“Nggak ah, nggak jadi. Toh masaknya bukan buat sekarang, masih lusa,” jawab ketus ibu pembeli itu, ngacir tanpa basa-basi.
“Dasar medit ya medit saja, pakai alasan macam-macam. Bilang buat tukang kebunlah, bilang uangnya em-em an lah, prêt. Paling omkodo alias omong kosong doang,” gerutu Yu Ori kelihatan tidak mampu menyembunyikan kekesalan.
“May Rooonah, si biang kerok sini kau, bikin pembeli gue kabur. Urus tu timun lu yang kagak laku-laku, jangan tar pulang digebukki lagi sama laki lu. Yu Ori keceplosan buka aib tetangga. Uups, kok jadi gue nyumpahi dia ya, harusnya malah kasihan, sudah banting tulang sendirian ngidupi anak lima masih kecil-kecil, sementara lakinya tahunya minta duit buat mabuk-mabukan. Pipinya saja masih lebam kena bogem kemarin gak kasih duit dengan alasan pasar sepi. Kalo nggak diumpeti uang hasil jualan, May Ronah juga yang susah. Habis gimana, ngocolnya sering bikin gregetan, ya sudahlah, nasib gue jauh lebih mujur dari dia,” putus Yu Ori meredakan amarah sendiri.
Timun…timuun.
Rokok…rokook…
Selamat pagi semuanya, Yu Ori, Yu Engku, Dik Diram.
Yu Engku yang disebut kedua adalah penjual toge. Entah sudah seberapa banyak terjual, sembari pagi buta orang-orang beberes lapak, Yu Engku sudah sibuk ngiteri toge untuk nglepasi tudung-tudung dikepalanya.
“Yu kenapa ya, saya saja setiap kali lihat toge di atas tampah itu, perut rasa jadi mual, apalagi toge itu kalau manusia pasti sudah muntah darah keluar sak isi-isinya,” celoteh May Ronah memancing Yu Engku.
“E May, kalau nggak aku interi, nanti pembeli nggak tertarik sama toge ini. Justru itu, triknya biar laku,” tangkis Yu Engku cekatan.
“Trik?! Masak kayak begituan dibilang trik. Bilang saja Yu Engku kurang kerjaan, dari pagi tak satu pun pembeli menghampiri,” kejar May Ronah memanaskan situasi.
“Kowe kuwi yo, gaweane umek ra karuan. Urusono timunmu podho ae nasibe blas ra dilirik wong (Kamu itu ya, kerjaannya ngusili orang nggak jelas. Urus saja timunmu yang nasibnya sama juga nggak laku-laku),” reaksi balik Yu Engku trengginas.