Kau selalu senang menatap senja berlama-lama. Dan pernah suatu hari kau berbisik jika kau tahu rahasia senja. Tentang sesuatu yang berada di balik senja.Â
Hari ini aku pulang dan seperti biasa datang ke sudut ladang yang sering kita datangi untuk menatap senja. Kali ini aku sendiri. Sebenarnya sudah bertahun-tahun aku selalu pulang dan menatap senja sendiri. Tetap tak aku dengar senja berbisik tentang rahasianya. Mungkin karena aku tidak benar-benar mendengar karena saat petang mulai mengikis senja aku terburu-buru berlari ke rumah.
Sedang engkau dulu tetap duduk dan tak terpengaruh dengan gelap yang membuat penglihatan kita perlahan merabun. Kau tetap duduk sampai akhirnya Biyung* memanggilmu untuk pulang mandi dan belajar. Dulu kita sering melihat senja sebelum mandi tapi sekarang aku menatap senja dengan wajah segar dan wangi. Seiring bertambahnya usia kadang kita menyadari kekonyolan masa kecil.
Lima tahun lalu kau datang ke kota tempat aku bekerja. Setelah hampir sebelas tahun tak bertemu, jujur aku lupa, tapi setelah bercerita tentang senja aku langsung yakin itu kau. Namun, saat itu senja hanya sengaja kau sebut buat membunyikan alarm ingataku. Setelah itu kau enggan bercerita tentang senja dan kukira karena sore itu kita jalan di taman dan senja malu-malu mengitip di celah dedaunan atau di sudut gedung-gedung yang berjajar tinggi.
Lantas kau mengajakku masuk ke mobilmu yang membawa kita ke gerai kopi merek impor. Aroma kopi yang bercampur susu menggerayangi hidung di sela obrolan kita. Cerita perjalanan hidupmu selama 6 tahun kaurangkum singkat hampir tiga jam.Â
Semua ceritamu itu sebelumnya tak pernah aku duga. Dulu aku sempat berpikir kau pergi ke luar kota atau tepatnya di kota ini dan hidup seperti anak pada umumnya. Ya, aku terdampar di kota ini karena imajinasi yang kuciptakan tentang kau.Â
Kau menceritakan ayah dan ibumu hanya sekilas "Kita harus bisa melupakan kenangan. Terlalu berat untuk dibawa-bawa terus. Kita harus mampu membebaskan langkah kita tanpa harus menoleh ke belakang."
"Seperti senja," ucapku santai tetapi ternyata membuat wajahmu seketika pucat. "Bukankah kita harus terus berjalan untuk tahu ada apa sebenarnya di balik senja," lanjutku lirih mengingatkan kata-katamu dulu ketika usia kita masih 13 tahun.
Namun, kau hanya diam dan matamu tiba-tiba sendu. Lantas kau mengalihkan pembicaraan tentang secangkir kopi, kunang-kunang, dan kota-kota tua yang sering kau datangi. Aku memilih diam menyimak.
"Kau ingat tentang senja?" Tiba-tiba tanya itu meluncur dari mulutku. "Tiap pulang aku masih sering datang melihat senja. Tapi aku masih belum mengerti rahasia senja. ada apa di balik senja."Â
Kau hanya diam dan aku merasa tak enak, seolah menggali kenangan yang sengaja kau kubur "Kau belum pernah pulang?" ucapku lebih ke pernyataan daripada pertanyaan.