Mohon tunggu...
Irma Tri Handayani
Irma Tri Handayani Mohon Tunggu... Guru - Ibunya Lalaki Langit,Miyuni Kembang, dan Satria Wicaksana

Ibunya Lalaki Langit ,Miyuni Kembang,dan Satria Wicaksana serta Seorang Penulis berdaster

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hentikan Rantai Kekerasan Itu Bu

30 Desember 2016   10:48 Diperbarui: 30 Desember 2016   11:00 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Suatu hari di bawah pohon kersen (tempat keramat yang biasa digunakan Ibu-ibu dikomplek perumahan saya ongkrong sambil menyuapi anak atau menemani anak bermain) dua orang ibu yang merupakan tetangga terlibat sebuah percakapan serius.

"Kenapa ya kalau anak saya lagi sakit kok perasaan saya sediiiih banget melihatnya, " ujar Ibu sebut saja Ibu A.

"Ih, kok sama ya bu, saya juga gitu, kalau lihat anak saya terbaring,rasanya ingin memeluknya, "timpal Ibu lain sebut saja Ibu B.

"Loh, bukanya setiap ibu pasti akan bersedih kalau anaknya sedang sakit, maksud saya ya normalnya kan begitu, ya saya juga sama, "Tanya saya heran.

"Ah, tapi kalau saya sedihnya super Bu, setiap tahu sakit bisa sampai histeris dan nangis-nangis saya,!" Ini A kembali berkata.

"Ih, sama banget Bu, saya juga begitu berrkali-kali saya cek nafasnya apa masih terasa apa enggak, takut dia mati! " Ibu B menambah.

Saya berfikir apa saya separnik itu juga kalau anak saya sakit. Tapi kalau cuma sakit biasa sih saya enggak terlalu panik kalau tidak salah. Ah saya ikuti saja lagi percakapan mereka.

" Suka terbayang saat saya suka memukul kakinya sampai dia nangis pas lihat dia tak berdaya begitu, suka merasa berdosa pernah melakukan itu, "Ujar Ibu A.

Saya terbelalak mendengar perkataanya.Hmm..mungkin itu alasanya.

" Ih saya juga suka ingat saat mencubitnya sampai biru pas dia sakit. Kasihan sekali dia sampai menangiis, "Ibu B tak mau kalah berbagi cerita.

Sayapun mulai terusik mendengarnya.

"Loh, terus kenapa kalian suka mencubit, menjewer atau memukul anak kalau memang kasihan? "

"Itulah, kalau anaknya dah mulai bandel dan tak mau menuruti apa yang saya minta saya kok suka kesel. Dah dibilangin berulang-ulang anaknya ga ngerti, apalagi kalau dia menjawab omelan saya, " Ibu A mulai beralasan.

"Sama bu, saya juga kalau anak dah gak mau diam, anak suka ganggu adiknya anak pilih-pilih makanan suka ga bisa bahan marah. Dibilang pelan enggak bisa, diteriakin ga nurut, terpaksa main tangan baru deh mereka nurut! " Ibu B malah terdengar seperti puas treatment kekerasannya mungkin berhasil membuat anaknya nurut. 

"Emang anaknya jadi nurut Bu? "tanya saya.

"Justru  itu dah dikerasin gitu aja masih enggak nurut, apalagi kalau lemah lembut! "

"Emang gak kasihan Bu, saat melihat mereka menangis kesakitan,?"Tanya saya.

"Ya kalau pas kejadian enggak, yang ada kesel aja, nah kalau sudah terjadi apalagi lihat kulitnya biru-biru baru saya istighfar dan merasa saya dah keterlaluan. ." Ibu B menunjukkan muka menyesal.

Saya tambah meringis mendengarnya. Sepengetahuan saya sebagai tetangga, memang sering sekali terdengar teriakan dari rumahnya.

Sepetinya Ibu B ini ekspresif sekali atau mungkin tepatnya temperamental. Jika anaknya salah sedikit maka terdengarlah suara Ibu B yang memarahi anaknya.

Kadang saya menemukan dia sedang mengetuk-ngetuk pintu pagar meminta masuk karena ibunya marah dia terlalu lama main di luar. Kadang terdengar teriakan minta ampun dari si anak saat ibunya berteriak . Saya membayangkan saat itu mungkin si anak tengah di cubit, di jewer atau di pukul karena suaranya terdengar kesakitan.

"Ya kalau begitu jangan siksa anaknya Bu, apa ga kasihan, coba kalau dia buat kesalahan dibilangin dulu baik-baik, "Ujar saya pelan-pelan takut Ini B tersinggung.

"Abisnya anak saya kalau dibilangin lemah lembut ngelunjak dia"

Sebelum percakapan ibu terjadi Ibu B pernah juga cerita jika ibunya dulu juga galak padanya. Kalau dia berbuat salah dan nakal ibunya akan memperlakukan hal yang sama dengan apa yang dia lakukan pada dirinya.

Ibu A juga tak kalah galak sama anaknya. Hobi berteriaknya sama dengan ibu B. Suatu kali saat sedang asyik ndobrol anak yanh kecilnya menghilang. Anak pertamanya dimarahi habis-habisan karena dianggap tidak becus mennjaga adiknya. Kalau saja tidak kami tahan, maka nyaris da memukul anak tertuanya di muka umum.

Dan setelah saya perhatikan baik-baik setidaknya 4 ibu-ibu yang rumahnya berdekatan dengan saya punya kecenderungan yang sama dalam hal mendidik anaknya yaitu sama-sama melakukan kekerasan fisik.

Setelah ditelisik cerita para Ibu itu hampir semua sama, mereka sendiri sudah biasa diperlakulan seperti itu dulu di masa kanak-kanak, sehingga menurut mereka hal tersebut merupakan kewajaran.

Karena mereka merasa bahwa anak adalah milik mereka, darah daging mereka maka meteka boleh melakukan apa saja untuk membuat anaknya lebih baik.

Jika alasannya merekapun pernah diperlakukan sama oleh ibu mereka dahulu sadarkah bahwa alam sadar mereka pada akhirnya membentuk mereka menjadi sama dengan Ibu merela? Jika kemudian merekapun berlaku sama apa tidak mungkin di masa depan anak-anak mereka menjadi monster yang sama.

Anak nakal, anak bandel, anak tak mau nurut, jangan diartikan sebagai tindakan membangkang. Bisa jadi mereka tak bermaksud. Mereka masih dalam mada pembentukan karakter, dan prosesnya tidak bim salabim sekejap mata.

Saya memang gagal faham bagaimana bisa mereka melakukan kekerasan fisik pada anak mereka sendiri, padahal susah payah mereka mengandung dam melahirkan anak itu.

Saya tahu sebenarnya tak ada satu ibupun yang berniat jahat pada buah hatinya. Mungkin kemampuan menahan emosi saat stres tingkat tinggilah yang menyebabkan mereka seperti itu.

Mata rantai itu harusnya berakhir pada mereka. Jika mereka tidak mengajar anak-anaknya dengan kekerasan, maka kelak anak merekapun akan lembut pada buah hati mereka.

Sayang semua pemikiran itu hanya terjadi di dalam hati saya saja. Tak tahu bagaimana cara mengungkapkannya pada mereka.

" Kalau kesal lebih baik tinggalkan saja anaknya, jangan memaksakan untuk mengeluarkan amarah, kalau keusap setan terus kita kelepasan bagaimana? Di tv juga itu anak yang sampai terbunuh ya karena sudah tak bisa menguasai emosi, " kataku berusaha menakut-nakuti diakhir percakapan.

"Ah, jangan sampai lah bu..! "Ujar mereka serempak
Percakapan kami berakhir saat matahari sudah hilang dan magrib menjelang.

Semoga mereka membaca tulisan ini

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun