Mohon tunggu...
Trie Yas
Trie Yas Mohon Tunggu... Jurnalis - Sehari-hari bekerja sebagai Graphic design, editing foto, editing video (motion graphic). Namun tetap menulis buat menyeimbangkan hidup.

Sehari-hari bekerja sebagai Graphic design, editing foto, editing video (motion graphic). Namun tetap menulis buat menyeimbangkan hidup.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Mengenang Lahirnya Seorang Demonstran; Soe Hok-Gie

17 Desember 2016   14:30 Diperbarui: 19 Desember 2016   17:44 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebelum pergi meninggalkan Jakarta, Gie memperlihatkan surat dari seorang teman dari Amerika, kepada kakanya Arief Budiman, yang dikenal sebagai budayawan. Gie merasakan benar dengan apa yang dikatakan temannya itu, jika ingin tetap menjadi intelektual yang bebas. Ia harus siap berjuang sendirian. Karena kekuasaan, setelah mengggulingkan kekuasaan lama yang korup. Akan ada kekuasaan baru yang ternyata tetap memperlihatkan keserahkan, sewenang-wenangan..

Bersedialah meneriama nasib ini kalau kau mau bertahan sebagai intelektual yang merdeka, sendirian, kesepian,menderita…”

Soe Hok-Gie sepanjang hidupnya memilih bertahan sebagai intelektual yang merdeka, sendirian, kesepian,menderita… Mungkin karena itu, Gie senang mengutip seorang filsuf Yunani;

Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan

Yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan

Yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu.

Bahagialah mereka yang mati muda.

Soe Hok-Gie memang mati muda, tetapi apakah dia menyadari semangat dan seorang intelektual yang bebastetap hidup dan akan tetap hidup untuk menginspirasi generasi-generasi muda berikutnya, melanjutkan perjuanganya. “Aku besertamu, orang-orang malang”.

Mungkin Soe Hok-Gie lebih bahagia mati muda. Tak lagi melihat sejarah dunia seperti yang ia tulis;

Sejarah dunia adalah sejarah pemerasan. Apakah tanpa pemerasan, sejarah tidak ada? Apakah tanpa kesedihan, tanpa pengkhianatan sejarah tidak akan lahir? Seolah-olah bila kita membagi sejarah maka yang kita jumpai hanya pengkhianatan. Seolah-olah dalam setiap ruang dan waktu kita hidup atasya, ya betapa tragisnya “Hidup adalah penderitaan” kata Buddha. Sadar akan hidup dan kesia-siaan nilai-nilai tidaklah enak. Dan sejarawan adalah orang yang harus mengetahui dan mengalami hidup yang lebih berat.

*

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun