Suatu kali sudah lebih dari seminggu saya demam, panas naik turun, hanya saya obati dengan obat flu pasaran. Kemudian saya niteni, tidak ada batuk pilek, tidak sakit tenggorokan, ada gangguan BAB.
Astaga.... ini kemungkinan bukan flu, tapi tipes. Segera saya mengambil keputusan untuk konsul ke dokter spesialis penyakit dalam di sebuah rumah sakit. Diperintahkan cek darah di lab, sekalian rapid test.
Hasil rapid test non reaktif. Trombosit normal, artinya bukan demam berdarah. Horotoyo.... di laporan lab ditemukan tiga jenis bakteri salmonella. Wah, satu jenis bakteri saja sudah bikin ulah, ada tiga jenis, pantaslah beratnya penderitaan yang saya tanggung.
Ada teman yang nyindir, lha sudah tidak kost kok malah kena penyakit anak kost? Penyakit tipes memang sering mendapat stigma sebagai penyakit anak kost. Kadang dituding karena keseringan makan mie instan. Seingat saya waktu dulu mahasiswa dan kost, dan rajin makan mie instan, malah tidak pernah sakit tipes, paling banter ya cuma flu.
Dokter memberikan antibiotik yang harus diminum seminggu tanpa putus, beserta sejumlah obat lainnya. Dokter menjelaskan biasanya dalam tiga hari  efek sudah terasa. Artinya demam sudah turun.
Betul memang, dalam tiga hari demam turun. Saat kontrol ke dokter spesialis penyakit dalam, saya disuruh cek darah lagi. Hasil lab, bakteri Salmonella sudah negatif.
Tapi ternyata "kemenangan" masih jauh. Gara-gara bermalam-malam demam tidak bisa tidur, setelah demam turun, saya masih mengalami kesulitan tidur. Sudah lima hari saya tidak bisa tidur. Pagi, siang, malam, hanya merem melek klisikan di tempat tidur. Saat berdiri dan jalan terasa nggliyeng. Saya merasa bagai zombie Train to Busan yang gagal akting.
Padahal BAB sudah lancar, meski kadang mencret, kadang mrongkol-mrongkol. Artinya sudah menuju kesembuhan.
Saya pun berobat ke psikiater dan memperoleh obat tidur. Akhirnya setelah lima hari tidak tidur, saya bisa tidur juga, lega rasanya....
Kemudian saya berpikir tidak mungkin seterusnya menggantungkan diri pada obat tidur. Lalu saya menemukan di rumah sakit tempat saya berobat, terdapat klinik akupuntur yang ditangani seorang dokter spesialis akupuntur dibantu seorang asistennya.
Dokter ini lulusan FK UI. Sepertinya di Indonesia saat ini baru FK UI yang memiliki pendidikan spesialis akupuntur. Singkat cerita saya konsul ke dokter, dan menerima terapi akupuntur pertama saya. Jarum hanya dipergunakan sekali pakai.
Berangsur gangguan tidur saya teratasi dan saya sudah lepas dari obat tidur. Memang sih bukan berarti langsung tidur nyenyak sampai pagi. Kadang malam-malam bangun pipis. Terus susah tidur lagi. Tapi pagi atau siangnya langsung "dilunasi".
Setelah dua kali terapi akupuntur, tidur makin nyaman. Tapi ternyata "kemenangan" belum diraih. Perut saya masih mudah terasa muleg, mual, dan muntah. Ternyata orang sakit tipes itu pilih-pilih makanannya melebihi orang ngidam. Banyakan yang ndak cocok ketimbang yang cocok.
Pernah nyoba minum susu hangat, muntah. Kemudian minum minuman yang mengandung kopi sedikit muntah. Mencoba minum teh pahit hangat, perut muleg. Pokoknya ndak cocok sedikit langsung kepingin muntah. Kadang ndak bisa tidur semalaman karena merasakan perut muleg mau muntah. Padahal sudah saya oleskan minyak kayu putih masih belum mempan juga.
Rencana, terapi akupuntur berikutnya saya akan matur dengan dokternya untuk fokus ke permasalahan perut saya, karena masalah gangguan tidur bisa dibilang sudah teratasi.
Tapi dari pengalaman saya sakit tipes tersebut, saya bisa berbagi saran. Kita harus aware dengan kondisi badan kita sendiri. Ketika sudah saatnya harus memeriksakan diri ke dokter dan melakukan uji lab yang diperlukan, maka jangan ditunda-tunda. Agar kita bisa segera memperoleh kepastian pengobatan.
Dari pengalaman saya, sepertinya saya agak terlambat berobat, mungkin saya sudah seharusnya periksa ke dokter seminggu lebih awal. Dengan demikian tidak banyak "kerusakan" tambahan yang aneh-aneh, seperti kesulitan tidur dan perut muleg ndak karuan.
Seminggu saya tidak membaca koran, beberapa minggu tidak membaca kompasiana. Duduk sebentar di depan komputer sudah drop dan kadang muleg-muleg. Radiasi monitor komputer jadi terasa menyedot energi lebih cepat melelahkan.
Jadi pemulihan paska sembuh dari tipes ini memang lama. Stamina kita masih belum pulih seratus persen. Jangan harap langsung bisa nggowes sepeda atau jogging di jalan. Wong duduk baca koran sebentar saja sudah capek.
Masih perlu lebih banyak klekaran untuk memulihkan kebugaran. Pemulihan paska tipes, kita perlu lama menjadi member kaum rebahan plus mager.
Sempat saya mengobrol dengan Mbok Jum, menanyakan apakah dirinya, anak cucunya, di desanya, pernah mengalami sakit berat seperti tipes atau demam berdarah. Jawabannya, tidak pernah. Sakit terberat yang pernah mereka alami adalah, flu, pilek, batuk, masuk angin. Jawaban yang membuat iri.
Belajar dari pengalaman sakit tipes ini. Jangan ngeyel dan merasa diri kuat. Segeralah mengambil keputusan untuk memeriksakan diri saat hal tersebut sudah harus dilakukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H