Sebelum pergi meninggalkan Jakarta, Gie memperlihatkan surat dari seorang teman dari Amerika, kepada kakanya Arief Budiman, yang dikenal sebagai budayawan. Gie merasakan benar dengan apa yang dikatakan temannya itu, jika ingin tetap menjadi intelektual yang bebas. Ia harus siap berjuang sendirian. Karena kekuasaan, setelah mengggulingkan kekuasaan lama yang korup. Akan ada kekuasaan baru yang ternyata tetap memperlihatkan keserahkan, sewenang-wenangan..
Bersedialah meneriama nasib ini kalau kau mau bertahan sebagai intelektual yang merdeka, sendirian, kesepian,menderita…”
Soe Hok-Gie sepanjang hidupnya memilih bertahan sebagai intelektual yang merdeka, sendirian, kesepian,menderita… Mungkin karena itu, Gie senang mengutip seorang filsuf Yunani;
Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan
Yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan
Yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu.
Bahagialah mereka yang mati muda.
Soe Hok-Gie memang mati muda, tetapi apakah dia menyadari semangat dan seorang intelektual yang bebastetap hidup dan akan tetap hidup untuk menginspirasi generasi-generasi muda berikutnya, melanjutkan perjuanganya. “Aku besertamu, orang-orang malang”.
Mungkin Soe Hok-Gie lebih bahagia mati muda. Tak lagi melihat sejarah dunia seperti yang ia tulis;
Sejarah dunia adalah sejarah pemerasan. Apakah tanpa pemerasan, sejarah tidak ada? Apakah tanpa kesedihan, tanpa pengkhianatan sejarah tidak akan lahir? Seolah-olah bila kita membagi sejarah maka yang kita jumpai hanya pengkhianatan. Seolah-olah dalam setiap ruang dan waktu kita hidup atasya, ya betapa tragisnya “Hidup adalah penderitaan” kata Buddha. Sadar akan hidup dan kesia-siaan nilai-nilai tidaklah enak. Dan sejarawan adalah orang yang harus mengetahui dan mengalami hidup yang lebih berat.
*