[caption caption="Wajah Jakarta dari fotografer Fanny Octavianus."][/caption]
Jakarta barusaja merayakan hari kelahirannya. Lantas bagaimana wajah kota yang sudah memasuki angka 488 ini yang tiap tahunnya selalu dibanjiri pendatang karena dianggap kota harapan. Berjuta orang datang dari pelosok daerah di Indonesia dan menjadikan kota Jakarta sebagai pengaduan nasib.
Rabu, 10 Juni 2015 fotografi karya Erik Prasetya di IFI (Institut Français d'Indonésie) menangkap rekam realitas keseharian penghuni Kota Jakarta dengan sebuah model pendekatan yang disebut sebagai Estetika Banal. Yakni cara melihat Jakarta dengan estetika yang lebih luas, dengan dinamika aktivitas gerak manusia dan elemen lain dalam keseharian yang banal. Pameran tersebut ditempatkan di depan Jalan Sudirman-Thamrin ini menawarkan sebuah karya yang tidak hanya menunjukkan realitas kepada warga Jakarta sendiri, namun galeri foto ini bertujuan untuk dinikmati oleh pengendara yang (sedang) terjebak kemacetan, sehingga menawarkan fenomena yang unik, bagaimana orang dalam kemacetan menikmati karya fotografinya.[caption caption="karya Erik Prasetya di IFI (Institut Français d'Indonésie menangkap rekam realitas keseharian penghuni Kota Jakarta dengan sebuah model pendekatan yang disebut sebagai Estetika Banal."]
Berbeda dengan Fanny Octavianus mengadakan pameran foto 21 Juni-31 Juli 2015 bertempat di Galeri Foto Antara memotret wajah Jakarta sebagia megapolis yang notoriousty, panorama urba dengan beragam kisah dan karakter warganya. Suka atau tidak, Jakarta dewasa ini adalah megapolis yang semakin konservatif, dan karenanya hipokrit. Tak ada lagi aura gemerlap yang terpancar dari kepongahan belantara gedung pencakar langit yang menggapai-gapai seperti ingin menggaruk surga. Satu demi satu frame terekam dalam kartu memori digital pada otak kecil kameranya.
Dalam pameran bertajuk “JKT.” Peraih Penghargaan Adinegoro 2013 kategori Foto Berita ini menampilkan foto dengan objek utama dua perempuan menutup muka, satu dengan kedua tangan, satu dengan kain. kita akan sejenak bertanya akan maksud foto tersebut, tetapi saat menengok judul foto yang tertera di tepi foto (Kota 2006) kita akan ingat akan kawasan indrustri malam dan itu diperkuat dengan latar belakang foto, yakni bingka yang berisi jajaran berisi jajaran perempuan berbaju seragam dalam posisi duduk, jajaran “orang-orang terhormat”.
Foto berjudul Kemayoran (2008) memperlihatkan bangunan-bangunan tinggi apartemen, tak ubahnya sarang burung dara dengan latar depannya patung kuda, patung bola dunia, dan patung burung dengan sayap terentang, ketiganya menonjolkan cita rasa seni dengan detail apik, sangat berlawanan dengan kotak-kotak minimalis di belakangnya.
Sedang Jakarta lewat lensa yang dipotret Erik Prasetya menuntut estetikanya sendiri, yang tak bergantung pada cahaya emas, kota tua, sejarah yang hadir, taman bersama; sebab semua itu hampir tak ada. Ukuran kecantikan yang berlaku pada banyak kota besar di dunia tak berlaku bagi Jakarta. Erik yang merupakan salah satu di antara fotografer paling berpengaruh di Asia menurut survei 20 Most Influential Asian Photographers 2012 oleh Invisible Photographer Asia mengambil karakter Jakarta pada gerak manusianya. Manusianya bergerak, masing-masing dengan tujuan dan kepentingan sendiri, tetapi pegerakkan itu melahirkan pertemuan di ruang publik. Dalam perjumpaan itu mereka bisa saling menghindar atau menatap; menutup atau membuka diri. Hal itulah yang ingin ia mencoba tangkap, Momen-momen bermakna dalam keseharian kota tersebut.; estetik pada yang banal.