Anak muda jaman sekarang sudah bosan dengan lagu ber-genre jazz, K-Pop, dan rock . Mereka lebih suka lagu-lagu yang engga mainstream. (Diah, gen millenial)
Salam Ambyar...
Sebuah video klip dari seorang teman, cukup membuat saya terheran-heran. Seorang  musisi muda  memainkan gitar klasik di salah satu cafe di  alun-alun utara Kraton Jogja. Di sekitarnya banyak anak muda yang nampaknya adalah para mahasiswa asyik menikmati lagu yang dilantunkan musisi ini.
Yang membuat saya heran, bahwa lagu ini adalah lagu Jawa yang sudah pernah populer 20 tahun lalu dengan genre campursari atau dangdut, dinyanyikan oleh artis dan seniman campur sari daerah bernama Didi Kempot. Hebatnya musisi muda ini meng-cover lagu old  dengan sangat bagus, slow dan merasuk ke hati. Â
Ketika berselancar di kanal YouTube, saya menemukan hal yang sama, dikampus terkemuka UGM ratusan Mahasiswa menikmati bernyanyi bersama dengan kompak, bahkan ada lho yang histeris. Dan banyak saya temui pula milenial yang meng-cover lagu Mas Didi dengan bagus, dan mendapatkan like dan subscriber ribuan.
Seniman campursari Didi Kempot memang terkenal dengan lagu-lagunya yang melo, bagi sebagian  besar masyarakat etnis Jawa nama ini sangat familiar, termasuk dikalangan rakyat Republik Suriname dari etnis Jawa yang sudah ratusan tahun mendiami koloni Belanda di Amerika Latin itu. Lagu-lagu tempo dulu yang sekarang nge-hits lagi misalnya Kalung Emas, Cidro, Pamer Bojo, Korban Janji dan Banyu Langit.
Pertanyaan saya adalah, mengapa para millenial menyukai lagu-lagu melo Mas Didi yang sebenarnya adalah lagu-lagu jaman old?
Memuaskan rasa penasaran, saya coba bertanya ke beberapa Millenial Generasi Jaman Now yang rata-rata mahasiswa di Kota Pelajar ini, mereka lahir di kisaran tahun 2000an.
Diah staf purchasing di sebuah perusahaan swasta nasional yang juga masih mahasiswi UT semester 5 jurusan manajemen mengatakan bahwa anak muda jaman sekarang sudah bosan dengan lagu ber-genre jazz, K-Pop, rock yang sangat biasa mereka dengar dan lihat. Sekarang mereka lebih suka lagu-lagu yang engga mainstream.
Awalnya Diah ngga begitu ngerti dengan syair-syairnya, namun karena genre musiknya asyik dan teman-temannya pada suka, akhirnya iapun menjadi suka juga.
Berbeda dengan Diah, ada Ambar professional muda alumni UGM yang juga sangat menyukai lagu-lagu Mas Didi, sambil tersenyum simpul ia mengatakan bahwa Didi Kempot adalah "Godfather of Broken Heart", lirik-lirik lagu yang ditawarkan sangat menyentuh hati, kalau boleh dikatakan jujur mewakili perasaan para fans.
Memang betul selain lekat dengan sebutan "Godfather of Broken Heart", Mas Didi ini juga memiliki fans club  anak-anak milenial yang sangat loyal, mereka eksis dengan nama "The Sad Boys" dan "The Sad Girls" dan memiliki salam nasional mereka sendiri yaitu "Salam Ambyaar..". Walau ada kata "sad" dan "ambyar" (ambyar artinya pecah berantakan berkeping-keping) sejatinya mereka adalah milenial yang dinamis, kreatif, dan bahagia dengan dunianya.
Sebenarnya sudah lama Ambar suka dengan lagu-lagu itu tapi dulu kan belum nge-trend jadi masih malu-malu, nah sekarang banyak teman-teman kawula muda yang suka, jadi ngga malu-malu lagi untuk ikut eksis.
Galih mahasiswa semester 3 Universitas AMIKOM mengakui bahwa genre dan makna lagu-lagu tersebut sesuai dengan perasaan, apalagi sekarang YouTube banyak menjadi terminal tujuan para mahasiswa khususnya yang suka berkreasi dengan membuat berbagai konten yang menarik dan anti mainstream. Menurut Galih sekarang ini dengan viewers 1000an orang dan beberapa subscriber aja sudah bisa menghasilkan uang.
Zetta, mahasiswa baru UMY adalah generasi paling now yang saya interview, senada dengan Galih ia mengatakan bahwa yang membuat mereka suka dengan lagu jaman old tersebut karena syairnya memiliki makna yang sering dirasakan anak jaman sekarang, "galau", "patah hati", dan lain-lain. Karena banyaknya anak gen milenial yang mengurusi cinta-cintaan jadinya banyak yang suka lagu itu.
Akhirnya  semakin sering dicover banyak penyanyi yang sama-sama gen milenial, klop deh. Apalagi jaman sekarang gen milenial dimanjakan dengan gadget  dan internet, butuh apapun internet dan gadget menjadi andalan, sehingga mereka yang suka dengan video, vlog, akhirnya bisa dengan mudah menikmati lagu-lagu tersebut.
Dari pengalaman Zetta yang baru beberapa minggu menjadi MABA, ternyata lagu-lagu Didi Kempot juga disukai oleh teman-temannya sesama MABA yang berasal dari etnis/suku yang  berbeda, dari Lampung, Kalimantan, bahkan diantara mereka  ada yang sampai hafal banget lirik lagunya.
Empat mahasiswa mewakili generasi millenial memiliki jawaban yang hampi-hampir mirip satu dengan yang lain. Â Sekarang mari kita runut sejak kapan lagu daerah ini kembali naik daun?
Sejauh yang saya amati, kehadiran penyanyi dangdut milenial yang mampu memadukan dangdut dengan K-Pop telah berhasil menarik perhatian sebagian besar generasi sekarang.
Via Vallen, penyanyi lagu dangdut dengan syair berbahasa Jawa dicampur Bahasa Indonesia merupakan sosok baru dalam  3 tahun belakangan, yang  menjadi sangat terkenal sekarang ini. Menurut saya, ia  merupakan salah satu artis yang mampu membuat terobosan baru di kalangan milenial.
Apalagi ketika ia sukses menyanyikan theme song Asian Games 2018 dan berhasil mengajak Presiden Jokowi dan banyak pemimpin negara lain untuk turut menyanyikan lagu ini dengan gembira.
Praktis sejak 2018 sampai saat ini lagu-lagu bergenre dangdut Jawa Indonesia, pop Jawa, popdut, congdut ataupun Java hip-hop semakin banyak dan diminati anak-anak muda.
Demikian pula tampilnya Didi Kempot Reborn dengan julukannya sebagai "Godfather of Broken Heart" tentu sudah diperhitungkan matang oleh tim manajemennya, didukung dengan media promosi melalui medsos, cover lagu oleh generasi yang lebih muda, dan  pembentukan fans club yang unik menjadi bagian strategi yang jitu untuk membuat terobosan di kalangan generasi millenial saat ini.
Dan faktanya adalah lagu-lagu daerah kembali berkibar, ngehits, mendapatkan tempat dihati kawula muda jaman now. Salut untuk para artis dan musisi daerah yang mampu menangkap peluang ini, mengemas ulang lagu-lagu mereka dengan  menyuguhkan genre musik yang bisa diterima oleh generasi jaman now.
Sederet fakta diatas sudah selayaknya menjadi indikator-indikator menarik bagi pemerintah dalam hal ini kementerian terkait untuk menjadi kajian mendalam sehingga bisa dirumuskan menjadi program kerja yang spesifik untuk membawa musik dan lagu daerah semakin moncer di Indonesia Raya ini. Apabila lagu daerah sudah bisa menasional, maka adalah suatu keniscayaan untuk melangkah lebih luas mulai dari Asia Oceania dan semakin meluas ke penjuru dunia.Â
Selain itu dengan banyaknya keturunan Bangsa Indonesia di berbagai penjuru dunia, akan menjadi simpul-simpul yang bisa dirangkai untuk membawa lagu daerah bisa diterima di seluruh dunia.
Keterlibatan semua stakeholder baik para seniman, masyarakat, lembaga pembiayaan, media, pelaku industri musik, dan tentu saja pemerintah sangat penting untuk gagasan besar ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H