Mohon tunggu...
Trie Yas
Trie Yas Mohon Tunggu... Jurnalis - Sehari-hari bekerja sebagai Graphic design, editing foto, editing video (motion graphic). Namun tetap menulis buat menyeimbangkan hidup.

Sehari-hari bekerja sebagai Graphic design, editing foto, editing video (motion graphic). Namun tetap menulis buat menyeimbangkan hidup.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Wajah Jakarta dari dua Fotografer (Erik Prasetya dan Fanny Octavianus)

2 Juli 2015   21:00 Diperbarui: 3 Juli 2015   00:34 3394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Wajah Jakarta dari fotografer Fanny Octavianus."][/caption]

Jakarta barusaja merayakan hari kelahirannya. Lantas bagaimana wajah kota yang sudah memasuki angka 488 ini yang tiap tahunnya selalu dibanjiri pendatang karena dianggap kota harapan. Berjuta orang datang dari pelosok daerah di Indonesia dan menjadikan kota Jakarta sebagai pengaduan nasib.

Rabu, 10 Juni 2015 fotografi karya Erik Prasetya di IFI (Institut Français d'Indonésie) menangkap rekam realitas keseharian penghuni Kota Jakarta dengan sebuah model pendekatan yang disebut sebagai Estetika Banal. Yakni cara melihat Jakarta dengan estetika yang lebih luas, dengan dinamika aktivitas gerak manusia dan elemen lain dalam keseharian yang banal. Pameran tersebut ditempatkan di depan Jalan Sudirman-Thamrin ini menawarkan sebuah karya yang tidak hanya menunjukkan realitas kepada warga Jakarta sendiri, namun galeri foto ini bertujuan untuk dinikmati oleh pengendara yang (sedang) terjebak kemacetan, sehingga menawarkan fenomena yang unik, bagaimana orang dalam kemacetan menikmati karya fotografinya.[caption caption="karya Erik Prasetya di IFI (Institut Français d'Indonésie menangkap rekam realitas keseharian penghuni Kota Jakarta dengan sebuah model pendekatan yang disebut sebagai Estetika Banal."]

[/caption]

Berbeda dengan Fanny Octavianus mengadakan pameran foto 21 Juni-31 Juli 2015 bertempat di Galeri Foto Antara memotret wajah Jakarta  sebagia  megapolis  yang notoriousty, panorama urba dengan beragam kisah dan karakter warganya. Suka atau tidak, Jakarta dewasa ini adalah megapolis yang semakin konservatif, dan karenanya hipokrit. Tak ada lagi aura gemerlap yang terpancar dari kepongahan belantara gedung pencakar langit yang menggapai-gapai seperti ingin menggaruk surga. Satu demi satu frame terekam dalam kartu memori digital pada otak kecil kameranya.

Dalam pameran bertajuk “JKT.” Peraih Penghargaan Adinegoro 2013 kategori Foto Berita ini menampilkan  foto dengan objek utama dua perempuan menutup muka, satu dengan kedua tangan, satu dengan kain. kita akan sejenak bertanya akan maksud foto tersebut, tetapi saat menengok judul foto yang tertera di tepi foto (Kota 2006)  kita akan ingat akan kawasan indrustri malam dan itu diperkuat dengan latar belakang foto, yakni bingka yang berisi jajaran berisi jajaran perempuan berbaju seragam dalam posisi duduk, jajaran “orang-orang terhormat”.

Pameran ini untuk memperingati ulang tahun ke-488 Jakarta, 22 Juni.  Fanny menatap Jakarta sebagai kota buta, cyclops raksasa buas bermata satu yang kehilangan penglihatan setelah mata satu-satunya tertikam pedang tajam Sinbad, pelaut fiktif dari Bagdad. Metropolitan seperti dibiarkan tersungkur tanpa daya, tersudut di koordinat garis lintang dan bujur satelit bumi kita.  55 Foto yang dipamerkan dengan cerita visual pembangunan, banjir, kawasan kumuh, dan sosialisasi masyarakat Jakarta tersaji dalam balutan warna hitam putih. Di metropolitan ini, berkantor secara resmi wakil-wakil rakyat yang tak pernah kunjung dewasa, juga para eksekutif yang belum mampu menegakkan benang basah bernama hukum. Belum lagi balada kemacetan dan variasi kriminal menjadi lumrah, hingga warga Jakarta akhirnya dengan pasrah terpaksa menerima kenyataan itu.

Foto berjudul Kemayoran (2008) memperlihatkan bangunan-bangunan tinggi apartemen, tak ubahnya sarang burung dara dengan latar depannya patung kuda, patung bola dunia, dan patung burung dengan sayap terentang, ketiganya menonjolkan cita rasa seni dengan detail apik, sangat berlawanan dengan kotak-kotak minimalis di belakangnya.

“Masyarakatnya lebih peduli pada segala hal yang printilan sifatnya. Suka atau tidak, Jakarta dewasa ini adalah megapolis yang semakin konservatif, dan karenanya hipokrit. Horor dan kebencian atas nama keyakinan juga semakin menjadi. Jakarta sudah tak lagi berjiwa."  Seperti ditulis kurator pameran Oscar Motuloh dalam pengantar. Itu sebabnya, Fanny menangkap Jakarta sebagai kosmopolis verbal yang buta dan tak berjiwa. Tak ada lagi aura gemerlap yang terpancar dari kepongahan belantara gedung pencakar langit yang menggapai-gapai seperti ingin menggaruk surga. Satu demi satu frame terekam dalam kartu memori digital pada otak kecil kameranya.

Sedang Jakarta lewat lensa yang dipotret Erik Prasetya menuntut estetikanya sendiri, yang tak bergantung  pada cahaya emas, kota tua, sejarah yang hadir, taman bersama; sebab semua itu hampir tak ada. Ukuran kecantikan yang berlaku pada banyak kota besar di dunia tak berlaku bagi Jakarta.  Erik yang merupakan salah satu di antara fotografer paling berpengaruh di Asia menurut survei 20 Most Influential Asian Photographers 2012 oleh Invisible Photographer Asia mengambil karakter Jakarta pada gerak manusianya. Manusianya bergerak, masing-masing dengan tujuan dan kepentingan sendiri, tetapi pegerakkan itu melahirkan pertemuan di ruang publik. Dalam perjumpaan itu mereka bisa saling menghindar atau menatap; menutup atau membuka diri. Hal itulah yang ingin ia  mencoba tangkap, Momen-momen bermakna dalam keseharian kota tersebut.; estetik pada yang banal.

Bagaimanapun, fotografi hanyalah Proses melukis/menulis dengan menggunakan media cahaya agar  opini visual tentang  jiwa kota yang tak hanya tertangkap mata, ada keindahkan yang tertangkap tak sebatas kasat mata. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun