Kelebihan lain dari sistem transportasi di Singapura yaitu baik bandara, stasiun maupun terminal bus semuanya saling terintegrasi sehingga ketika kita ingin berganti moda transportasi tidak perlu kesulitan mencari tempat pemberhentian atau penjemputannya. Hanya dengan berjalan kaki kami pun sudah tiba di pintu masuk stasiun bawah tanah yang ada di samping bandara.Â
Gmaps merekomendasikan saya untuk mengikuti rute tercepat yaitu mengunakan jalur MRT East West Line, lalu transit di Stasiun Tanah Merah untuk nantinya keluar di stasiun Paya Lebar kemudian berjalan kaki ke lokasi yang dituju.Â
Perlu pembaca ketahui bahwasanya stasiun-stasiun Mass Rapid Transit (MRT) yang ada di Singapura sebagian besar berada di bawah tanah, kedalamannya bisa sampai 40 meter. Saya yang saat itu baru pertama kali berkunjung kesana pun dibuat kaget sekaligus kagum.Â
Ketika saya mulai menuruni eskalator menuju MRT East West Line saya dapati ramai sekali orang yang ada di bawah tanah tersebut, hampir semuanya nampak sibuk, berjalan ke berbagai penjuru menuju MRT yang akan mereka tumpangi. Saya mengira masyarakat Singapura yang ada di bawah tanah justru lebih banyak daripada yang ada di atas permukaan.
Saya dan tim lalu menghampiri loket penjualan Pass Card untuk memudahkan perjalanan kami selama berada disana. Mata uang yang berlaku disana  adalah dolar Singapura, lumayan juga harga kartu tersebut jika dirupiahkan, akan tetapi menurut saya setara dengan fungsinya yang bisa digunakan untuk pembayaran berbagai jenis transportasi publik disana, seperti MRT dan Bus Trans.Â
Saya sudah mengantongi pass card dan bergegas menuju peron tempat MRT kami berada. Tidak seperti stasiun kereta di Indonesia yang biasanya hanya ada 2 sampai 4 peron dan itu pun bersebelahan, stasiun MRT di Singapura ternyata bisa membuat kita lieur jika kita tidak memperhatikan betul papan petunjuk yang ada.
Satu stasiun MRT umumnya melayani lebih dari 3 rute perjalanan, semuanya dijalankan secara otomatis sehingga potensi keterlambatannya sangat kecil.Â
Selain itu durasi dari satu MRT ke MRT yang lain tidaklah lama, jikapun kita ketinggalan, dalam beberapa menit saja akan ada MRT dengan rute yang sama di belakangnya. Saya mengamati betul, orang berlalu lalang dengan begitu sigapnya, seolah-olah mereka dikerjar sesuatu.Â
Orang kantoran dengan setelan jas dan dasinya, anak sekolah dengan seragam dan tas ranselnya dan masyarakat umum dengan kesibukannya masing-masing. Tak ayal kehidupan disana rasanya berjalan dengan cepat, teratur dan produktif. Makanya tak heran jika Singapura menjadi salah satu raksasa ekonomi di Asia, khususnya Asia Tenggara.
Setelah berlelah-lelah membaca satu demi satu papan petunjuk yang ada akhirnya kami menemukan peron MRT yang sesuai dengan rute perjalanan kami. Saya rehat sejenak di kursi tunggu pinggir peron, meluruskan kaki merenggangkan otot-otot yang tegang akibat berjalan cepat setengah berlari barusan.Â
Dalam keadaan masih sedikit ngos-ngosan saya melihat  tiga orang berambut kuning keemasan melintas di depan saya, ketiganya memakai atasan kemeja dengan bawahan semacam sarung khas agama Hindu. Uniknya, ketiga orang Hindu tersebut tidak memakai alas kaki. Luar biasanya orang-orang sekitar memandang mereka biasa saja, seolah-olah hal tersebut adalah lumrah dijumpai. Saat itu saya sadari bahwasanya masyarakat Singapura saling menghargai etnis satu sama lain.