olahraga.
Salam bulutangkis.
Halo Badminton Lovers.
Kekalahan MD andalan Indonesia, Kevin/Gideon, dari MD Korea Choi Sol-gyu/Seo Seung-jae, di babak kedua Kejuaraan Dunia 2019, menjadi semacam "blessing of disguise". Setelah kejadian itu banyak pihak yang menyorot jalannya pertandingan.Â
Netizen Indonesia di social-media ramai mengkambinghitamkan Seo Seung-jae yang gemar melakukan delay cukup lama saat melakukan service. Bahkan saking kreatifnya, ada yang menyindir ulah Seo Seung-jae tersebut dengan judul ala sinetron azab, "Kuburan digali tak kunjung kelar, azab bagi pemain bulutangkis yang gemar melakukan delay".
Mungkin netizen kelihatan julid, tapi kenyataannya muncul protes dari lawan-lawan mereka berikutnya, umpire memberikan teguran bahkan sangsi. Karena itu saat bertemu Fajar/Rian di perempat final, oppa-oppa tersebut tidak berani lagi bermain "drama".Â
Hasilnya ganda Korea tersebut tumbang dalam straight-set. Tadinya mungkin hendak memecah konsentrasi lawan, tapi gagal dan malahan konsentrasi sendiri pun ambyar.Â
Para pemain bulutangkis pun menjadi makin aware dengan hal tersebut, dan lebih berani melakukan protes pada umpire. Karena trik service super-lama tersebut bukan berkaitan mengulur waktu untuk mengambil nafas, tapi lebih kepada merusak fokus lawan.
Kelihatannya barisan umpire juga mulai makin mencermati permasalahan tersebut. Â Pada turnamen China Open, para umpire menjadi lebih proaktif saat ada pemain yang mencoba berlama-lama service. Ada yang hanya kena teguran, tapi ada juga yang langsung kena fault. Kena fault artinya pindah service dan point untuk lawan. Bagus, biar ndak tuman ....
Saat seorang pemain hendak melakukan service, maka pemain lawan tidak boleh bergerak. Maka dari itu berlama-lama service berpotensi merusak konsentrasi pemain lawan. Karena lawan mesti menahan gerakan cukup lama, mungkin jadi tidak nyaman, dan fokus ambyar.
Kalau pemain Indonesia sepertinya tidak ada yang gemar berlama-lama service, yang ada mungkin adalah service "ala sepanyol" alias separo nyolong. Misal, Greysia Polii yang sering langsung main tepok tanpa melihat apakah lawan sudah dalam posisi siap menerima service, sehingga kerap mendapat teguran dari umpire.
Salah satu pemain yang paling mencolok dalam melakukan delay service adalah Christinna Pedersen, yang kini sudah pensiun dari lapangan bulutangkis. Pedersen adalah spesialis WD dan XD andalan Denmark.Â
Bayangkan, service Pedersen bisa lebih dari sepuluh detik. Menonton Pedersen melakukan service, komentar netizen, "Tante Pedersen service ditinggal bikin kopi juga belum kelar." Pemain Denmark lainnya yang gemar delay service adalah Mathias Boe.Â
Karakter service Mathias Boe sangat berbeda dengan pasangannya di MD dulu yaitu Carsten Mogensen. Bila Boe delay service cukup lama, maka Mogensen gemar service "ala sepanyol". Entahlah, apakah hal tersebut memang merupakan strategi yang disengaja untuk merusak konsentrasi lawan.Â
Maklum para pemain ganda dari Denmark terkenal gemar bermain "drama". Pemain China yang terkenal gemar melakukan service ala "buffering" adalah Zhang Nan, pemain spesialis ganda. Tapi menilik pengalaman Zhang Nan, kayaknya dia bakal cukup cerdik untuk mensiasati umpire yang makin tegas menindak delay service.
Pada sektor ganda, faktor kritis dari service menjadi lebih dominan. Service bisa menyulitkan lawan, atau justru mempersulit diri. Service yang bagus bisa menjadi pembuka serangan. Tetapi service yang buruk bisa menjadi peluang bagi lawan untuk menggebuk. Service yang tanggung akan dengan mudah dicocor lawan.
Dulu di tahun 90-an, kita belum mengenal adanya service judge. Kini petugas pengganti shuttlecock sekaligus merangkap menjadi service judge. Setelah bulutangkis menjadi salah satu lahan perebutan medali di Olimpiade, minat banyak negara bertumbuh. Makin banyak juga atlet berpostur menjulang. Mungkin itu menjadi salah satu pertimbangan dalam merevisi peraturan.
Pada saat dulu ditetapkan pinggang sebagai batas ketinggian service, ada saja atlet yang protes dengan memasukkan kaosnya, agar pinggangnya kelihatan. Atau bahkan menunjukkan posisi wudelnya, untuk menunjukkan bahwa ia tidak service melebihi batas yang ditentukan. Terakhir, ketinggian untuk batas service ditentukan menjadi 115 centimeter.
Kembali ke soal delay service. Kenyataannya, saat ini memang belum tertulis ketentuan berapa detik batasan untuk melakukan service. Sehingga umpire mesti menentukan patokan berdasarkan perkiraannya sendiri. Jadi sangat bergantung pada pengalaman dan kebijaksanaan umpire.Â
Mungkin suatu saat akan muncul regulasi tambahan berkaitan service untuk mencegah atlet berlama-lama dalam melakukan service. Bisa saja di masa depan akan dikaji teknologi seperti halnya hawkeye dan VAR untuk pemantauan kala pemain melakukan service.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H