Saat menggunakan layanan ridesharing tersebut, pihak pengguna akan membayar tarif sesuai dengan jarak dan waktu tempuh perjalanan.Â
Dalam hal ini, pengguna tidak perlu khawatir mengenai metode pembayaran karena tarif akan langsung ditagihkan ke rekening atau dompet digital yang terhubung dengan aplikasi tersebut. Dalam proses pembayaran, ada biaya yang dikenakan oleh platform.
Demikian juga dengan MDR QRIS, di mana MDR merupakan biaya tambahan yang dikenakan oleh PJP kepada pedagang/merchant untuk setiap transaksi yang dilakukan melalui QRIS.Â
Analogi ini menggambarkan bagaimana MDR QRIS mirip dengan biaya yang dikenakan oleh aplikasi ridesharing kepada pengguna ketika menggunakan layanan mereka.
Seiring dengan kepopuleran aplikasi ridesharing, QRIS juga semakin populer dan digunakan secara luas di Indonesia.Â
Dengan adanya QRIS, para pedagang/merchant dapat menerima berbagai jenis pembayaran digital melalui satu kode QR, sehingga memudahkan transaksi bagi pelanggan maupun pedagang/merchant.Â
Namun, mereka harus membayar biaya tambahan (MDR QRIS) untuk fasilitas ini, yang serupa dengan biaya yang dikenakan oleh aplikasi ridesharing.
Perbedaannya, aplikasi ridesharing membebankan biaya tersebut kepada pengguna (user) atau konsumen. Sementara MDR QRIS dibebankan kepada pedagang/merchant, sehingga pengguna tidak terbebani oleh "biaya aplikasi" tersebut.Â
Apabila penggunaan QRIS dibebankan kepada pengguna, hal itu disebut sebagai surcharge. Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) 23/6/PBI/2021 tentang Penyedia Jasa Pembayaran (PJP), surcharge MDR QRIS tidak diperbolehkan. Apabila pengguna menemukan pedagang/merchant yang melakukan hal tersebut, dapat dilaporkan kepada PJP terkait.
Dalam pengembangan QRIS, MDR yang ditetapkan harus seimbang, adil, dan memperhatikan semua pihak yang terlibat.Â
MDR yang terlalu tinggi mungkin menghambat adopsi QRIS oleh pedagang kecil, sementara MDR yang terlalu rendah mungkin tidak menarik bagi penyelenggara dan tidak berkelanjutan dalam jangka panjang.Â