Mohon tunggu...
Cerpen

Sapa Renyah May Ronah

8 April 2016   19:26 Diperbarui: 8 April 2016   20:00 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Timun, Rokok dan Selamat Pagi Semua, ....suara parau mengawali membelah-belah riuh pedagang pasar yang beradu deru dengan mesin tak pernah sepi melintas sepanjang jalan. Asap kenalpot, bau anyir ikan dan selokan yang membubulkan mual di ujung lambung sudah menjadi hal biasa.    

        Timun..timuun.

        Rokok….rokok….

        Selamat pagi semua, Yu Ori, Yu Engku, Yu Diram!

        Sapa renyah sepanjang pagi, muntah dari moncong May Ronah berikut segulung asap melayang lambat, membulat-bulat tak lama lenyap ditelan pengab.

        Yu Ori yang disebut pertama adalah penjual kol, acuh tak menggubris sembari ngotot dengan pembeli yang alot dengan tawarannya.

        “Halah, Jeng ini uang seribu buat Jeng yang cantik borju pisan, buat apa sih gak ada artinya,” rajuk Yu Ori sengaja mengangkat, menyanjung-nyanjung setinggi langit, padahal pembeli dihadapannya berwajah seadanya dan gak juga berkelas.

        “Penjual kol kok tahu borju, ada saja rayuan mautnya biar saya luluh hati, mengalah mengikuti kemauannya. Ogahlah, mana ada penjual didunia ini mau rugi, ya sebagai pembeli paling tidak dapat harga miring-miring dikit, kan lumayan. Waduh, ibu ini jangan bilang cuman, tahu nggak deposito saya yang lebih dari 1 M, itungannya harus melalui seribu dulu, uang seribu berarti banget buat tukang kebun membayar angkot, sehabis rapikan taman di rumah,” serang balik ibu calon pembeli kol lebih agresif.

"seribu saja, diributin. bukannya hari gini seribu gak dapat untuk beli apa. ketoilet saja juga kurang, bayar parkir apalagi," ngedumelnya. Wah, nggak mempan ni, pakai jurus apa lagi ya? Masak baru mau laku kol beberapa glundung saja, harus berdebat sampai titik darah penghabisan,” Yu Ori mengerutkan dahi berpikir keras, mengancang-ancang jurus baru untuk menaklukan calon pembeli angkuh yang ada dihadapannya.

        “Selamat pagi Yu Ori,” teriak May Ronah tiba-tiba untuk yang kedua kali, sambil melenggang pergi.

        “Hei May Ronah, diem lu geblek, punya temen satu reseh melulu. Buyar konsentrasi gue, gara-gara teriakan lu tu. Maaf Jeng, jadi beli kolnya,” pancing Yu Ori lagi dengan kata-kata lebih simpel, tidak terlalu bombastis.

        “Nggak ah, nggak jadi. Toh masaknya bukan buat sekarang, masih lusa,” jawab ketus ibu pembeli itu, ngacir tanpa basa-basi.

        “Dasar medit ya medit saja, pakai alasan macam-macam. Bilang buat tukang kebunlah, bilang uangnya em-em an lah, prêt. Paling omkodo alias omong kosong doang,” gerutu Yu Ori kelihatan tidak mampu menyembunyikan kekesalan.

        “May Rooonah, si biang kerok sini kau, bikin pembeli gue kabur. Urus tu timun lu yang kagak laku-laku, jangan tar pulang digebukki lagi sama laki lu. Yu Ori keceplosan buka aib tetangga. Uups, kok jadi gue nyumpahi dia ya, harusnya malah kasihan, sudah banting tulang sendirian ngidupi anak lima masih kecil-kecil, sementara lakinya tahunya minta duit buat mabuk-mabukan. Pipinya saja masih lebam kena bogem kemarin gak kasih duit dengan alasan pasar sepi. Kalo nggak diumpeti uang hasil jualan, May Ronah juga yang susah. Habis gimana, ngocolnya sering bikin gregetan, ya sudahlah, nasib gue jauh lebih mujur dari dia,” putus Yu Ori meredakan amarah sendiri.

        Timun…timuun.

        Rokok…rokook…

        Selamat pagi semuanya, Yu Ori, Yu Engku, Dik Diram.

        Yu Engku yang disebut kedua adalah penjual toge. Entah sudah seberapa banyak terjual, sembari pagi buta orang-orang beberes lapak, Yu Engku sudah sibuk ngiteri toge untuk nglepasi tudung-tudung dikepalanya.

        “Yu kenapa ya, saya saja setiap kali lihat toge di atas tampah itu, perut rasa jadi mual, apalagi toge itu kalau manusia pasti sudah muntah darah keluar sak isi-isinya,” celoteh May Ronah memancing Yu Engku.

        “E May, kalau nggak aku  interi, nanti pembeli nggak tertarik sama toge ini. Justru itu, triknya biar laku,” tangkis Yu Engku cekatan.

        “Trik?! Masak kayak begituan dibilang trik. Bilang saja Yu Engku kurang kerjaan, dari pagi tak satu pun pembeli menghampiri,” kejar May Ronah memanaskan situasi.

        “Kowe kuwi yo, gaweane umek ra karuan. Urusono timunmu podho ae nasibe blas ra dilirik wong (Kamu itu ya, kerjaannya ngusili orang nggak jelas. Urus saja timunmu yang nasibnya sama juga nggak laku-laku),” reaksi balik Yu Engku trengginas.

        Aduuh, spontan tiba May Ronah melempar puntung rokok yang nyelip di sela jari tangan kirinya….

        “Syukuurii, itu balasannya kalau suka jail,” teriak Yu Engku sama Yu Ori kompakan.

        “Asem tenan, bisa mlepuh jari ini. Dik Diram, masih ada lagi nggak sebatang, tanggung tenggorokan belum panas,” pintanya sambil pandangan mata cekungnya menatap sayu ke arah Diram.

        “Alay, Yu May…sudah belasan batang habis tersedot, bilangnya nanti dibayar, nanti diganti, nanti kapan?! Nunggu lebaran monyet datang. Lihat saja, uang hasil jualan tomat mau kukutan belum juga balik modal, trus berkurang satu batang rokok. Lama-lama bisa bangkrut,” papar Diram yang sebenarnya sering sepaham dalam urusan rokok, sambil sibuk mengeksekusi tomat-tomat busuk.

        Wajar Diram bereaksi demikian, terang saja (maaf) konon kata para komunitas pecinta rokok, mereka bisa sangat royal merela kan semua barang yang dipunya, untuk diminta orang lain kecuali satu, rokok.

        “Ayolah Dik Diram, sebatang untuk ke sekian kalinya tidak bakalan membuat jatuh miskin, malah pahalanya menjadi berlipat. Saya bantu doa dech pada Tuhan, semoga rejekimu melimpah ruah tahun ini. Ayolah, boleh to,” May Ronah sigap mengeluarkan jurus andalan, rayuan maut cap gombal gelandangan.

        “Boro-boro, doa orang model Yu May diterima, belum tentu nyampe ke langit, jangankan langit ke tujuh, baru merayap sampai pucuk pohon cabe saja sudah melorot jatuh bebas ke tanah,” tanggapan Diram lugas tanpa tedeng aling-aling dan terkesan kasar.

        Namun May Ronah tidak terpancing situasi, demi sebatang rokok dan mengingat Diram satu-satunya harapan, ia harus menurunkan tensi, mencoba tetap bersabar. Sebagaimana mengikuti kata pepatah,”kesabaran seluas cakrawala dan lebih dalam dari samudera.

rokok...timun...selamat pagi semua !!!

Diangkat dari koleksi cerpen diblog pribadi a.n. AP. SANTOSO, semula berjudul,"Timun, Rokok dan Selamat Pagi Semua".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun