Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Bab IV - Ketenagakerjaan, telah mengubah Pasal 79 Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 mengenai waktu istirahat dan cuti yang wajib diberikan pengusaha kepada karyawannya sebagai berikut:
Pasal 79
(1) Pengusaha wajib memberi:
a. waktu istirahat; dan
b. cuti.
Ayat 3 dan 4 mengatakan;
(3) Cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang wajib diberikan  kepada pekerja/buruh, yaitu cuti tahunan, paling sedikit 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus.
(4) Pelaksanaan cuti tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Dari amanat Undang-Undang tersebut maka sangat jelas bahwa Negara mengamanatkan kepada pengusaha agar memberikan cuti 12 (dua belas) hari bagi pekerja/buruh yang sudah bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus.Â
Ini adalah hak istirahat karyawan yang sah, legal, diatur oleh Undang-Undang, atau sering kali disebut normatif.Â
Cuti ini tidak bisa dianggap sebagai mengurangi jam efektif perusahaan, sebab cuti ini dijamin oleh undang-undang, sama halnya dengan cuti karena pekerja berhalangan hadir/melakukan pekerjaannya dikarenakan suatu alasan penting.Â
Dalam pasal 93 ayat 4 UU no.13/2003 tentang Tenaga Kerja disebutkan bahwa pekerja berhak atas cuti tidak masuk kerja karena halangan dan tetap dibayar penuh. Alasan/keperluan penting tersebut mencakup :
- Â Â Pekerja menikah, dibayar untuk 3 (tiga) hari
- Â Â Menikahkan anaknya, dibayar untuk 2 (dua) hari
- Â Â Mengkhitankan anaknya, dibayar untuk 2 (dua) hari
- Â Â Membaptiskan anaknya, dibayar untuk 2 (dua) hari
- Â Â Istri melahirkan/mengalami keguguran kandungan, dibayar untuk 2 (dua) hari
- Â Â Suami/istri, orang tua/mertua, anak atau menantu meninggal dunia, dibayar untuk 2 (dua) hari
- Â Â Anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia, dibayar untuk 1 (satu) hari.
Dilematisnya adalah ketika pekerja/karyawan/buruh mengajukan hak cuti tahunan kadang-kadang ada sebagian pengusaha merasa bahwa itu adalah tindakan yang merugikan perusahaan, sebab ada jam  kerja yang hilang ketika si pekerja/karyawan/buruh tidak bekerja karena cuti tersebut.Â
Ada berbagai pertanyaan yang ditanyakan kepada pekerja yang mengajukan cuti ini, misal:
- Cuti untuk apa, ya?
- Urusan apa, ya?
- Kalau gak penting-penting amat ngapain ambil cuti.
- Kondisi sedang sibuk ngejar target produksi kok ambil cuti?
Ada berbagai macam pertanyaan mulai dari yang tidak mengenakkan perasaan karena mempertanyakan hak pribadi pekerja, sampai pertanyaan yang dibalut dengan ini-itu sehingga seolah-olah pertanyaan itu profesional padahal intinya adalah kepo dan memberikan pressure agar tidak dengan mudahnya mengambil cuti tahunan atau cuti pribadi yang dijamin secara normatif.
Inilah ironi yang terjadi. Di satu sisi hak cuti tahunan atau cuti pribadi dijamin oleh undang-undang, namun disisi lain masih ada oknum Pengusaha yang masih begitu kuat memegang hak cuti ini agar sebisa mungkin tidak banyak digunakan oleh para karyawannya.
Inilah yang membuat banyak karyawan menjadi begitu sungkan untuk mengambil haknya, hak cuti pribadinya. Sehingga tertanamlah kesan melegenda, "Susahnya mau ambil hak cuti pribadi".
Di mana letak permasalahannya: pengusaha tidak tahu tentang aturan ini, atau tahu tetapi pura-pura tidak tahu? Mari berpikir kritis, tanpa menghakimi.
Pengusaha Tidak Tahu Aturan Ini
Oke, anggaplah pengusaha tidak tahu tentang aturan ini. Adalah hal yang sangat menggelikan di jaman digital ini pengusaha tidak bisa mengakses atau diakses informasi yang terbuka sedemikian rupa.Â
Apalagi pada bulan Oktober 2020, demo luar biasa besar terjadi di seantero negeri menentang pengesahan UU Cipta Kerja ini. Seandainya alasannya adalah pengusaha tidak tahu detil maka masih bisa dimengerti karena banyaknya urusan yang harus dipikirkan dan ditangani, tetapi bukankah perusahaan punya kepengurusan?Â
Minimal ada bagian HRD yang pasti memicingkan mata dan telinga memantau mana-mana bagian dari UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang dihapus, diubah, atau ditambah melalui UU Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan yang akhirnya disahkan menjadi UU No 11 tahun 2020. Maka asumsi pengusaha tidak tahu aturan ini, dengan sendirinya terbantahkan.
Pengusaha Tahu Tapi Pura-Pura Tidak Tahu
Sepertinya asumsi ini sedikit mengarah pada kecurigaan atau penghakiman, tetapi melihat argumen sebelumnya rasanya hal ini masuk diakal.Â
Baiklah jujur-jujuran saja, sebenarnya apa  sih yang dikhawatirkan oleh pengusaha atau pengurus perusahaan ketika karyawannya mengajukan hak cuti tahunan atau cuti pribadi? Maka asumsi jawabannya bisa bermacam-macam:
- Kehilangan jam kerja, berpotensi tidak tercapainya target.
- Rugi karena tetap membayar gaji walau karyawan cuti.
- Gak senang aja ada yang cuti sementara pengusaha tetap kerja (subyektif).
- Dan lain-lain..
Nah dari asumsi-asumsi tersebut maka yang paling mendekati alasan rasional adalah alasan nomor 1 (satu) yaitu jika karyawan cuti, apalagi yang mengambil cuti ada banyak orang maka ada potensi kehilangan jam kerja yang mengakibatkan target tidak tercapai.Â
Jika ini adalah permasalahannya, atau katakan lebih tepat ketakutannya maka harus dijawab dengan sistem kerja yang baik, sehingga hak karyawan tidak dihalang-halangi karena rasa takut tersebut, dan hak pengusaha untuk mendapatkan hasil kerja yang memenuhi target juga bisa terpenuhi. Takut itu ada dalam pikiran bukan pada kenyataan, kata orang bijak. Maka sebaiknya ada upaya win-win solution.
Apa win-win solutionnya?
- Cuti tahunan atau cuti pribadi adalah hak karyawan yang dijamin oleh undang-undang, maka harus diberikan pengusaha kepada karyawan. Jika ada pekerjaan mendesak, atau target yang harus dicapai maka dengan itikad baik karyawan mengupayakan sebelum cuti diajukan untuk diambil, pekerjaan atau target yang dibebankan sudah selesai terlebih dahulu. Fair sekali.
- Apabila cuti tahunan atau cuti pribadi terpaksa diambil mendadak karena sesuatu hal yang tidak bisa dihindari, maka harus ada komunikasi dua arah antara pengusaha dan pekerja untuk mendapatkan solusi yang menguntungkan kedua belah pihak. Jika ada target kerja yang terpengaruh pencapaiannya karena cuti mendadak ini maka harus ada kesepakatan bersama bagaimana menyiasatinya. Syukur-syukur terkait kasus dadakan seperti ini sudah diatur dalam Peraturan Perusahaan (PP) atau lebih baik lagi bila sudah diatur dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB).
Wasana kata
Menyangkut hak cuti pribadi atau cuti tahunan karyawan adalah hal sensitif yang bisa berakibat fatal bagi kedua belah pihak.Â
Jika pengusaha tidak mau tahu maka bisa menjatuhkan vonis kepada karyawan karena dianggap tidal loyal secara sewenang-wenang, sebaliknya karyawan bisa membawa ini ke ranah hukum mulai dari pengaduan ke pihak Dinas Tenaga Kerja sampai kepada Pengadilan Hubungan Industrial.Â
Jika ini terjadi maka kedua belah pihak harus siap mencurahkan energi, waktu dan biaya untuk urusan yang tidak produktif ini, sebab menang jadi arang dan kalah jadi abu, tidak bernilai.Â
Oleh karena itu sebaiknya hindarilah potensi terjadinya gesekan dan konflik, dengan menempatkan diri masing-masing secara elegan, tahu diri dan posisi, saling memahami dan menghormati, sebab bagaimanapun juga  pengusaha membutuhkan karyawan, dan karyawan membutuhkan pengusaha. Ngono yo ngono, ning ojo ngono.
***
Referensi:
Salinan UU No 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan
UU No 13 Tahun 2003 Tentang KetenagakerjaanÂ
Menaker: Cuti Haid dan Melahirkan Masih Berlaku di UU Ketenagakerjaan
Menaker: Ketentuan UU 13 Tahun 2003 Sepanjang Tidak Diatur UU Cipta Kerja maka Tetap Berlaku
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H