Mohon tunggu...
Lamboroada
Lamboroada Mohon Tunggu... Freelancer - Pencari kebenaran dibalik pembenaran

Mahasiswa bodoh pecinta literasi, pembelajar sampai mati.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi | Monster Kota si Pemerkosa

4 Maret 2019   17:20 Diperbarui: 4 Maret 2019   17:37 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Monster Kota

Di Desa kami, terdapat sungai dengan air yang jernih
Bisa kami nikmati untuk tempat mandi dan sumber air minum, tempat melepas lelah ketika habis main bola di lapangan seadanya
Tapi itu dulu, sebelum tinja atau limbah pabrik melahap, mengotori. Memberikan aroma baru yang menyengat menyiksa

Di Desa kami sawah terbentang luas, tempat kami biasa bermain dengan ceria meski hanya dihiasi hamparan ladang padi
Kami bisa menikmati hari, mengulur layangan dengan leluasa, mendengar merdunya kicauan burung dan tertawa lepas

Tapi itu dulu, sebelum gedung-gedung tinggi menggrogoti sawah-sawah didesa kami, memperkosa ladang padi secara perlahan.

Di desa kami bukit-bukit kecil dengan mudah bisa ditemukan mengelilingi pedesaan, indah dan menyejukkan.Yang juga merupakan sumber mata pencarian masyarakat.

Tapi itu dulu, sebelum monster kota datang menghancurkan
Dijadikan lahan industri, uap mengepul disana sini. Kesehatan kami mereka tak peduli

Dulu, kami disini penduduk asli punya rumah dan tanah sendiri
Tapi, sekarang kami seperti turis tak berarti. Harta kami di rampas dengan surat-surat ijin, kami penduduk asli dituduh pencuri lalu disingkirkan.
Sekarang kami disuruh tinggal di pantat pabrik.

Dulu waktu monster kota masih tersenyum menyapa kami, dia menjanjikan untuk perbaikan ekonomi untuk kami, lapangan kerja yang mudah buat kami. Tapi setelah dia kami percayai, kami hanya dijadikan turis disini. Iya turis tak berarti.

Jika dulu desa kami bising karena pertengkaran ringan antar tetangga, atau perkelahian anak-anak kecil karena rebutan mainan.

Kini digantikan oleh berisiknya mesin-mesin industri serta suara truk yang mondar-mandir menyebar polusi.

Suasana yang dulu sejuk, udara yang segar. Kini dicemari oleh napas pabrik, dipanggang oleh rumah-rumah kaca. Kami yang tak punya pendingin udara pun menderita.

Akhirnya yang dapat menikmati pertumbuhan Ekonomi di desa kami adalah mereka yang datang dari kota, dan sebahagian mereka makhluk desa yang punya pengetahuan, pendidikan. Tapi pengetahuan atau pendidikannya tak berarti buat kami sesama penghuni desa, melainkan hanya untuk dirinya dan kepentingannya sendiri.

Mereka Makhluk desa yang berpendidikan dan berpengetahuan luas malah bersahabat dengan Monster Kota, sementara saudara yang telah lama tinggal bersama di desanya sendiri malah dia tidak peduli. Mereka hanya mementingkan diri sendiri. Lantas masih pantaskah aku menyebut mereka Manusia yang Manusia. Mungkin itu yang disebut Pendidikan Bodoh.

Iya, Pendidikan dijadikan untuk modal membodoh-bodohi makhluk desa. Sungguh Tak berguna dan tak pantas aku sebut kalian sarjana.

Ini salah siapa?
Tentu bukan salah satu pihak saja, melainkan salah kita semua yang membiarkan monster kota tumbuh dan berkembang.

Ini salah kita semua, kurang memperhatikan mereka yang lihai mengandalkan pendidikan, sementara kita acuh terhadapnya.

Ini salah kita semua, yang punya pengetahuan membiarkan mereka makhluk desa ternganga melihatnya.

Ini salah kita semua, membiarkan penguasa berbuat semaunya

Monster kota pandai merayu, makhluk desa suka dirayu.

Monster kota, Monster Kota. Pria itu jatuh dari tempat tidurnya sambil mengigau "Monster Kota" ternyata dia baru mimpi. Langsung dia berlari keluar dari rumah melihat desa dan sawah.

"Alhamdulillah monster kota ternyata hanya dalam mimpi" ucapnya dalam hati.

Semoga semua itu tak terjadi, dan berharap makhluk desa mulai mampu menyadari.

Tak tertipu dengan janji-janji,apalagi sama mereka yang ingin mengambil untung sendiri. (Lamboroada)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun