi pencoleng-pencoleng politik. Agen Opsus.

Ia mengkritik keras teman-temannya yang dulu sama-sama berjuang di jalan menggulingkan kekuasaan. Sekarang memilih duduk di anggota dewan dan lupa akan yang diperjuangkan dulu. Ia mengirim bedak dan pupur untuk wakil-wakil mahasiswa yang duduk di parlemen, dengan ucapan supaya mereka bisa berdandan dan akan tambah cantik di muka penguasa.

Pada akhirnya, Gie lebih memilih diasingkan daripada menyerah terhadap kemunafikan.

Akhir-akhir ini saya selalu berpikir, apa gunanya semua yang saya lakukan ini. Saya menulis, melakukan kritik kepada banyak orang yang saya anggap tidak benar dan yang sejenisnya lagi. Makin lama, makin banyak musuh saya dan makin sedikit orang yang mengerti saya. Dan kritik-kritik saya tidak mengubah keadaan. Jadi apa sebenarnya yang saya lakukan? Saya ingin menolong rakyat kecil yang tertindas. Tapi kalau keadaan tidak mengubah keadaan. Apa guna kritik-kritik saya? Apa ini bukan semacam onani yang konyol? Kadang-kadang saya merasa sungguh-sungguh kesepian.

Seperti ketika Gie mencoba menjalin hubungan dengan seorang gadis Orang tua gadis itu sengat menhghargai keberanian dalam tulisan-tulisannya namun ketika anaknya diminta, mereka menolak. Gie menyadari benar resiko yang dia kerjakan, tenyata orang hanya membutuhkan kebaraniannya tanpa mau terlibat dengan dirinya.

Sebelum pergi meninggalkan Jakarta, Gie memperlihatkan surat dari seorang teman dari Amerika, kepada kakanya Arief Budiman, yang dikenal sebagai budayawan. Gie merasakan benar dengan apa yang dikatakan temannya itu, jika ingin tetap menjadi intelektual yang bebas. Ia harus siap berjuang sendirian. Karena kekuasaan, setelah mengggulingkan kekuasaan lama yang korup. Akan ada kekuasaan baru yang ternyata tetap memperlihatkan keserahkan, sewenang-wenangan..

Bersedialah meneriama nasib ini kalau kau mau bertahan sebagai intelektual yang merdeka, sendirian, kesepian,menderita…”

Soe Hok-Gie sepanjang hidupnya memilih bertahan sebagai intelektual yang merdeka, sendirian, kesepian,menderita… Mungkin karena itu, Gie senang mengutip seorang filsuf Yunani;

Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan

Yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan

Yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu.

Bahagialah mereka yang mati muda.

Soe Hok-Gie memang mati muda, tetapi apakah dia menyadari semangat dan seorang intelektual yang bebastetap hidup dan akan tetap hidup untuk menginspirasi generasi-generasi muda berikutnya, melanjutkan perjuanganya. “Aku besertamu, orang-orang malang”.

Mungkin Soe Hok-Gie lebih bahagia mati muda. Tak lagi melihat sejarah dunia seperti yang ia tulis;

Sejarah dunia adalah sejarah pemerasan. Apakah tanpa pemerasan, sejarah tidak ada? Apakah tanpa kesedihan, tanpa pengkhianatan sejarah tidak akan lahir? Seolah-olah bila kita membagi sejarah maka yang kita jumpai hanya pengkhianatan. Seolah-olah dalam setiap ruang dan waktu kita hidup atasya, ya betapa tragisnya “Hidup adalah penderitaan” kata Buddha. Sadar akan hidup dan kesia-siaan nilai-nilai tidaklah enak. Dan sejarawan adalah orang yang harus mengetahui dan mengalami hidup yang lebih berat.

*

Sumber : (Buku Catatan Seorang Demonstran)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun