Dalam kehidupan modern yang serba cepat dan penuh tekanan, pertanyaan mengenai makna hidup sering kali muncul di benak setiap orang. Bak keniscayaan, pertanyaan tersebut seringkali menjadi pertanyaan yang menggelayuti alam bawah sadar seluruh manusia. Rutinitas hidup yang monoton pada akhirnya turut meringkus kita pada variasi pertanyaan yang tidak berujung.Â
Kita mulai bertanya-tanya mengenai apa tujuan sebenarnya dari hidup ini? Lama-lama kita bertanya mengapa kita harus bangun setiap hari, bekerja keras, dan berusaha mencapai sesuatu yang tampaknya tidak pernah cukup!
Pertanyaan-pertanyaan semacam itu bukanlah hal baru, melainkan telah menjadi bagian integral dari refleksi manusia sejak zaman dahulu. Berbagai filusuf seperti Sren Kierkegaard hingga Sartre telah mencoba mencari jawaban untuk setiap pertanyaan mengenai makna hidup. Namun, tidak ada yang meragukan bahwa Albert Camus dengan teori absurditasnya telah membawa kontribusi penting terhadap pemahaman kita tentang makna hidup, terutama melalui konsep absurditas yang ia paparkan dalam karyanya "The Myth of Sisyphus".
Pemberontakan Terhadap Absurditas
Kita perlu mengakui bahwa secara alamiah, kita selalu mencari makna dan tujuan dalam kehidupan. Namun, dalam pencariannya, kita sering kali dihadapkan pada kenyataan bahwa dunia tidak memberikan jawaban yang memadai untuk setiap pertanyaan kita mengenai kehidupan. Camus beranggapan dari sanalah absurditas muncul. Sederhananya absurditas dapat dimaknai sebagai konflik antara keinginan manusia untuk menemukan makna, namun dunia/kehidupan tidak mampu memberikannya.Â
Dalam "The Myth of Sisyphus", Camus menggambarkan tokoh Sisyphus sebagai simbol dari absurditas. Sisyphus adalah dewa yang membangkang lalu dihukum oleh para dewa untuk mendorong sebuah batu besar ke atas bukit hanya untuk melihatnya berguling kembali ke bawah setiap kali ia hampir sampai di puncak, dan hukuman tersebut mengikat Sisyphus untuk selamanya. Sisyphus adalah gambaran yang paling masuk akal yang menggambarkan upaya manusia yang sia-sia dalam mencari makna di dunia yang tidak memiliki makna inheren.
Camus tidak berhenti pada penggambaran absurditas, ia mengajak kita untuk mempertimbangkan bagaimana kita seharusnya merespons keadaan ini. Menurut Camus, ada tiga respons yang mungkin terhadap absurditas: bunuh diri, lompatan iman, atau pemberontakan.Â
Bunuh diri dianggap sebagai bentuk keputusasaan, di mana seseorang menyerah pada absurditas dan memilih untuk mengakhiri hidupnya. Lompatan iman, seperti yang dijelaskan oleh filsuf eksistensialis lainnya seperti Kierkegaard, adalah upaya untuk mengatasi absurditas dengan menerima keyakinan yang tidak rasional atau transenden. Namun, Camus menolak kedua opsi ini dan memilih jalan ketiga: pemberontakan.
Bagi Camus, pemberontakan adalah pilihan paling rasional dan manusiawi. Pemberontakan bukanlah penolakan terhadap absurditas, melainkan penerimaan akan keberadaannya sambil menolak menyerah pada keputusasaan. Dalam pemberontakan, manusia memilih untuk hidup meskipun tahu bahwa hidup itu sendiri tidak memiliki makna yang inheren. Menurut Camus ini bukan tindakan pesimisme, tetapi sebuah tindakan keberanian yang penuh kesadaran.
Camus menyatakan bahwa "perjuangan itu sendiri menuju puncak sudah cukup untuk mengisi hati manusia". Artinya, meskipun kita tahu bahwa upaya kita mungkin tidak akan pernah mencapai tujuan akhir yang sesuai dengan keinginan kita, justru dalam upaya itu sendiri kita akan menemukan makna. Sisyphus, dalam pandangan Camus, adalah pahlawan absurd yang menemukan kebahagiaan bukan dalam mencapai puncak, tetapi dalam usaha yang tak kenal lelah untuk mencapainya.
Menurut Camus, ketika Sisyphus menyadari absurditas dari hukuman yang dia jalani, dia juga bisa menemukan bentuk pemberontakan batiniah dan ketenangan dalam kesadaran tersebut. Kebahagiaan bagi Sisyphus tidak ditemukan dalam pencapaian tujuan akhir karena memang tidak ada tujuan akhir yang dapat dicapai olehnya. Kebahagiaannya ditemukan dalam perjuangan terus-menerus, dan dalam penerimaan kondisi manusia yang tidak dapat dihindari.
Kebebasan dan Tanggungjawab dalam Dunia yang Absurd
Dengan menerima absurditas, manusia juga harus menerima kebebasan yang datang bersamanya. Kebebasan ini, menurut Camus, adalah beban yang berat namun juga merupakan anugerah terbesar. Dengan ketidakhadiran makna yang diberikan oleh dunia, kita sepenuhnya bebas untuk menciptakan makna kita sendiri. Namun, dengan kebebasan ini datang tanggung jawab besar: tanggung jawab untuk menentukan nilai-nilai kita sendiri dan untuk hidup sesuai dengan nilai-nilai tersebut.
Dalam dunia tanpa makna yang inheren, tanggung jawab moral kita tidak berkurang. Sebaliknya, itu meningkat karena kita tidak lagi dapat mengandalkan panduan eksternal atau otoritas yang lebih tinggi untuk menentukan apa yang benar dan salah. Kita harus membangun etika kita sendiri, yang didasarkan pada penghargaan terhadap kebebasan dan martabat setiap individu.
Albert Camus menegaskan bahwa kita tidak hanya memiliki tanggung jawab kepada diri kita sendiri tetapi juga kepada orang lain dan dunia di sekitar kita. Dalam menghadapi absurditas, kita harus tetap menjaga etika dan nilai-nilai moral kita, bahkan jika mereka tidak memiliki dasar yang objektif. Camus mengajak kita untuk menciptakan makna dan nilai melalui tindakan kita, melalui hubungan kita dengan orang lain, dan melalui perjuangan kita untuk memperbaiki dunia.
Mencari Makna dalam Absurditas
Penerapan konsep Camus dalam kehidupan sehari-hari bisa sangat mendalam. Kita sering kali menghadapi situasi di mana kita merasa bahwa segala usaha kita sia-sia atau tidak memiliki tujuan yang jelas. Mungkin kita bekerja dalam pekerjaan yang tidak memuaskan, menjalani hubungan yang penuh pengkhianatan, atau berhadapan dengan masalah yang tampaknya tidak dapat dipecahkan. Dalam semua ini, kita mungkin merasa seperti Sisyphus, mendorong batu ke atas bukit hanya untuk melihatnya berguling kembali ke bawah.
Dengan memilih untuk terus berjuang, kita tidak hanya menegaskan kebebasan kita, tetapi juga menciptakan makna dalam hidup kita. Makna ini tidak ditemukan di luar diri kita, tetapi diciptakan melalui tindakan kita, melalui cara kita menjalani hidup kita setiap hari.
Albert Camus memberikan kita kerangka kerja untuk memahami dan menghadapi absurditas kehidupan. Ia tidak menawarkan solusi mudah atau jawaban yang nyaman, tetapi menantang kita untuk menerima kenyataan bahwa hidup mungkin tidak memiliki makna inheren. Namun, justru dalam penerimaan ini kita menemukan kebebasan terbesar kita: kebebasan untuk menciptakan makna kita sendiri.
Seperti Sisyphus yang dalam hidup dan perjuangannya tidak pernah mencapai puncak atau tidak pernah berhasil, tetapi dalam perjuangan itulah dia menemukan makna sejati dari keberadaannya. Itulah arti mencari makna hidup dalam dunia tanpa makna.Â
Kendati demikian, "kita harus membayangkan Sisyphus bahagia". Artinya, sebagai manusia, kita dapat memilih untuk menemukan makna dan kebahagiaan dalam menjalani hidup, meskipun dunia ini pada dasarnya absurd dan tanpa makna yang jelas. Kebahagiaan bukan datang dari menghindari atau menolak absurditas, tetapi dari menerima dan merangkulnya sebagai bagian dari eksistensi kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H