Â
_Jejak Kaki di Jiran Negri_
Pagi itu tepat jam 05.30 saya bersama rombongan sudah tiba di Bandara Soetta, setelah check in bagasi kami pun menyempatkan diri untuk sholat subuh terlebih dahulu sambil menunggu pesawat ready. Selepas sholat subuh saya pun kembali ruang tunggu penumpang, selang beberapa menit kemudian suara pengumuman terdengar dari speaker bandara bahwa pesawat yang akan saya tumpangi telah siap untuk take off.Â
Saya berserta rombongan pun bergegas menuju ke pesawat, fajar mulai terlihat dari balik kaca koridor bandara. Sesampainya di pesawat saya langsung mencari tempat duduk sesuai nomor yang tertera di tiket. Beruntung saya mendapatkan kursi di pinggir jendela sehingga bisa melihat pemandangan pagi itu.
Singapore, mata saya langsung bergerilya kesemua arah melihat dan mengamati bagusnya bandara tersebut. Ornamen-ornamen bernuasa mandarin juga terpanjang di sudut-sudut bandara, kebetulan saat saya berkunjung masih dalam suasana tahun baru cina. Bersama rombongan saya segera masuk loket imigrasi untuk cek pasport dan dokumen lainnya. Dan setelah sekitar 30 menit mengantri akhirnya kami pun resmi menginjakkan kaki kami di negri jiran Singapura.
Jam 9 lewat sekian menit saya pun landing di Changi Airport*Why Singapore?*
Kala itu saya bersama beberapa guru mendapatkan kesempatan untuk studi banding ke Singapura, kenapa Singapura? Karna ia merupakan negara dengan kualitas pendidikan terbaik di Asia setelah Jepang dan Korea Selatan. Bahkan di tahun saya berkunjung, kualitas pendidikan di Singapura sempat menyalip negara Finlandia sebagai juara bertahan.Â
Sebelum saya ke sana, hal yang saya ketahui tentang Singapura hanyalah kebersihan dan keteraturan masyarakatnya saja. Lalu saya berfikir, masyarakat yang teratur dan menjaga kebersihan tersebut tentunya adalah buah dari pendidikan dan pengajaran diselenggarakan di negara tersebut. Dan Alhamdulillah akhirnya saya pun mendapatkan kesempatan untuk hadir dan belajar secara langsung.
Menurut literatur yang saya baca, ada beberapa aliran filsafat yang mempengaruhi sistem pendidikan di Singapura antara lain yaitu; Filsafat analitik yang menekankan kemampuan analisis siswa berdasarkan kemampuan logika serta linguistik. Selanjutnya filsafat progresivisme yang berfokus pada ketrampilan berfikir dengan cara memberi rangsangan yang tepat pada suatu permasalahan.Â
Lalu filsafat eksistensialisme yaitu agar para peserta didik memahami makna dari eksistensi mereka. Dan terakhir adalah filsafat rekonstruksionalis yang menyamakan antara pendidikan dengan reformasi sosial sehingga pemerintah yakin bahwa pendidikan adalah jalan satu-satunya untuk membentuk budaya sosial di masyarakat.
Pemerintah Singapura meyakini bahwa pendidikan mempunyai tujuan untuk membantu generasi muda menjadi manusia seutuhnya di semua segi kehidupan.Â
Itu berarti bahwa segi spiritual, moralitas, sosial dan rasional semuanya perlu mendapatkan porsi yang tepat dalam proses pendidikan generasi muda. Sehingga pendidikan bukan hanya berfokus pada peningkatan kognitif saja tetapi juga emosi, rohani, hidup bermasyarakat dan lain-lain.
Pendidikan di Singapura sangat memperhatikan perkembangan anak (baca:psikologi anak). Sehingga setiap jenjangnya disesuaikan dengan tahapan psikologi perkembangan siswa.Â
Hal itu menyebabkan jenjang pendidikan di Singapura cukup banyak, meskipun secara waktu tetap sama dengan negara lain pada umumnya. Sebagai contoh di Singapura misalnya peserta didik di berikan metode pelajaran menulis sambil mendengarkan musik pada saat mereka memasuki SD kelas 1 dan itu disesuaikan dengan perkembangan usia mereka.
Demikianlah sekelumit penjelasan tentang bagaimana pendidikan di Singapura, hal yang membuat saya sangat excited ketika ditawari berkunjung kesana.Â
Kembali ke cerita saya, setelah saya dan rombongan berhasil lolos dari pemeriksaan imigrasi bandara kami pun bergegas untuk melanjutkan ke destinasi pertama kami. Destinasi yang nantinya akan membuat saya berdecak kagum akan sistem pendidikan di Singapura khususnya pendidikan agama Islam yang ada disana.
*Kehidupan bawah tanah di Singapura*
Keluar dari area bandara rombongan kamipun dipecah menjadi 2, rombongan siswa berserta guru pemandunya langsung menuju ke hotel, sementara tim saya akan langsung melakukan studi banding ke destinasi yang menjadi tujuan utama kami.Â
Setelah memastikan rombongan siswa berangkat dengan bus carteran kami, saya langsung mengecek ke GMaps yang ada di smartphone dan mencari arah menuju kawasan Lor Geylang. Ternyata jarak antara bandara ke lokasi tujuan kami hanya sekitar 15 kilometer ke arah timur.
Berkunjung ke Singapura sangatlah sayang jika tidak mencoba alat transportasi publiknya, selain pendidikan, sistem transportasi publik di Singapura termasuk yang terbaik di Asia.Â
Hal itu dikarenakan luas wilayah negara Singapura yang kecil sehingga untuk menghindari problem kemacetan pemerintah Singapura menyediakan transportasi umum yang aman, nyaman, cepat dan tepat. Masyarakat pun dibuat tidak memiliki pilihan lain selain menggunakan transportasi publik tersebut jika ingin ke suatu tempat.Â
Alasannya adalah prosedur untuk memiliki mobil pribadi disana tidak semudah di Indonesia. Jikapun berhasil memiliki, pajak kendaraan yang ditetapkan oleh pemerintah cukup tinggi.
Kelebihan lain dari sistem transportasi di Singapura yaitu baik bandara, stasiun maupun terminal bus semuanya saling terintegrasi sehingga ketika kita ingin berganti moda transportasi tidak perlu kesulitan mencari tempat pemberhentian atau penjemputannya. Hanya dengan berjalan kaki kami pun sudah tiba di pintu masuk stasiun bawah tanah yang ada di samping bandara.Â
Gmaps merekomendasikan saya untuk mengikuti rute tercepat yaitu mengunakan jalur MRT East West Line, lalu transit di Stasiun Tanah Merah untuk nantinya keluar di stasiun Paya Lebar kemudian berjalan kaki ke lokasi yang dituju.Â
Perlu pembaca ketahui bahwasanya stasiun-stasiun Mass Rapid Transit (MRT) yang ada di Singapura sebagian besar berada di bawah tanah, kedalamannya bisa sampai 40 meter. Saya yang saat itu baru pertama kali berkunjung kesana pun dibuat kaget sekaligus kagum.Â
Ketika saya mulai menuruni eskalator menuju MRT East West Line saya dapati ramai sekali orang yang ada di bawah tanah tersebut, hampir semuanya nampak sibuk, berjalan ke berbagai penjuru menuju MRT yang akan mereka tumpangi. Saya mengira masyarakat Singapura yang ada di bawah tanah justru lebih banyak daripada yang ada di atas permukaan.
Saya dan tim lalu menghampiri loket penjualan Pass Card untuk memudahkan perjalanan kami selama berada disana. Mata uang yang berlaku disana  adalah dolar Singapura, lumayan juga harga kartu tersebut jika dirupiahkan, akan tetapi menurut saya setara dengan fungsinya yang bisa digunakan untuk pembayaran berbagai jenis transportasi publik disana, seperti MRT dan Bus Trans.Â
Saya sudah mengantongi pass card dan bergegas menuju peron tempat MRT kami berada. Tidak seperti stasiun kereta di Indonesia yang biasanya hanya ada 2 sampai 4 peron dan itu pun bersebelahan, stasiun MRT di Singapura ternyata bisa membuat kita lieur jika kita tidak memperhatikan betul papan petunjuk yang ada.
Satu stasiun MRT umumnya melayani lebih dari 3 rute perjalanan, semuanya dijalankan secara otomatis sehingga potensi keterlambatannya sangat kecil.Â
Selain itu durasi dari satu MRT ke MRT yang lain tidaklah lama, jikapun kita ketinggalan, dalam beberapa menit saja akan ada MRT dengan rute yang sama di belakangnya. Saya mengamati betul, orang berlalu lalang dengan begitu sigapnya, seolah-olah mereka dikerjar sesuatu.Â
Orang kantoran dengan setelan jas dan dasinya, anak sekolah dengan seragam dan tas ranselnya dan masyarakat umum dengan kesibukannya masing-masing. Tak ayal kehidupan disana rasanya berjalan dengan cepat, teratur dan produktif. Makanya tak heran jika Singapura menjadi salah satu raksasa ekonomi di Asia, khususnya Asia Tenggara.
Setelah berlelah-lelah membaca satu demi satu papan petunjuk yang ada akhirnya kami menemukan peron MRT yang sesuai dengan rute perjalanan kami. Saya rehat sejenak di kursi tunggu pinggir peron, meluruskan kaki merenggangkan otot-otot yang tegang akibat berjalan cepat setengah berlari barusan.Â
Dalam keadaan masih sedikit ngos-ngosan saya melihat  tiga orang berambut kuning keemasan melintas di depan saya, ketiganya memakai atasan kemeja dengan bawahan semacam sarung khas agama Hindu. Uniknya, ketiga orang Hindu tersebut tidak memakai alas kaki. Luar biasanya orang-orang sekitar memandang mereka biasa saja, seolah-olah hal tersebut adalah lumrah dijumpai. Saat itu saya sadari bahwasanya masyarakat Singapura saling menghargai etnis satu sama lain.
Singapura negara jiran dengan luas 704 km2 yang saya kunjungi itu memang didiami setidaknya oleh 5 etnis. Yang terbanyak adalah etnis Tionghoa (75%), lalu disusul Melayu (15%), India (9%) dan sisanya merupakan etnis Eurasia serta peranakan. Etnis Tionghoa yang datang pertama kali ke Singapura berasal dari Tiongkok bagian selatan seperti provinsi Guangdong dan Fujian.Â
Awalnya mereka datang ke Singapura sebagai pekerja kasar seperti buruh atau kuli, sebagian yang lain berwirausaha hingga akhirnya meraup banyak untung  dan kemudian berhasil menempati  di Singapura. Adapun etnis melayu di Singapura kebanyakan berasal dari Malaysia dan juga Indonesia (khususnya pulau Jawa dan Sumatra). Selain dua etnis tersebut ada juga etnis India yang sebagian besar berasal dari Tamil.
MRT yang kami tunggu-tunggu akhirnya tiba. Budaya antri yang sudah terbentuk disana mengharuskan saya untuk mempersilahkan penumpang yang turun terlebih dahulu.Â
Sampai di dalam kereta kami dapati seluruh penumpang tengah sibuk dengan urusannya masing-masing. Meski di jam sibuk kondisi MRT disana tidak padat atau berdesakan. Karena MRT ada setiap sekian menit, calon penumpang pun tidak khawatir terlambat ke lokasi yang akan dituju.Â
Hal itu berefek pada kondisi di dalam MRT yang cukup lowong. Ada 2 jenis gerbong, gerbong yang ada kursinya dan yang tidak ada. Kebetulan saat itu saya masuk ke gerbong yang tidak ada kursinya. Gerbong yang tidak berkursi ternyata membuat penumpang mudah berinteraksi satu sama lain, baik pelajar, mahasiswa dan para pekerja serta masyarakat umum.
Sekian cerita saya pada part pertama ini...pada bagian selanjutnya saya akan ceritakan secara detail pengalaman saya mengunjungi salah satu sekolah islam tertua di Singapura yang ternyata memiliki akar sejarah hingga ke Jawa Barat.
Bersambung..
Kurniadi Sudrajat
(Divisi Pendidikan dan Pelatihan RPI/Guru SD)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI