Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 sepertinya akan menghadapi beberapa keretakan, terutama status Rusia di dalam kongres ini dan apakah negara tersebut tetap menjadi anggota kelompok G20 setelah invasi Ukraina yang dilakukan presiden Rusia Vladimir Putin.
Presiden Amerika Serikat Joe Biden menyarankan perlunya untuk mengecualikan Rusia untuk saat ini, namun sepertinya bukan itu yang diinginkan oleh presiden Indonesia yang saat menjadi presiden bergilir tahun ini.
Dimana menurut pandangan saya KTT G20 bukan ajang untuk membahas politik tentang konflik Rusia Ukraina, melainkan forum kerja sama multilateral.
Saat kongres yang dilakukan di Brussel, Belgia. Presiden Amerika Serikat diberikan pertanyaan oleh beberapa anggota G20 "apakah Rusia harus dikeluarkan dari pengelompokan ekonomi terbesar di dunia, Biden mengatakan: "Jawaban saya adalah ya."
Joe Biden juga menginginkan Jokowi menolak kehadiran Rusia dan jika Indonesia dan anggota G20 lainnya tidak setuju untuk mengecualikan Rusia, maka Biden mendesak KTT G20 harus memasukkan Ukraina kedalam pertemuan akbar internasional ini.
Biden bukan satu-satunya yang memiliki pandangan seperti itu. Kelompok negara-negara industri G7 juga telah mengeluarkan pernyataan setelah pertemuan puncak pekan lalu bahwa "organisasi internasional dan forum multilateral tidak boleh melakukan kegiatan kerjasama apapun dengan Rusia secara normal".
Perdana Menteri Australia Scott Morrison mengatakan gagasan duduk satu meja dengan Presiden Rusia Vladimir Putin pada KTT G20 di Bali adalah langkah yang terlalu jauh, mengingat Vladimir Putin juga tidak mendengarkan Uni Eropa dalam hal negoisasi dengan Ukraina.
Maka dari itu G7 menangguhkan keanggotaan Rusia dalam kelompok G8 setelah Rusia mencaplok Krimea pada tahun 2014, hal ini juga sempat mengguncang hubungan Rusia dengan Ukraina hingga saat ini.
Kelompok G8 dan beberapa negara lainnya seperti Australia juga telah memberlakukan serangkaian sanksi terhadap Rusia atas invasi militernya di Ukraina.
Mark Sobel, mantan pejabat Departemen Keuangan Amerika Serikat, menulis dalam di "Journal of Currency and Finance," bahwa G7 telah menjadi lebih bersatu dan kuat saat Rusia dan China semakin dekat. Jika, kedua negara ini keluar atau di kecualikan kemungkinan kekuatan G7 akan melemah.
Sementara itu, Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi) menyatakan kehati-hatian dalam mengambil keputusan untuk mengecualikan Rusia dari G20. Dia menekankan bahwa KTT G20 adalah tempat berkumpulnya untuk kerja sama ekonomi dan bukan arena politik.
Indonesia harus menjadi penyeimbang hubungan antar kekuatan dunia termasuk hubungan Rusia Indonesia dan Indonesia dengan Ukraina. Jadi, Jokowi harus bijaksana dalam mengambil keputusan mengenai keikutsertaan Rusia di KTT G20 Bali bulan November 2022 mendatang.
Untuk melakukan pengecualian Rusia dari G20 juga membutuhkan persetujuan dari anggota lain, dan secara umum India dan Cina pasti menolak pengecualian Rusia karena kedua negara ini sama-sama memiliki hubungan dekat dengan Rusia.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina Wang Wenbin menyebut Rusia adalah anggota penting di kelompok ini, dan sejatinya tidak ada anggota yang berhak mencabut hak keanggotaan negara lain dari G20.
Negara-negara G7 telah mulai membahas bagaimana mengatasi permasalahan ini, agar tidak ada penolakan negara tertentu dikemudian hari.
KTT G20 ini dibentuk pada tahun 1999 dan saat itu G20 melakukan pertemuan puncak tahunan setelah krisis keuangan global di tahun 2008. Kelompok G20 ini telah menyumbang sekitar 80% dari PDB global, sambil mengoordinasikan tantangan umum lainnya seperti perubahan iklim dan kemiskinan di dunia.
Namun, krisis saat ini di Ukraina sedang menguji kemampuan G20 untuk menanganinya. Meskipun Rusia ada di dalam keanggotaan ini, bukan berarti bisa menolak niat G20 untuk mengatasi permasalahan ekonomi di Ukraina pasca invasi militer Rusia.
Presiden Jokowi mengatakan KTT tahun ini akan fokus pada tema-tema utama, seperti arsitektur kesehatan global yang lebih kuat, transisi ke energi terbarukan, dan transformasi ekonomi digital.
Namun menurut beberapa pengamat, jika KTT G20 ini tidak bisa lepas membahas kondisi Ukraina. Karena misi dari G20 adalah untuk membantu dunia dalam hal ekonomi dan kesehatan.
Namun sepertinya Menteri Luar Negeri Cina "Wang Yi" mendukung Indonesia untuk menghindari kericuhan agar agenda G20 dapat berjalan dengan lancar dan sukses. Maka dari itu pembahasan tentang Konflik Ukraina di pertemuan mendatang sebaiknya dibahas tidak terlalu jauh.
Kelemahan G20 mencerminkan kelemahan dunia. Jika kita menganggap G20 sebagai forum di mana negara-negara dengan nilai yang berbeda dapat duduk bersama untuk membahas perbedaan mereka, itu sudah efektif dan benar.
Dan jika KTT G20 ini hanya berfokus untuk membahas tentang Konflik Rusia Ukraina maka kongres ini sudah salah langkah, percayalah tidak akan ada titik temu jika membahas Ukraina.Â
Seandainya pun Rusia dikecualikan di Konferensi Tingkat Tinggi ini, masih ada negara sekutunya yaitu India dan Cina yang pasti menolak keberpihakan terhadap Ukraina. Dimana kedua negara ini juga merupakan negara terpenting di G20 ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H