Seperti mengerti, si Jek memohon dengan menaruh kepalanya di bawah kaki si pemuda sembari menggoyangkan buntut. Tak lagi banyak cakap, anak berusia tujuh belas tahun ini kemudian meraba tubuh binatang tersebut. Kerutan di keningnya mengendur begitu terdengar bunyi menguik dari balik bulu putih merumbai-rumbai.
"Bila dilihat dari bulunya dia anjing orang kaya, Jek!" Ia berbicara kepada anjing tetangga, yang diamini dengan lidah menjulur saja. "Anjing yang malang, aku rasa dia terlepas dari majikannya, dan tak bisa bertahan karena makanan di tempat sampah beda dengan yang biasa dimakan di rumah."
Pemuda itu memayang tubuh hewan berbulu lebat tersebut, ia memicingkan mata ketika melihat luka di kaki si binatang. Ia bergerak cepat sambil berkata,
"Kita harus mengobatinya segera, Jek! Kebetulan salah satu kawan wanitaku ibunya dokter hewan."
Dengan begitu berangkatlah seorang lelaki memangku anjing dan diiringi seekor anjing. Membikin berpasang-pasang mata yang dilewatinya memicing. Sampai pemuda itu mendengus, lalu berteriak jengah pada akhirnya,
"Apa yang kalian lihat, Anjing?"
"Iya. Anjingmu ada dua." Lelaki tua yang kebetulan lewat di samping si pemuda menjawab sambil tersenyum.
"Sekarang anjingnya ada tiga, Pak Tua!"
Tidak melanjutkan obrolan, lelaki renta itu berlalu dipapah tongkat sambil tertawa.
Setengah jam berlalu, sampailah si pemuda ke tempat yang dituju. Setelah berkali-kali memencet bel, seorang wanita muda yang sudah ia kenal membuka pintu.
"Stilistika?"