Mohon tunggu...
Irma Tri Handayani
Irma Tri Handayani Mohon Tunggu... Guru - Ibunya Lalaki Langit,Miyuni Kembang, dan Satria Wicaksana

Ibunya Lalaki Langit ,Miyuni Kembang,dan Satria Wicaksana serta Seorang Penulis berdaster

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Sungai Macam Apa yang Akan Kita Wariskan Pada Anak Cucu Kita?

6 Februari 2019   11:10 Diperbarui: 6 Februari 2019   12:17 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak-anak bermain di sungai. Foto: Irma Tri Handayani

Saya ingat betul, waktu kelas 2 SD, untuk tiba di sekolah, saya harus digendong Nenek untuk turun ke sungai kecil karena pada saat itu belum ada jembatan. Air sungainya masih jernih,airnya tak terlalu deras, dan masih terlihat ikan-ikan di sana.

Jika tak pergi sekolah, saya sengaja malah bermain di sungai itu bersama teman-teman. Sungai itu bukan di desa kok,di kota. Rumah saya dulu di Antapani kota Bandung.

Sebagai perumahan yang baru dibuat aksesnya tentu masih terbatas. Ke sekolah saja saya harus berjalan kaki hingga 30 menit ke Sekolah karena belum ada transportasi umum. Jalan yang dilewati jalan perkampungan.

Mungkin karena belum banyak penduduk maka sungai yang membatasi Antapani dan Daerah Babakan Sari itu masih terjaga.

Ketika saya menginjak kelas 6 SD,sudah adaa jembatan kecil di atas sungai tadi.  Karena mungkin sudah besar, saya tak pernah lagi turun ke sungai itu. 

Saya belum menyadari kondisi sungai itu,hingga akhirnya tanpa sengaja saat saya duduk-duduk di jembatan saya terjungkal jatuh setelah bercanda dengan teman. Saat itu saya hendak pergi ke sekolah,saya ingat betul saya mengenakan pakaian Pramuka.

Nah,karena jatuhnya tepat ke sungai otomatis basahkan? Kalau cuma basah saja saya akan meneruskan perjalanan rtoh nanti juga kering di badan. Masalahnya air sungai yang membasahi saya, kotor dan bau. Tak mungkin saya meneruskan perjalanan ke sekolah dengan kondisi itu.

Sayapun pulang,dan akhirnya tak jadi ke sekolah karena harus mandi membersihkan bau air sungai. Meskipun lucu pada saat diceritakan tapi setelah diingat lagi saya merasa miris.

Hanya 4 tahun rentang waktu yang dibutuhkan  semenjak saya pertma kali pindah ke Antapani dan bermain air sungai jernih untuk berubah kotor dan bau.

Memang perumahan itu sudah mulai padat penduduknya. Mungkin kebiasaan mereka membuang sampah cair dan padat ke sungai.

Saya jadi ingat, Nenek saya sendiri jika pernah menyuruh Abang saya untuk membuang mayat kucing peliharaan yang mati karena sakit ke sungai. Katanya biar gampang tinggal hanyut dan tak usah repot-repot mengubur. Nah,dibuangnya sengaja saat selesai hujan dimana air mengalir deras.

Mungkin bukan kebiasaan nenek saya saja yang begitu-begitu penduduk lainpun sepertinya sama akan memilih membuaaang sampah ke sungai supaya tak usah tepi mengurusnya.

Itulah sebabnya mengapa dalam rentang waktu singkat air sungai tempat saya bermain tadi sudah tercemar.

Itu dalam skala rumahan,tak lama saat saya SMP dan SMA, sungainya sudah lebih ajaib lagi karena bisa berubah-ubah warna. Kadang hijau,merah dan kadang penuh busa.

Sepertinya itu kelakuan pemilik pabrik yang tak mau merogoh kocek dalam-dalam untuk mengolah limbah sehingga aman untuk dialirkan di sungai.

Kok penduduk enggak ada yang protes ya? Ya tak mungkin proteslah,wong kelakuan mereka juga sama. Tak pernah berfikir  bahwa membuat kotor sungai adalah dosa. Yang penting rumah mereka bersih,sungai toh tak ada di dalam rumah.

Tak pernah terpikirkan oleh mereka bahwa  kelakuan tak terpuji mereka terhadap sungai mewariskan air baku yang tak layak diolah buat anak cucu mereka. Saya yakin bukan cuma di sungai kecil ini saja,di nyaris semua kali sepertinya.

Ridwan Kamil pernah melakukan pembersihan besar-besaran di sungai-sungai kota Bandung. Tapi rasanya percuma jika warga masih juga sembunyi-sembunyi membuang sampah dalam plastik ke sungai. Mending sembunyi-sembunyi lah yang terang-terangan juga banyak.

Membuang sampah dan limbah ke sungai jelas kejahatan besar .  Entah mengapa sulit sekali menyadarkan para pembuang sampah di kali. 

Dan entah mengapa belum ada berita pemilik pabrik dipenjara karena mengambil keuntungn dari usahanya dengan menghancurkan ekosistem sungai.

Tak mungkin mengolah air yang tercemar. Kalau sudah begitu pasokan air pasti tersendat.

Jika air bakunya sudah tercemar lalu mau minum apa  kita,  sekarang saja sudah begini apa kabar anak cucu kita kelak?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun