Liburan panjang kali ini (libur lebaran plus kenaikan kelas) membuat anak-anak bisa mati gaya. Peraturan no gadget saya yeng cukup keras, membuat mereka harus putar otak untuk bisa melewati liburan ini.
Sayapun coba memfasilitasi. Membelikan permainan serupa monopoli,congklak atau yang kerenan dikit papan catur. Namun toh tetap saja tak cukup untuk dimainkan dalam jumlah hari libur  yang nyaris lebih 30 hari lebih ini.
Pagi-pagi mereka memanggil anak saya di depan pagar. Sebenarnya sering kepagian sih mereka datang. Anak saya kadang sedang sarapan,atau kadang belum mandi. Mereka sendiri sama belum mandi atau sarapan namun demi main banyak dari mereka (atau orang tuanya ) yang cuek.
Bermain memang kebutuhan anak. Energi perlu mereka salurkan dengan bergerak. Cara bersosialisasi dengan teman terasah saat bermain. Namun bermain tetap harus ada batasnya.Â
Untuk putera saya sendiri ,bermain tahap pertama harus berakhir di jam dzuhur. Mereka harus shalat,makan lalu istirahat. Saya tak mengijinkan mereka bermain setelah itu.
Sayangnya peraturan saya terkadang berbeda dengan teman-temannya. Mereka bermain tak berbatas waktu,sehingga meskipun sudah waktunya pulang mereka sengaja mengajak bermain lagi. Anak saya sejauh ini mematuhi dengan sepenuh hati. Tak marah atau protes.
Akhirnya saya mengijjnkan mereka bermain namun di rumah saya saja. Ada yang tahan tak kemana-mana. Ada yang menyerah dan memilih bermain tanpa anak saya.
Selepas sholat ashar,si cikal boleh kembali bermain. Nah,selama liburan ini,anak-anak gemar bermain bola. Anak saya sendiri memang doyan sepak bola. Di sekolah saja dia memilih ekskul sepak bola. Beruntunglah masih ada lapang di sini untuk mereka bermain kaki.
Nyaris tiap sore mereka bermain bola,dan nyaris tiap sore juga saya menyusulnya ke lapangan. Saya datang ke lapang lengkap bersama kedua adiknya.Selain melihatnya bermain,mengajak adiknya bermain, juga membawakannya sebotol air untuknya jika kehausan.
Ada tempat duduk di pinggir lapangan yang biasa kami tempati untuk menontonnya. Terkadang bergantian mereka datang untuk sekedar istitahat sebentar.
Ternyata pemain sepakbola tak rata usia. Ada yang masih duduk di SD seperti anak saya,beberapa SMP dan ada juga SMA. Tidak ratanya usia pemain membuat yang usia lebih tua berinisiatif untuk mencampur anggota tim. Yang SD ada,SMP ada,SMA juga ada.
Darimana saya tahu peraturan itu?ya saya ngobrolah dengan mereka. Berbaurnya anak saya dengan anak-anak ABG menghadirkan kekhawatiran buat saya.Â
Di jaman yang mudah mendapatkan informasi di dunia maya. Dengan kenyataan bahwa nyaris semua anak sudah memegang gadget ada ketakutan anak-anak yang lebih besar ,yang keburu tahu segalanya sebelum waktunya menularkan informasi salah pada teman-temannya yang kecil.Â
Meskipun sedari rumah sudah dibekali dengan pengetahuan dan agama tetap saja khawatir. Sementara ini selagi dia masih anak-anak,saya takkan melepaskan main begitu saja. Mengasuh adik-adiknya di lapangan sebenarnya modus untuk memperhatikannya juga tanpa dia sadari.
Mengenal teman-temanya satu persatu juga mempermudah akses untuk mengikutimya. Dengan anak-anak ABG ini juga saya coba kenal. Dan tak lupa anak saya sendiri diingatka untuk selalu bercerita apa yang terjadi padanya selama bermain. Lalu  dia dianjurkan bertanya jika ada seuatu yang tak dia fahami agar saya bisa bantu meluruskan.
Setelah saya amati,benar saja,saya melihat ada sebungkus rokok yang disimpan ditempat bermain beristirahat. Ketika ditanya punya siapa ,ternyata itu punya para pemain yang sudah SMA. Kalau begini kan jadi takut juga. Mungkin saya perlu berbicara empat mata pada pemilik rokok untuk tidak membakar rokoknya saat bersama anak-anak.
O,ya dari pengamatan beberapa hari ini di lapangan akhirnya saya tahu bahwa kemampuan bermain bolanya sudah melesat pesat. Karirnya terkahirnya di sekolah sebagai pemain cadangan yang dimainkan 3 menit menjelang usai sepertinya akan berubah. Kemahiran menggocek bolanya sudah yahud.
"Kang,malu enggak diikutin sama emaknya melulu pas lagi main?"
"Enggak lah,seneng malah ada yang bawain kakang minum sama semangatin kakang main!"ujarnya sambil tersenyum lebar. Sayapun bahagia mendengar jawabannya.
Tangan kiri Sayapun segera merengkuh pundaknya.Sementara adiknya yang bayi tertidur di gendongan dan adik perempuannya memegang erat tangan kiri saya. Kamipun menuju rumah sementara magrib menjelang.
Dibalik daster warisan nenek,selesai juga satu tulisan ringan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H