Yang pasti terasa adalah malam-malam yang penuh ketenangan dan kedamaian, minim polusi suara mercon dan kembang api. Situasi yang sangat kondusif untuk kekhusukan beribadah meski beribadah di rumah saja.
Tidak ada ceritanya sujud menjadi lebih khusuk karena ledakan mercon. Tidak ada ceritanya hafalan ayat suci menjadi lebih tajam karena gangguan ledakan mercon. Membakar mercon hanyalah perbuatan sia-sia dan membuang uang, apalagi di masa pandemi yang entah berakhir kapan ini, kita mesti lebih bijak dalam menempatkan prioritas pengeluaran.
Banyak yang memperbanyak beribadah di malam-malam bulan puasa mengidamkan bertemu dengan Lailatul Qodar. Janganlah kerinduan mereka tersebut terganggu karena ribut suara mercon.
Membakar mercon lebih banyak dampak negatif ketimbang manfaatnya. Resiko kejeblugan mercon bagi penyulut, juga bagi yang terkena lemparan mercon. Mereka yang mengidap sakit jantung, bisa berpotensi kambuh karena terkaget ledakan mercon.
Satu ledakan saja bisa menimbulkan gangguan pada banyak manusia. Lansia yang rentan gangguan kesehatan. Bayi-bayi yang rewel tidurnya karena terusik suara mercon. Orang yang sakit dan perlu istirahat, bayangkan orang yang lagi sakit gigi bila terusik oleh suara mercon.Â
Orang yang letih karena bekerja keras seharian dan butuh istirahat. Betapa banyak perbuatan zalim yang diakibatkan oleh satu ledakan mercon. Bahkan terhadap kaum rebahan yang lagi sibuk stalking dan update status.
Juga kezaliman terhadap para petugas kebersihan yang mesti membersihkan sobekan kertas berserakan. Bayangkan sulitnya membersihkan sobekan kertas di taman dan tanaman. Seandainya para pembakar mercon ini bisa ditangkap, mereka layak untuk dihukum memunguti sampah akibat ulah mereka, dengan memakai tangan kosong.
Jadi bagi yang masih menganggap membakar mercon adalah bagian dari memeriahkan bulan puasa, mungkin bisa dipertimbangkan untuk membakar mercon jauh dari keberadaan manusia.Â