Sore yang sendu dan aku duduk di teras sambil menikmati aroma secangkir kopi. Kilatan-kilatan peristiwa menyerbu tanpa permisi di pikiranku, seirama dengan harumnya kopi yang menyerbak masuk. Yah, aku masih tergelitik memikirkan peristiwa kala itu. Sebuah dompet berwarna coklat tua tergeletak di bawah bangku taman, tak jauh dari tempatku duduk. Jenisnya bifold wallet dan berbentuk persegi. Aku memperhatikannya, menunggu bila ada seseorang yang mengambilnya. Tapi hanya sesekali orang lewat tak peduli. Tanpa sadar kaki ini bergerak mendekat dan melihat. Dompet ini terlihat biasa saja dari luar. Bahannya dari kulit imitasi dan terlihat usang. Ketika aku membukanya hanya ada selembar foto, KTP, dua lembar uang dua puluh ribu, dan 3 lembar kertas terlipat rapi. Aku mengantonginya dan berjalan ke alamat yang tertera di KTP.
Aku tiba di sebuah daerah perkampungan di pinggir kotaku. Kotaku ini termasuk kota yang maju, banyak gedung-gedung pencakar langit mengelilinginya, perumahan-perumahan elitpun bertebaran di kota ini, dan berbagai jenis rumah makan tersedia. Namun saat ini aku sedang menyusuri salah satu gang sempit di perkampungan kumuh kota ini. Sejauh mata mengarah hanya terlihat selokan yang penuh sampah digenangi air berwarna hitam pekat menghiasi perjalananku. Rumah-rumah berdesak-desakan saling berburu kehangatan surya. Ironis memang, di tengah-tengah kemajuan kota masih saja terdapat masyarakat terpinggirkan dengan fasilitas hidup rendah.
Ku tengok kembali alamat rumah yang tertera di KTP. Membingungkan pikirku. Alamat di tempat ini tidak dapat memberi petunjuk untukku melangkahkan kaki. Terlebih kondisi sekitar sangat sepi. Wajar saja bagiku, saat ini surya sedang membara memberikan kehangatannya kepada semesta, terlampau hangat bahkan hari ini, terlebih lagi saat ini bulan Ramadan sedang berlangsung. Banyak orang berpuasa yang memilih berada di dalam ruangan di saat tengah hari. Dengan bantuan navigasi bibir aku menuju rumah kecil di ujung gank. Tempat si empunya dompet ini tinggal. Di tempat ini mereka menyulam rindu yang saling menyilang dalam sarang semut. Aku disambut oleh seorang ibu paruh baya dan seorang anak kecil berumur sekitar 8 tahun yang merupakan istri dan anak si empunya dompet, pak Darma namanya. Aku ungkapkan maksud kedatanganku, kronologi aku menemukan dompet ini, kemudian kuserahkan dompet ini kepada mereka.
"Ini dompet bapak." ucap anak itu lirih memandang dompet.
Mata kecilnya itu bersinar menyiratkan duka. Aku tersenyum setidaknya dompet itu sudah kembali ke si empunya dan kukira tugasku sudah selesai. Namun, tiba-tiba terdengar isak tangis pecah menyayat hati. Aku tertegun diam, membeku. Tak ada suara selain tangis yang seakan bercerita. Jemari gadis kecil itu meremas kertas dari dompet itu di dadanya. Ibunya berusaha menenangkan. Diserahkan salah satu kertas itu kepadaku dan kubaca. Tiba-tiba saja kepalaku pening, pandanganku berkunang-kunang dan kupingku sumbat seperti berada di puncak bukit yang bertekanan udara rendah. Kilatan memori suara radio minggu lalu yang menyiarkan berita PHK massal PT. Bakti Utama tempatku bekerja sebagai rais menjadi momentum di kepalaku. Bagaimana cara kita menanggulangi kemiskinan? Pertanyaan itu menghantamku seketika. Kertas ini menelanjangi semua dosa korporat, teror kehidupan meremukkan hati yang menjadi muara segala kenangan dan penyesalan berbaur rindu.
"Bapak sedang sakit saat ini mas. Dompet ini hilang di hari bapak di PHK." Ujar bu Darma sambil menahan tangis.
"Sekarang bapak dirawat dimana bu?"
"Di rumah saja mas. Bapak sedang istirahat di kamar sekarang. Setelah di PHK bapak mencoba berbagai cara untuk mendapatkan penghasilan. Namun di tengah pandemi ini sangat susah mas. Bapak sempat menjadi kuli bangunan dan malamnya menjadi kuli panggul di pasar induk, jadinya bapak kelelahan. Terlebih lagi bapak tetap berusaha menjalankan puasa. Nirma merasa sedih melihat bapaknya bekerja hingga jatuh sakit seperti ini." jawab bu Darma menjelaskan
Pak Darma harus menafkahi keluarganya dengan membanting tulang kesana-kemari. Hingga dia berkeliling dunia dengan sayap patah.
"Kita bawa ke dokter saja bapak, bu. Biar saya antar. Ibu tenang saja soal biayanya, saya yang tanggung." tawarku dengan segera.
Bu Darma tampak tercengang, derai air mata tak dapat dibendung. Berderai dengan derasnya membasahi wajah pilu dan lelahnya. Â Dengan sigap kami membawa pak Darma ke rumah sakit terdekat. Setelah melalui serangkaian pemeriksaan pak Darma diijinkan untuk rawat jalan.
"Terima kasih mas Kai. Bapak malah merepotkan mas." ucap pak Darma lirih.
"Tidak apa-apa, pak. Sudah sepatutnya kita saling membantu. Nirma nggak usah sedih lagi ya."
"Iya, terima kasih mas." jawab Nirma dengan senyuman seindah embun pagi yang menyegarkan.
Aku teringat di bagasi mobil aku meletakkan 10 buah KOJIMA kemasan botol 140 ml yang aku beli tadi. rencananya akan kuberikan kepada keluarga dan sanak saudara. Ketika turun dari mobil untuk berjalan kembali ke rumah pak Darma, aku membungkuskan 5 botol KOJIMA untuk aku berikan kepada mereka. Sesampainya di rumah segera aku memberikan KOJIMA itu karena jam sudah menuju waktu untuk berbuka.
"Pak, bu saya punya KOJIMA. Ini saya berikan, nanti bisa diminum saat berbuka dan sahur."
"KOJIMA ini apa mas? tanya Nirma penuh selidik.
"KOJIMA ini adalah madu dengan 3 kebaikan yaitu korma, jinten habbatussauda, dan madu."
"Manfaatnya apa mas?" tanya bu Darma menyela.
"KOJIMA ini efektif untuk meningkatkan daya tahan tubuh, sebagai penambah nutrisi alami (Phytonutrient), sebagai antioksidan, sumber energi dan mempercepat pemulihan, bu, pak, dik. Secara singkatnya, KOJIMA ini baik dikonsumsi saat sahur untuk menjaga daya tahan tubuh dan saat berbuka untuk menggantikan nutrisi selama berpuasa. Sehingga KOJIMA ini wajib dikonsumsi karena merupakan madu yang lengkap untuk menjaga nutrisi selama berpuasa." terangku.
" Tapi aman dan halal gak mas?" tanya pak Darma ikut antusias.
"Tenang saja, pak. KOJIMA ini terpercaya aman dan halal. Dapat dicek label halalnya. Komposisi bahannya pun aman. Karena mengandung ekstrak Korma (Phoenix Dactyliferae Fructus), ekstrak Jinten Hitam/Habbatussauda (Nigella Sativa Semen), Madu (Mel Depuratum), dan ekstrak Asam Jawa (Tamarindus Indica Fructus). Wah, kebetulan sudah waktunya berbuka, mari kita berbuka dahulu setelah itu kita minum KOJIMA!" terdengar bunyi bedug dan adzan maghrib masjid berkumandang.
Kami menikmati berbuka puasa bersama dengan menu takjil dan ayam bakar yang aku beli tadi sewaktu menunggu pemeriksaan pak Darma.
"KOJIMAnya enak mas Kai. Rasanya manis, asam, dan segar. Nikmat banget. Aku suka ini." Ucap Nirma dengan tersenyum riang.
"Bapak, ibu juga suka lho, Ma! Jangan kamu habiskan sendiri ya!" kelakar pak Darma sambil menggoda Nirma.
Tawa kami pun pecah mendengar seloroh pak Darma dan untuk perkara pekerjaan pak Darma aku memintanya untuk dapat membantuku bekerja di kedaiku yang tak jauh dari gang rumahnya, tepatnya di salah satu ruko yang berjarak 2 km dari gang rumahnya. Mendengar permintaanku tampak wajah bahagia dan haru tersirat di mataku. Yah, saat ini sudah 1 tahun pak Darma bekerja di kedaiku. Hidupnya pun berkecukupan karena sudah selayaknya kesejahteraan pegawai wajib aku perhatikan. Karena jasa merekalah kedai ini dapat meroket dan memberiku penghidupan. Dari peristiwa ini aku dapat memetik hikmahnya bahwa hadirku selayaknya dapat membawa pagi yang indah, siang yang cerah, dan malam yang hangat untuk sekitarku. Seperti rasa khas KOJIMA yang memberikan rasa manis, asam, dan segar. Bulan Ramadan tahun ini mengajarkanku banyak hal tentang proses kehidupan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H