Mohon tunggu...
Langit Muda
Langit Muda Mohon Tunggu... Freelancer - Daerah Istimewa Yogyakarta

Terimakasih Kompasiana, memberi kesempatan membaca dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Film

"The Lady in the Van", Nomadland dari London

1 Mei 2021   20:50 Diperbarui: 1 Mei 2021   20:54 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belum lama film Nomadland banyak dibicarakan karena memperoleh 6 nominasi Oscar dan berhasil merebut 3 piala Oscar. Karena itu masih relevan juga saya mengangkat sebuah film produksi tahun 2015, mengenai seorang wanita tua yang hidup sendirian di dalam mobil van.

Film ini menceritakan persahabatan yang unik antara Alan dan Mary Shepherd. Mary seorang perempuan tunawisma yang sering memarkirkan mobil vannya di daerah Camden. Sebagian penduduk kasihan padanya, sebagian lainnya merasa risih dengan keberadaannya dan berusaha dengan berbagai cara untuk mengusirnya.

Suatu kali untuk menghindari sangsi Mary memparkir mobil vannya di carport rumah Alan. Numpang parkir yang tadinya dimaksudkan cuma sementara itu "keterusan" hingga 15 tahun. Para tamu Alan juga mulai terbiasa dengan keberadaan Mary.

Karena kerap mengobrol, Alan mulai mengenali kalau Mary adalah seorang berpendidikan dan memiliki pengetahuan mengenai musik.

Terungkap pula bahwa nama asli Mary adalah Margaret Fairchild, dulunya seorang pianis muda yang sangat berbakat. Margaret awalnya berusaha melarikan diri setelah merasa dirinya bersalah menjadi penyebab sebuah kecelakaan. Dan selama bertahun-tahun Margaret memilih hidup di dalam mobil van dan berpindah-pindah karena merasa paranoid kalau dirinya dicari oleh polisi.

Mary kadang juga mengalami gangguan dari anak-anak kecil di lingkungan tersebut, meski keisengan tersebut masih terlihat remeh ketimbang ulah bocil di jaman ini. Seorang pria tua sering mengusiknya, dan seperti menyimpan rahasia masa lalu Mary.

Dialog Alan dengan "dirinya sendiri" yang memakan waktu cukup banyak di film ini terlihat agak membosankan dan terlalu bertele-tele. Film ini memang beralur lambat.

Tidak seperti Nomadland, di mana mereka memiliki tempat nongkrong, bisa bergaul dengan sesama, bisa bekerja, Mary harus menghadapi sendiri semua tantangan. Tentu saja ada komunitas sosial, yang membantu para tunawisma seperti Mary. Tetapi tidak seperti Nomadland, di mana mereka tetap terlihat normal, maka Mary yang sendirian akan terlihat nyleneh.

Meski demikian, sepertinya Mary berada di lingkungan yang aman. Tidak digambarkan Mary menjadi korban kejahatan. Terbayang bila Mary hidup seperti demikian di AS,  seorang perempuan tua, tinggal sendiri di mobil van, tidak berada dalam satu komunitas, akan rentan mendapat gangguan gang jalanan dan drug dealer. Seolah ada sebuah pesan dari film ini, seorang wanita tua pun dapat hidup dengan aman di jalanan London.

Untuk urusan MCK, Mary kerap numpang di toilet rumah Alan. Meski demikian Alan digambarkan  kadang-kadang mesti membersihkan tinja yang berceceran di sekitar tong sampah rumahnya. Bisa dibayangkan betapa joroknya gaya hidup Mary.

Tidak seperti mobil van di Nomadland, yang berukuran lebih besar, dan menyediakan fasilitas untuk berdiam yang lebih baik, mobil van Mary lebih terbatas, karena bukan dirancang sebagai tempat berdiam. Dan sepertinya Mary jauh lebih banyak berdiam di mobil vannya ketimbang orang-orang di Nomadland yang bisa bersosialisasi, nongkrong bareng di lapangan parkir, bahkan bekerja di pabrik. Jadi bisa dibayangkan beban "ketidaknormalan" yang dirasakan Mary jauh lebih besar.

Meski Ibu Alan, dan sejumlah tetangga, tidak setuju, dan menyarankan Alan mengusir Mary, tetapi Alan tidak tega untuk mengusir wanita tua tersebut.

Di akhir film digambarkan pula Mary yang mulai sakit-sakitan sempat mendapatkan penanganan dari semacam dinas sosial di sana.

Film ini bergenre biografi yang diambil dari kisah nyata, karena itu ruang untuk dramatisasi menjadi kurang terbuka. Sejumlah hal memang masih terasa kurang nendang dan kurang "touching". Misal bagaimana flashback saat Mary sebagai Margaret menjadi pianis berbakat. Kemudian bagaimana dihubungkan dengan kondisi sekarang, saat Mary merasa sangat terganggu mendengar suara musik klasik.

Meski ada yang menyebut film ini sebagai komedi, tetapi kalau acuan kita tentang komedi Inggris adalah Mr Bean kita akan sulit tertawa. Saya sendiri sering berpikir lama sebelum bisa tertawa.

Kalau panjenengan merasa bosan dengan kebanyakan film Hollywood yang dipenuhi dialog ala motherfucker dan fuck you, cobalah menonton film ini. Yang jelas film ini cocok buat yang demen mendengar cara bicara orang Inggris. Dan juga cara bersopan santun khas Inggris, meski saat hendak mengusir seorang tunawisma sekalipun. Kadang saat melihat mereka mengekspresikan maksudnya kok agak mirip dengan orang Jawa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun