Kalau orang masih memiliki adab ber-mercon, membakar mercon jauh dari permukiman dan perlintasan orang. Sepertinya sekarang kok malah menyengaja menyulut mercon di depan rumah orang, atau melemparnya ke jalan.
Atau lakukanlah di dalam rumah sendiri, di dalam kamar yang tertutup rapat, sehingga keseluruhan suara mercon bisa dinikmati sepenuhnya tanpa ada yang terbuang sia-sia. Jangan paksa orang lain untuk mendengarkannya. Bukankah sebuah ketololan bila yang membakar mercon malah menutup telinganya sendiri?
Kalau ngebet banget bermain mercon, lakukanlah hanya saat malam lebaran dan hari lebaran. Tapi jangan sampai suara takbiran dari masjid dikalahkan oleh bunyi mercon. Bukankah esensi takbiran adalah mengagungkan asma Sang Maha Pencipta, bukan mengagungkan bunyi mercon dan kembang api? Janganlah nebeng rombongan takbiran keliling, tapi malah lebih sibuk melempar mercon di jalan ketimbang ikut bertakbir. Hal tersebut malah berpotensi menyulut keributan.
"Lho, kalau begitu bagaimana berkah bulan puasa bagi para penjual mercon?" Mau jualan yang berkah? Ganti dengan jualan masker. Jualan kuaci saja jauh lebih berkah ketimbang jualan mercon, bisa menghindarkan orang dari mati gaya.
Membakar mercon bukan hanya mengganggu kekhusukan beribadah, tetapi juga membuyarkan keheningan yang sangat diperlukan oleh mereka yang sedang "berkonsentrasi" di WC untuk menjaga kelancaran metabolisme tubuhnya. Kasihan kan, orang lagi fokus ngeden jadi gojag-gajeg. Mungkin pelakunya layak di-azab diubah menjadi sikat kloset.
Semoga situasi minim polusi mercon pada bulan puasa kali ini bisa berlanjut pada bulan puasa tahun-tahun berikutnya. Tanpa didampingi wabah penyakit tentunya.