Mohon tunggu...
Teacher Adjat
Teacher Adjat Mohon Tunggu... Guru - Menyukai hal-hal yang baru

Iam a teacher, designer and researcher

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menakar Posisi Tawar Sekolah dengan "Positioning School Analysis"

6 Juni 2022   12:20 Diperbarui: 6 Juni 2022   12:53 650
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisa School Positioning/dokpri

Menjadi sekolah yang unggul dan favorit merupakan impian bagi setiap pemilik serta pemimpin lembaga pendidikan. Sekolah yang unggul akan secara otomatis menarik bagi para orangtua dalam memilih tempat dimana putra-putri mereka akan menimba ilmu. Karna pada umumnya para orangtua menginginkan pendidikan terbaik bagi generasi penerus mereka. 

Terbaik dalam hal fasilitas, tenaga pengajar, kurikulum serta program-program penunjang pembelajaran lainnya. Hal tersebut juga menjadi concern pemerintah selama ini, yakni menyediakan pendidikan yang dapat bersaing secara global.

Semenjak diberlakukannya UU No. 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah semangat untuk mandiri merangsek keberbagai aspek kehidupan pemerintahan daerah. Melalui UU tersebut pemerintah berharap adanya proses desentralisasi yang optimal sehingga setiap daerah memiliki hak dan kewenangan yang sama dalam upaya memajukan wilayahnya. 

Tidak hanya dalam bidang ekonomi, sosial dan politik. Semangat desentralisasi juga terjadi dalam hal pendidikan. Urusan pendidikan yang tadinya menjadi kewenangan pusat kini termasuk aspek yang harus menjadi concern dari pemerintah daerah.

Hal di atas dikuatkan dengan terbitnya UU no. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas. Pada pasal 51 ayat 1 dinyatakan bahwa "Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah". 

Sejak saat itulah istilah manajemen berbasis sekolah (school based management) mulai berkembang. "School Based Management" dipahami sebagai salah satu alternatif pilihan formal untuk mengelola penyelenggaraan pendidikan yang terdesentralisasi dengan menempatkan sekolah sebagai unit utama peningkatan kualitas pendidikan
(Abu,I & Duhou, 2002: 16).

Manajemen berbasis sekolah sejak saat itu menjadi pijakan bagi tiap-tiap sekolah dalam memperbaiki kualitasnya. Terlebih lagi bagi sekolah-sekolah swasta, hal tersebut menjadi angin segar bagi mereka dalam berinovasi serta menciptakan kekhasannya masing-masing. Sehingga dikotomi antara sekolah negri dan swasta lambat laun mulai pudar. 

Saat ini justru sekolah-sekolah swasta-khusususnya di tingkat sekolah dasar-memiliki kualitas yang lebih baik dibanding sekolah negri. Lalu bak jamur di musim penghujan, muncullah sekolah-sekolah dengan embel-embel tertentu di belakangnya, entah itu sekolah bilingual, sekolah alam dan sains, sekolah karakter, ramah anak serta islam terpadu. Kesemuanya berusaha menarik perhatian orangtua dengan kekhasan yang dimiliki.

Menilik pada data BPS (Badan Pusat Statistik) jumlah sekolah negri dan swasta di Indonesia tahun ajaran 2020/2021 sebanyak 217.283 sekolah, sebagian besarnya adalah sekolah dasar yaitu sebanyak 148.173. Dari jumlah tersebut 131.058 sekolah merupakan sekolah negeri dan sebanyak 19.577 Sekolah Dasar terkonsentrasi di Jawa Barat. 

Jika melihat data tersebut, nampak bahwa jumlah sekolah di Indonesia masih jauh dari kata ideal mengingat total penduduk Indonesia yang cukup besar. Hal menarik lainnya yaitu jumlah sekolah negri yang jauh lebih banyak dibandingkan sekolah swasta membuat "persaingan' antar keduanya terkesan tidak seimbang. 

Dalam hal merekrut peserta didik serta kestabilan pembiayaan, sekolah negri tentu lebih unggul karna terjamin oleh pemerintah. Namun di samping itu, dalam hal kualitas, sekolah swasta (khususnya SD) jelas masih dapat bersaing dengan sekolah negri.

Tak dapat diingkari bahwasanya "persaingan" kini bergeser antar sekolah-sekolah swasta. Otonomi yang diberikan pemerintah berupa keleluasaan mengelola sekolah dengan sistem school based management membuat sekolah-sekolah swasta berlomba-lomba memunculkan inovasi serta kekhasannya dalam rangka memikat para calon orangtua siswa. Sebagian besar sekolah swasta pun kini telah dikelola dengan cukup profesional layaknya lembaga profit. 

Tak ayal pendekatan-pendekatan perusahaan (company approach) banyak digunakan dalam menjalankan roda organisasi sekolah. Salah satu bentuk pendekatan yang digunakan yaitu school position analysis dalam rangka melihat sejauh mana posisi tawar sebuah sekolah di hati masyarakat yang menjadi target pasarnya.

Apa itu SPA (School Positioning Analysis)?

Setiap sekolah pastinya ingin hadir sebagai jawaban dari keresahan-keresalah para orangtua dalam memilih lembaga pendidikan yang cocok untuk putra-putri mereka. Oleh karenanya setiap kebijakan sekolah hendaknya didasarkan pada kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang ada saat itu. Analisis School Positioning akan membantu setiap pemimpin lembaga pendidikan dalam menentukan kebijakannya.

Menurut kokemuller (2016) positioning analysis merupakan sebuah proses dari sebuah analisis bagaimana sebuah brand diterima oleh pasar. 

Sementara itu Kertajaya (1997) mendefinisikan positioning analysis sebagai jawaban dari pertanyaan akan sebuah produk, jasa, lembaga, perusahaan, orang bahkan negara yang dapat menghasilkan keunggulan di benak orang yang ingin dicapai karena produk harus dipersepsikan berbeda dengan para pesaingnya.

Sementara itu saya beranggapan dalam membuat sebuah analisa "positioning school" seseorang hendaknya mengetahui hal-hal sebagai berikut, antara lain; segment, frame of refference, point of differentiation dan competitive edge. Setelah mengetahui ke empat elemen tersebut, maka seorang analis akan lebih mudah mengetahui school positioning yang telah dicapai. Oleh karenanya penulis akan menjelaskan secara rinci keempat komponen tersebut.

Analisa School Positioning/dokpri
Analisa School Positioning/dokpri
*Segment*
Setiap pengguna jasa Pendidikan (wali murid) memiliki karakteristik yang berbeda-beda dalam menentukan sekolah mana yang akan menjadi pilihan bagi buah hati mereka. Membagi para wali murid ke dalam beberapa segment akan memudahkan sekolah untuk menentukan target "pasar" mereka. Diantara segmentasi yang dapat digunakan yaitu;

-Geographic Segmentation
Segmentasi geografis meliputi bangsa, wilayah, negara, kabupaten, kota, atau wilayah yang menjadi tempat para calon orangtua siswa berasal. Pada umumnya mereka mencari sekolah yang dekat lokasinya dengan tempat tinggal mereka, walaupun ada juga kadang yang berasal dari kota yang berbeda namun hal tersebut bersifat kasuistik. Sebagai contoh, bagi sekolah-sekolah yang berlokasi di Depok pangsa pasar mereka jelas yaitu warga Depok, meskipun setiap tahunnya ada saja yang mendaftar bertempat tinggal di Bogor atau Jakarta.

- Demographic Segmentation
Segmentasi Demografis membagi para calon orangtua siswa kedalam variabel pekerjaan, usia dan tingkat pendidikan. Misalnya di sekolah tempat saya mengajar, hampir 100% orangtua siswa berasal dari kalangan berpendidikan minimal sarjana (S1) dan pekerjaan yang dominan adalah karyawan swasta. Adapula PNS, wirausahawan dan guru.

- Psychographic Segmentation
Segmentasi psikografis membagi target orangtua siswa kedalam segmentasi berupa kelas sosial, gaya hidup, atau karakteristik personal. Misalnya rata-rata orangtua peserta didik Sekolah Islam Terpadu merupakan kelas menengah ke atas (middle up).

- Behavioral Segmentation
Segmen ini membagi pembeli berdasarkan motif atau ketertarikan mereka terhadap sebuah lembaga pendidikan. Misalnya motivasi orangtua terhadap hafalan Qur'an anandanya, motivasi sains dan atau akademik lainnya.

*Frame of refference*
Selain mengenal segmen "pasar' yang akan menjadi target sekolah, maka sekolah juga harus mampu mengidentifikasi termasuk dalam kategori apa sekolah tersebut. Frame of refference
 ibarat jenis kelamin bagi makhluk hidup. Ia yang akan menentukan jati diri sebagai sekolah apa lembaga itu dikenal. Contoh Sekolah Al Azhar dikenal sebagai Sekolah Islam Swasta yang cukup tua di Indonesia. Atau Sekolah Pribadi dikenal dengan Sekolah Billingual di Kota Depok.

*Point of Differentiation*
Setelah kita mengetahui dan menentukan kategori sekolah yang kita analisa, maka langkah selanjutnya dalam menentukan "school positioning" yaitu mengetahui point of differentiation yang dimiliki sekolah tersebut. Point of differentiation yaitu semua hal positif yang menjadi pembeda sebuah sekolah dengan sekolah-sekolah lainnya. Intinya point of differentiation ini akan menjawab pertanyaan "mengapa para orangtua harus memilih sekolah Anda dibanding sekolah yang lain? "

*Competitive Edge*
Setelah menentukan "pembeda" sekolah Anda dengan sekolah yang lain, maka Anda juga harus mengidentifikasi point-point pembeda yang menjadi ciri khas paling menonjol yang akan memperkuat posisi sekolah Anda. 

Misalnya sekolah Anda unggul pada program hafalannya, sementara itu sekolah-sekolah dengan keunggulan yang sama juga banyak. Maka untuk menentukan competitive edge-nya harus ada yang berbeda dari program hafalan tersebut misalnya program halafan di sekolah Anda menggunakan metode khusus yang tidak dimiliki oleh sekolah-sekolah yang lain.

Demikianlah 4 tahapan yang dilakukan dalam melakukan analisa "school positioning" sehingga para pemangku kebijakan dapat menjadikan hasil analisis tersebut sebagai bahan pertimbangan sebelum mengambil keputusan. 

Bukan hanya bagi para pemimpin sekolah, analisa ini juga dapat membantu para calon orangtua siswa dalam menentukan lembaga pendidikan yang cocok untuk putra-putri mereka sesuai dengan minat serta bakat mereka. Tentunya hal tersebut juga disesuaikan dengan taraf ekonomi yang dimiliki. Karna dalam pengamatan penulis, sekolah yang positioningnya bagus biayanya juga terbilang tinggi.

Oleh karenanya ketika beberapa waktu lalu sempat ramai di media sosial tentang perbandingan sekolah islam dengan sekolah katolik penulis menganggap perbandingan tersebut tidak apple to apple. Sekolah Katolik hampir sebagian besar dikelola oleh lembaga keagamaan yang sudah jelas aliran pendanaannya. Sementara sekolah-sekolah islam (khususnya islam terpadu) dominannya didirikan oleh keluarga, atau bahkan adapula milik personal sehingga secara pembiayaan jelas tidak sama. 

Di samping itu juga ada variabel-variabel lainnya yg membuat kenapa sekolah islam terpadu "terkesan" lebih mahal dibanding sekolah lainnya, salah satunya adalah dalam hal manajemen pengelolaannya.

Wallahu'alam

Adjat Alghafiqi (Guru SD)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun