Mohon tunggu...
Ruth Lana Monika
Ruth Lana Monika Mohon Tunggu... Wiraswasta - Menulis untuk menjadi pengantar pesan Semesta

Penulis lahir di Jakarta. Seorang ibu rumah tangga yang sedang berusaha kembali mengasah talenta menulis dan belajar blogging.

Selanjutnya

Tutup

Ramadan

Musik Kombat

22 April 2021   05:15 Diperbarui: 22 April 2021   05:20 1334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada yang harus dilepaskan untuk tahu rasanya lega dan yang harus dimaafkan untuk tahu rasanya damai.

***

“Tara mana rancangan proyek Sinar Jaya?” ucap lelaki itu

“Ini kak.” Jawabku sembari menyerahkan stopmap.

“Lagu siapa ini? Selera musikmu jelek ya. Mending kau dengarkan lagu Ungu dan Afgan saja. Jauh lebih bagus daripada lagu ini.” celanya tanpa jeda dan berlalu pergi.

“Wow, memang selera kakak bagus? Pagi-pagi udah ngajak perang aja. Ngerusak mood.” jawabku tanpa segan-segan.

Tak ada lagi rasa sungkanku padanya. Secara terang-terangan ku nyatakan genderang perang, seperti dia yang menyulut apiku. Pagiku yang sendu dengan rinai hujan menyapa kalbu seketika berubah menjadi angkara. Alunan musik masih mengalun syahdu menemani awal mingguku ini. Aku baru 2 tahun bekerja di perusahaan ini. Selama ini, kehidupan kerjaku selayaknya orang-orang pada umumnya. Perselisihan pendapat wajar terjadi namun dengan mudah dapat aku atasi, tetapi tidak dengan lelaki ini yang kesebut kak Altaf. Sifatnya tak mencerminkan namanya. Kehidupan kerjaku menjadi morat-marit semenjak dia dimutasi ke kantorku 6 bulan lalu. Bagaimana tidak, dia adalah lelaki yang sudah aku kenal sejak 1 tahun lalu. Aku membenci lelaki itu karena luka yang telah dia torehkan 1 tahun lalu. Aku mengenalnya sebagai sosok manusia tak berperasaan. Lelaki yang dengan mudahnya berkata-kata kasar terhadap seorang wanita. Lidahnya tajam menyerang tanpa ampun. Beginikah karakter aslinya? Pada pandangan pertama aku sempat kagum dengan parasnya yang rupawan, tubuhnya yang indah, dan senyumannya yang menawan, tetapi semua pecah setelah mendengarnya makian dari bibirnya meluncur seperti seluncuran. Saat melihat kinerjanya rasa kagum menyeruak kembali. Namun semua sirna begitu saja ketika harus berhadapan dengannya kembali. Aku tersenyum kecut, mengenangnya membuatku tertegun membeku perih.

Hari-hari aku lalui dengan perang terbuka dengannya. Bagi orang kantor kami selayaknya kucing dan anjing, tak ada hari tanpa perselisihan dan pertengkaran. Yah, kami berada pada divisi yang sama dan naasnya lagi dia adalah atasanku. Sebenarnya aku merasa tidak enak juga kepada rekan-rekan kerja karena setiap kami berselisih suasana ruangan menjadi suram dan tidak nyaman. Yah, tetapi mau bagaimana lagi, dia saja masih selalu mencela kerjaan dan hidupku, entah itu pakaian, riasan, dan bahkan seleraku. Titik puncak kemarahanku kepadanya kembali tersulut ketika dia menghina selera musikku kembali sore ini. 

***

Perempuan itu bernama Tara. Aku tahu dia adalah tipe perempuan yang polos dan mudah terpedaya tipu muslihat. Satu tahun lalu aku bertemu dengannya di lobi apartemenku dan dengan suaranya yang lantang dia menghampiri serta mencercaku. Aku memandangnya dengan sinis dan tajam. Perempuan ini dengan mudahnya mencampuri urusan orang lain, menghakimi, dan mencerca pikirku kala itu. Enam bulan kemudian aku bertemu kembali dengannya sebagai rekan kerja. Dia merupakan salah satu tim kerja di dalam divisi yang aku pimpin. Ya, sifatnya masih saja polos dan cenderung sok tahu. Aku sebagai atasannya menilai kinerja dan kepribadiannya masih terdapat beberapa hal yang kurang tepat dalam dia menyikapi suatu permasalahan kerja. Namun dia mempunyai potensi yang unggul dan masih memerlukan pengasah yang tepat. Akan tetapi, ketika aku ingin membantu mengasah kemampuannya, maka yang terjadi hanyalah berujung perselisihan saja. Seperti hari ini hanya karena musik, kami harus saling mengadu argumentasi.

***

“Anda pikir selera musik Anda bagus? Tidak sama sekali! Anda hanya mengenal musik-musik duniawi saja, maka sebab itu Anda merasa panas ketika mendengar saya memutar musik religi!” ucapku dengan tegangan tinggi.

“Kamu saja yang tidak berwawasan luas. Dibuka itu pikirannya biar tidak sempit!” ucap Kak Altaf sengit.

Belum sempat aku membalas perkataannya, tiba-tiba saja pak Gunawan datang menghardik kami. Pak Gunawan adalah kepala cabang di tempat kami bekerja.

“Cukup Altaf dan Tara! Kalian masuk ke ruangan saya sekarang juga!” perintahnya

Gawat apabila pak Gunawan marah akan lebih menakutkan daripada singa, pikirku. Pak Gunawan adalah seorang kepala yang tegas, ramah dan menyenangkan, namun apabila marah sangat menakutkan.

“Apa yang kalian berdua lakukan? Tolong jelaskan kepada saya!”

“Maaf, pak karena sudah membuat keributan! Saya sadar perbuatan saya tidak tepat, hanya karena musik kami harus bertengkar seperti tadi.” ucap kak Altaf.

“Musik apa yang kalian ributkan?”

“Musik pop dan religi, pak. Saya memohon maaf atas tindakan saya, pak.” jawabku

“Sebenarnya saya sering mendengar keluhan dari rekan-rekan kerja kalian. Mereka merasa terganggu ketika kalian sedang bertengkar. Saya mohon hilangkan ego dari dalam diri kalian dan coba kalian masing-masing renungkan apa akar dari perselisihan kalian ini. Lalu kalian tuliskan di kertas ini 5 musik yang kalian suka karena akan saya putar di kantor selama jam kerja. Saya akan membuat musik kombat selama satu minggu ini. Coba kalian dengarkan baik-baik setiap musik yang saya putar. Satu minggu lagi kita akan bertemu untuk menentukan pemenang musik kombat ini dan bermediasi tentang akar masalah kalian. Jadi saya mohon selama satu minggu ini usahakan tidak ada perselisihan di antara kalian. Apalagi besok kita sudah memasuki bulan Ramadan. Mari, bantu saya menciptakan suasana yang kondusif dalam bekerja. Apa kalian setuju?”

“Saya setuju, pak.” ucapku dan kak Altaf bersamaan.

“Baik, silahkan kembali ke meja kerja masing-masing dan tolong segera berikan daftar lagu tersebut. Terima kasih.”

***

Semenjak kejadian hari itu kami berusaha untuk saling menjaga sikap terhadap satu sama lain dan pak Gunawan benar-benar mengadakan musik kombat bagi kami di bulan Ramadan dengan daftar musik seperti ini, Ramadhan Tiba-Opick, Hasbunallah-Ungu, Ya Jamalu-Sabyan, Kumohon-Afgan, Marhaban Ya Ramadhan- Haddad Alwi-Anti, Penghuni Surga Sejati-Mu-Ungu, Ramadan Gana-Maher Zain, Takkan Berpaling Darimu-Rossa, dan Sang Cahaya-Opick.  Hari ini tepat satu minggu musik kami diputar secara bergantian di jam kerja kantor dan hari ini merupakan hari kami bermediasi. Aku memasuki ruangan pak Gunawan yang di dalamnya sudah dihadiri kak Altaf.

“Duduk Tara. Bagaimana kalian sudah mendengarkan musiknya? Sudah sampai hafalkan liriknya?” kelakar pak Gunawan.

Aku menjawab dengan tersenyum.

“Altaf bagaimana pendapatmu tentang musik yang Tara pilih?”

“Selama satu minggu ini, saya mencoba mendengarkan dan menghayatinya, pak. Dan ternyata saya menyukai musik pilihan Tara.”

Pak Gunawan tersenyum dan melontarkan pertanyaan yang sama kepadaku.

“Saya juga menyukai musik kak Altaf pilih, pak. Ternyata mereka juga memiliki musik religi, selama ini saya tidak mengetahuinya.”

“Baik, sekarang kita beralih ke akar permasalahan kalian berdua. Soal musik sudah sepakat ya, sama-sama meneduhkan. Lalu apa yang menjadi akar permusuhan kalian? Coba apa pendapatmu dulu Tara!”

“Sebenarnya rasa tidak suka saya terhadap kak Altaf sudah sejak satu tahun lalu pak. Ketika saya melihatnya sedang mendorong dan mencaci seorang wanita di lobi apartemen. Melihat kejadian seperti itu, saya merasa tidak terima bila kak Altaf memperlakukan wanita dengan kasar.”

Pak Gunawan menanggapi penjelasanku tanpa ekspresi dan melontarkan pertanyaan yang sama kepada kak Altaf.

“Ya, satu tahun yang lalu kami sudah pernah bertemu di lobi apartemen saya, pak. Ketika itu saya sedang memarahi seorang penguntit dan saya mendorongnya karena wanita itu ingin memeluk saya. Wanita penguntit itu sudah sejak 3 bulan mengganggu saya. Sehingga ketika saya memergokinya sedang memfoto diri saya, maka saya menangkapnya dan memarahinya. Tetapi bukan rasa sesal yang wanita itu tunjukan, dia bahkan semakin berani untuk mendekati saya. Dan Tara datang membela wanita itu saat kejadian itu. Tetapi beruntungnya saya memiliki bukti yang cukup untuk memperkarakan wanita itu di pengadilan. Saya sadar, saya salah dengan tidak pernah membahasnya dengan Tara secara personal, sehingga perkara ini tidak diketahui Tara secara benar dan terperinci serta menimbulkan berbagai spekulasi tidak mendasar”

Aku tersentak mendengar penjelasan kak Altaf tentang kejadian satu tahun lalu.

“Jadi selama ini pikiran saya salah” ucapku lirih dengan memandang bawah meja.

“Saya juga salah, Tara. Saya minta maaf atas segala ucapan dan tindakan saya yang menyinggung kamu.” ucap kak Altaf sembari menundukkan badan kepadaku.

“Saya juga meminta maaf karena telah berprasangka buruk terhadap kak Altaf.” ucapku menyesal.

“Ok, sudah jelas duduk permasalahannya. Kalian saling memaafkan dan kita mulai spirit kerja yang baru.” terang pak Gunawan memberi kesimpulan dan kami mengangguk lega dan senang.

“Musik kalian masih mau diputar ini?” tanya pak Gunawan menggoda kami.

“Boleh, pak.” jawabku sembari tertawa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun